Ayana keluar dari dapur sambil membawa makanan dan minuman untuk beberapa orang yang membantu Rian. Perabotan rumahnya yang masih Ayana gunakan, sengaja Ayana bawa ke rumah baru ini. Selain itu pakaian dan kebutuhan lainnya juga dipindahkan.
Ekspresi Ayana tampak takjub melihat barang-barang yang sudah hampir semuanya masuk ke dalam rumah. Sisanya tinggal meja kerja Rian dan peralatan lainnya yang memang tidak ditinggalkan begitu saja di rumah lama.
Tadinya Rian mau membeli yang baru saja, tetapi Ayana melarang. Masih banyak barang mereka yang layak digunakan. Sayang sekali jika itu cuma ditinggalkan saja.
"Itu mas-masnya diajak minum dulu, Yan," ucap Ayana yang sepertinya tidak dipedulikan oleh Rian.
Apabila sudah sibuk bekerja, Rian akan sangat fokus. Bahkan ucapan Ayana hanya dijadikan angin lalu. Laki-laki itu tidak akan berhenti sebelum pekerjaan itu selesai. Padahal Ayana lihat orang-orang yang membantu Rian sudah lelah. Sedangkan, Rian masih terlihat biasa saja. Mungkin ini efek karena Rian suka berolahraga di gym.
"Mas, saya udah bilang meja itu taruhnya jangan di situ. Ruangan itu khusus buat kamar bayi," ucap Rian yang terdengar kesal.
"Aduh, maaf pak. Saya pindahkan dulu," jawab salah satu orang yang memang Rian pekerjakan jasanya untuk membantu pindahan.
Ayana menghela napas, melihat raut wajah Rian yang marah. Jujur saya, Ayana tidak suka Rian bersikap seperti itu. Telinga Ayana tidak enak mendengar Rian yang memarahi para pekerja. Mungkin mereka lupa dengan perintah Rian. Tidak seharusnya Rian menunjukkan rasa kesalnya, meski mereka semua memang sudah dibayar.
"Yan, enggak boleh kayak gitu. Kamu bisa kan ngomongnya, enggak usah pakai emosi. Kasihan loh mereka juga capek," Ayana mendekat ke arah Rian.
Saat ini Rian sudah berhenti memindahkan barang. Sebenarnya, Rian tidak perlu membantu. Mengarahkan saja tentunya boleh, tetapi Rian tidak enak jika hanya melihat mereka semua bekerja sampai berkeringat.
Namun, ketika ada sesuatu yang tidak Rian sukai, laki-laki itu langsung marah. Ekspresi Rian sulit sekali untuk ditutupi. Ayana yang jadi tidak enak dengan orang-orang itu.
"Ya, habisnya aku udah kasih tahu dari tadi, Ay. Aku juga ikut mindahin, biar enggak salah penempatannya."
"Iya, aku tahu. Tapi, tetap enggak boleh kayak gitu sama orang. Tahan emosi kamu, Yan."
Ayana mengusap-ngusap lengan Rian, membuat suaminya berhenti mengomel. Memang Rian sangat sensitif sekali dengan ruangan bayi yang sudah Rian persiapkan. Padahal kandungan Ayana saja belum genap enam bulan. Tetapi, Rian sudah begitu antusias. Bahkan Ria memilih sendiri box bayi untuk ditaruh di dalam ruangan itu. Meski, masih terbungkus rapi, karena Rian takut barang-barang itu menjadi kotor.
"Aku kelepasan tadi, Ay. Soalnya ruangan itu udah aku tutup, malah dikasih meja. Debu dari mejanya masuk lagi ke dalam."
"Nanti, aku bersihin kamar bayinya. Aku lahiran aja masih lama. Sekarang baru empat bulan, kamu udah siap-siap beli perlengkapan bayi. Harusnya aku yang antusias beli. Eh, ini malah kebalikannya," omel Ayana.
"Aku mau kasih yang terbaik untuk calon anak kita. Pokoknya Al dan bayi yang ada di dalam kandungan kamu harus selalu dapat fasilitas nomor satu dari aku."
"Iya, deh. Yang udah mau punya anak dua," Ayana tersenyum nakal, membuat Rian ikut tersenyum.
"Kamu juga, tapi ngeledekin aku," Rian mencubit gemas pipi istrinya yang mulai chubby.
Perilaku Rian mendapat tatapan horor dari Ayana. Perempuan itu menyadari perubahan pada tubuhnya, terutama bagian pipi dan perut. Semenjak hamil memang semuanya jadi membesar, membuat Ayana terkadang tidak percaya diri.
"Mulai deh," gerutu kesal Ayana.
