41. KETAHUAN

21.8K 1.1K 21
                                    

Terkadang Ayana merasa bodoh, karena mengambil keputusan sesuai dengan hati nuraninya. Berbeda dengan Rian yang selalu memikirkan segala sesuatu ke depannya. Ayana sadar memiliki suami yang mengarahkannya dengan baik. Tetapi, Ayana juga sedang dilanda dua pilihan yang membingungkan.

Satu sisi Ayana membuat Rian marah, apabila melepaskan Rey begitu saja. Sedangkan, di sisi lain ada seseorang yang memohon pada Ayana, agar tidak melaporkan masalah ini pada polisi. Siapa lagi jika bukan Andin. Perempuan itu datang ke rumah Ayana, setelah tahu Rian sedang mengantarkan Al dan mbok Asih ke rumah mertua Ayana. Memang Al akhir-akhir ini suka sekali main ke sana, karena ada gadis kecil yang selalu menemani Al bermain.

"Rian beneran udah pergi, Ay?" tanya Andin.

"Barusan aja, Rian ke rumah mertua gue. Lo kenapa mendadak mau ke sini? Semalam kita kan udah omongin di telepon, Ndin."

"Gue lebih puas, kalau ngomong langsung sama lo."

"Apalagi yang mau lo omongin?"

"Soal lo yang mau laporin Rey ke polisi. Lo beneran enggak ngelakuin itu kan Ay?"

Ayana menarik napas panjang. Berat sekali berada di situasi saat ini. Padahal Ayana sebagai korban, berhak untuk melaporkan perbuatan Rey. Namun, Andin terus memohon dan mempertanyakan keputusan Ayana.

Bagi Ayana, menuruti apa kata Andin sama saja mencari masalah dengan Rian. Sampai saat ini Rian masih belum mau bicara lagi dengan Ayana. Setelah mendengar alasan Ayana, Rian benar-benar marah. Ayana jadi ragu dengan keputusannya sendiri.

"Enggak, gue laporin. Tapi...."

"Tapi, apa?"

"Rian marah sama gue, Ndin. Gue enggak tahu harus gimana," ucap Ayana dengan mata yang berkaca-kaca.

Ayana hendak menangis. Perempuan itu tidak kuat menahan air matanya. Sejak pagi, Ayana menjadi sangat sensitif. Sedikit saja ada hal yang terasa menyedihkan, hati Ayana langsung tersentuh. Apalagi saat tahu Rian begitu marah, Ayana jadi semakin ingin menangis. Ayana tidak mau hubungannya dengan Rian menjadi renggang, hanya karena menuruti egonya yang ingin menolong Andin.

"Maafin gue ya, Ay. Gara-gara aib gue di masa lalu, lo ikut jadi korban."

Melihat Ayana yang menangis dan stress dalam keadaan hamil, nampaknya membuat Andin merasa kasihan. Bahaya kalau sampai Ayana terus stress dengan permasalahn ini. Terutama pertengkaran Ayana dengan Rian. Baru sebentar saja Ayana baikan dengan Rian, kini Rian kembali marah besar.

"Kenapa lo enggak jujur aja sih, Ndin? Biar semua orang tahu sebrengsek apa Rey."

"Gue bukan pikirin soal Rey. Lo tahu sendiri yang jadi masalah utama gue itu nyokap bokap gue, Ay. Gue takut mereka syok, pas tahu gue pernah hamil di luar nikah."

"Bunda gue juga bakalan syok, kalau tahu ada cowok yang kasar sama kurang ajar ke gue. Tapi, kalau gue pikir-pikir lagi, mau sampai kapan masalah ini ditutupi? Kalau dia gangguin hidup gue lagi atau bahkan hidup lo, gimana Ndin?" tanya Ayana.

"Emangnya enggak ada cara lain, selain lapor polisi? Jalur damai, misalnya buat surat perjanjian gimana?"

"Rian bilang, janji itu bukan jaminan, Ndin. Lagi pula, Rey itu orangnya nekat. Lo sendiri yang semalam cerita semuanya sama gue."

Ayana jadi mengingat saat semalam menerima telepon dari Andin. Diam-diam Ayana menyembunyikan itu dari Rian. Karena Ayana takut Rian yang baru saja senang dengan kehamilan Ayana, tiba-tiba berubah menjadi marah. Dan, dugaan Ayana ternyata benar. Bukan ribut lagi semalam, tetapi justru pagi ini.

Rasa bersalah masih menyelimuti perasaan Ayana. Entahlah, Ayana harus memihak pada siapa. Semalam saat Andin bercerita sambil menangis, Ayana merasa tidak tega. Hubungan Andin dan Rey sudah terlalu jauh. Namun sayangnya, semua berubah ketika nama Rey sebagai aktor semakin dikenal publik.