Namun, tatapan mengerikan Ayana tidak berlangsung lama. Tiba-tiba Al berlari ke arah Rian dan Ayana. Anak itu sempat membuat Ayana panik. Berulang kali Ayana ingatkan, tetapi tetap saja Al berlarian. Apalagi rumah ini luas sekali membuat Al semakin aktif.
"Jangan lari-lari, sayang," ucap Ayana.
"Daddy! Mommy!" teriak Al sambil membawa pot kecil dari halaman rumah mereka.
Ayana yakin itu tanaman di rumah lama yang Al bawa ke sini. Tanaman Al sangat banyak dan anak itu tidak mau meninggalkannya. Apalagi tanaman cabai menjadi tanaman kesukaan Al, jelas saja Al bersikeras ingin menanamnya di rumah baru. Maka, Ayana membeli pot kecil untuk memindahkan sementara. Tetapi, entah kenapa Al malah membawanya ke ruang tengah.
"Cacing ada banyak, daddy," ucap Al yang tertawa sambil menunjukkan pot itu pada Rian.
"Daddy geli, Al. Jangan dikasih ke daddy," Rian panik dengan ulah Al.
Laki-laki yang tadi emosi dan kelelahan itu sekarang bertingkah lucu. Saat ini Rian bersembunyi di balik badan Ayana. Tujuannya meminta bantuan Ayana untuk memberi tahu Al.
"Daddy udah besar takut cacing, mommy," Al semakin tertawa dengan tangan mungil itu yang sudah kotor.
Bukan hanya tangan Al saja yang kotor karena tanah. Pakaian Al juga sudah coklat semua, membuat Ayana pasti pusing membersihkannya. Namun, Ayana tidak bisa melarang anaknya yang terus belajar menanam tanaman. Ayana justru senang, Al mengenal banyak sekali macam-macam tanaman sejak dini.
Cuma permasalahannya, Al selalu saja jahil pada Rian. Padahal Ayana sudah memberi tahu. Tetapi, tetap saja Al lakukan. Ini baru yang namanya keturunan Rian, karena sifat jahil Al tidak ada bedanya dengan laki-laki yang masih saja bersembunyi di belakang tubuh Ayana. Rasanya Ayana ingin tertawa, tapi Ayana kasihan pada suaminya.
"Iya, daddy takut. Soalnya itu bikin geli, sayang. Coba Al perhatiin, gerak-gerak sendiri. Daddy jadi enggak berani," Ayana mencoba memberi tahu.
"Tapi, Al berani pegang mommy. Kalau dipegang gini, cacingnya enggak bisa lari-lari mommy."
Ayana menepuk jidatnya sendiri. Anak itu bukannya menjauhkan pot berisi cacing dari Rian, Al malah memegang cacingnya. Tidak ada takutnya sama sekali, bahkan Al tidak merasa jijik. Sedangkan, Rian sudah semakin kesal di tempatnya. Laki-laki itu geli sekali melihat cacing yang Al pegang.
"Sayang, jangan dipegang kayak gitu. Geli lihatnya, Al. Itu juga jorok, enggak boleh gitu," Ayana membuat Al yang bingung meletakkan kembali cacing ke dalam pot tanaman.
"Enggak boleh buat mainan?" tanya Al.
"Enggak boleh, Al. Cacing bukan buat mainan, sayang. Mending tanamannya kembaliin lagi, biar dapet cahaya matahari. Nanti semakin cepet tumbuh besar. Katanya Al mau cepet-cepet petik cabainya."
"Kalau udah dipetik cabainya, daddy buang tanamannya," ucap Rian yang kesal.
"Mommy," adu Al, membuat Ayana melotot pada Rian.
"Tinggal tanam lagi yang banyak, sayang. Jangan dengerin daddy ya," Ayana tersenyum, sambil mengecup pipi gembul Al.
"Oke deh, mommy. Al ke belakang dulu ya.
"Daddy penakut!" ledek Al, sebelum membalikkan badan dengan senyum lebar.
Sepertinya anak dan bapak itu sedang bermusuhan. Tampak Al yang terus meledek dan Rian juga ikut menjulurkan lidah. Benar-benar Ayana mempunyai dua bayi yang sama-sama memiliki sifat jahil. Semoga saja bayi yang ada di dalam kandungan Ayana tidak menuruni kejahilan Al dan Rian.
KAMU SEDANG MEMBACA
CRAZY SEXY DUDA
RomanceAyana dan Rian terpaksa menikah. Mereka saling membutuhkan satu sama lain. Ayana butuh bantuan Rian untuk mengembalikan eksistensinya sebagai model. Sedangkan, Rian butuh peran Ayana sebagai ibu sambung putranya. Segala tangis, tawa, kebahagiaan, ke...