"Iya, gue tahu. Tapi, pasti ada jalan lain, selain bongkar aib gue. Kecuali, kalau lo mau laporin Rey, tanpa melibatkan gue, mungkin gue akan setuju, Ay. Gue malu kalau semua orang tahu, gue pernah hamil di luar nikah. Walaupun, memang itu resiko dari kesalahan gue."

"Lo enggak sepenuhnya salah, Ndin. Dua orang yang menjalin hubungan terus sama-sama mau, harusnya dua-duanya tanggung jawab. Bukan milih untuk bunuh anak itu. Dia pengecut, karena udah maksa lo buat gugurin kandungan lo," Ayana mengusap lengan Andin.

"Gue enggak mau ingat-ingat lagi, Ay. Rasa bersalahnya, enggak akan pernah hilang."

"Yang paling terpenting, lo udah keluar dari hubungan itu. Tetapi, enggak menutup kemungkinan, Rey bakalan balik lagi ke lo."

"Kenapa lo bisa ngomong gitu?"

"Waktu gue bahas soal lo, gue lihat dia kayak menyembunyikan sesuatu gitu. Mungkin ada yang belum tuntas di antara lo sama Rey. Gue cuma nebak aja."

"Sebenarnya, gue sa-"

"Ay!"

Suara dari seseorang yang berada di belakang, menghentikan ucapan Andin. Ayana yang juga mendengar tahu panggilan itu. Tanpa harus menoleh, Ayana sudah menyadari panggilan dari suaminya. Ayana kira Rian akan lama mengantarkan Al dan mbok Asih. Tetapi, entah kenapa Rian malah cepat sekali kembali.

"Hai, Yan," sapa Andin saat Rian berjalan menghampiri Ayana.

Wajah Rian menampilkan ekspresi yang begitu dingin. Tidak ada sapaan balasan untuk Andin. Laki-laki itu sepertinya kurang suka dengan kehadiran Andin. Hal itu membuat Ayana jadi merasa tidak enak hati dengan sahabatnya. Karena sikap Rian tidak ramah seperti biasanya.

"Gue pulang dulu deh," ucap Andin dengan senyum terpaksa.

Ayana hanya mengganggukkan kepala, ketika Andin hendak keluar. Lalu, Ayana ingin mengantarkan ke depan. Tetapi, tiba-tiba tangan Ayana ada yang menahan. Ayana menatap ke arah Rian. Mata Rian mengisyaratkan Ayana untuk tetap berada di tempatnya.

Saat suara mobil Andin sudah terdengar, pertanda Andin benar-benar pergi. Tinggal tersisa dua manusia di dalam rumah. Mata Rian dan Ayana saling mengunci.

"Jadi, dia yang buat kamu berubah pikiran?" ucap Rian.

"Enggak juga, Yan."

Seakan tidak mau membuang waktu, Rian langsung menanyakan apa yang ada di benak laki-laki itu. Sementara, Ayana tidak suka dengan Rian yang berbicara seperti itu. Meski, ucapan Rian memang benar. Kalimat yang Andin keluarkan berpengaruh pada keputusan Ayana tadi pagi.

"Terus, kenapa dia harus datang di saat aku enggak ada di rumah? Kamu bisa jelasin?" Rian semakin mendesak Ayana.

"Andin cuma mau lihat kondisi aku, Yan."

Ayana melihat Rian geleng-geleng kepala. Laki-laki itu tidak percaya dengan ucapan Ayana. Saat melihat Andin berada di sini, Rian sudah memiliki prasangka yang buruk.

"Dengar Ay, aku enggak pernah membatasi kamu berteman. Kamu berhak memiliki teman, sahabat sebanyak mungkin. Tapi, kamu juga harus ingat, Ay. Enggak ada sahabat yang mementingkan kondisinya sendiri, di saat sahabatnya juga sedang berada dalam masalah."

"Dia enggak mikirin kamu, Ay. Cuma aib dia yang menjadi fokus utama. Gimana sama keselamatan kamu ke depannya?" jelas Rian.

"Tapi, kita beda situasi, Yan. Masalahnya jauh lebih bera-"

"Aku tunggu di mobil," balas Rian.

Belum sempat Ayana memberikan pembelaan, Rian sudah lebih dulu memotong. Bahkan Rian meninggalkan Ayana begitu saja. Sikap Rian semakin membuat Ayana bingung. Ayana harus nurut apa kata Rian, tapi Ayana juga kasihan pada Andin. Sedangkan, keselamatannya ke depannya juga harus Ayana pikirkan. Karena tidak semudah itu merubah karakter seseorang seperti Rey.

CRAZY SEXY DUDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang