Hampir seharian ini Rian tidak tertidur. Rian masih terus mencari Ayana. Bahkan Rian tampak jauh lebih frustasi. Rambut Rian berantakan. Laki-laki itu juga masih menggunakan kemeja yang semalam.
Rian masih tidak percaya Ayana kabur dari rumah dengan membawa Al. Alasan Ayana kabur karena masa lalu Rian. Sungguh ini membingungkan Rian. Tanpa harus berpikir panjang, Rian cuma punya satu pilihan. Rian harus berusaha melupakan masa lalunya, lalu meminta kesempatan pada Ayana. Namun, berhubung Ayana masih juga menghilang, Rian jadi tidak tahu sekarang harus bagaimana.
Sambil menatap ke arah balkon, Rian terdiam. Memikirkan masalahnya membuat Rian sudah seperti orang gila. Rian tidak terurus sama sekali. Kondisi Rian membuat Davin yang juga ikut mencari Ayana merasa sedih melihat laki-laki itu begitu terpuruk.
"Lo enggak makan, Yan?" tanya Davin.
"Enggak nafsu."
"Lah, lo kenapa malah nyakitin diri lo sendiri? Kalau lo sakit yang ada makin susah nyari bini lo."
"Jauh lebih sakit Ayana dari pada gue."
Tampak Davin menghela napas, usai mendengar ucapan Rian. Entah kenapa situasinya malah jadi seperti ini. Keputusan Ayana yang kabur dari rumah menjadi tamparan keras untuk Rian. Itu balasan yang membuat Rian sadar. Seharusnya, Davin merasa lega karena Rian menyesal. Tetapi, Rian saat ini benar-benar memprihatinkan.
"Lo udah cek di rumah orang tuanya?"
"Belum."
"Kenapa belum?"
"Gue sebenarnya enggak mau ngelibatin nyokapnya dalam masalah ini. Tanggung jawab gue kayak enggak ada. Bini gue bisa-bisanya kabur gara-gara gue," jelas Rian.
Dari sorot mata Rian dan tawa miris itu seakan menjabarkan perasaan Rian saat ini. Mungkin Rian memang salah. Rian juga sadar bahwa laki-laki itu tidak bisa tanpa Ayana. Apalagi saat Al juga tidak ada di samping Rian. Rasanya dunia Rian hancur.
Perempuan itu tahu caranya membuat Rian takut. Bukan hanya balasan yang Ayana berikan. Tetapi, kehancuran untuk Rian. Ternyata saat seseorang yang kita cari tidak ada, baru kita menyadari bahwa kehadirannya memang benar-benar berharga. Tidak seharusnya Rian menyia-nyiakan perasaan Ayana, membuat Ayana lelah dengan pernikahan ini. Yang Rian lebih takutkan lagi jika Ayana ingin berpisah dari Rian.
"Tapi, lo enggak ada pilihan lain. Siapa tahu dia ngumpet di rumah nyokapnya? Kita enggak bakalan tahu, kalau enggak ngecek ke sana," sahut Davin.
Rian terdiam setelah Davin memberikan saran. Laki-laki itu meraih ponselnya dan tidak lama Davin melihat Rian mengetikkan sesuatu. Sepertinya Rian menghubungi orang tua Ayana. Meski, hanya melalui pesan, karena ini sudah pukul dini hari. Rian mau menelpon nanti atau mempertimbangkan untuk ke sana.
Saat ini Rian kembali meletakkan ponselnya ke atas meja. Mata Rian masih menatap lurus ke depan. Tidak ada perubahan ekspresi dari Rian. Laki-laki itu tetap berwajah datar, meski hatinya sedang tidak baik-baik saja.
"Vin."
Tiba-tiba Rian memanggil Davin. Tanpa perlu menunggu lama, Davin duduk di samping Rian. Sepertinya Davin tidak bisa pergi untuk bersenang-senang, karena Rian membutuhkan teman. Bukan hanya teman bertukar pendapat, tetapi juga teman yang bisa mendengarkan keluhan Rian.
"Hm?" Davin sambil meminum wine langsung dari botol.
"Lo pernah merasa kehilangan?"
"Pernah. Waktu nyokap bokap gue pisah. Gue kehilangan keluarga yang harusnya jadi tempat ternyaman buat gue."
Tidak ada lagi jawaban dari Rian. Tangan Rian meminta botol wine yang Davin bawa dari apartemen. Berhubung Rian sedang kacau, Rian ingin ikut meminumnya.
"Enggak usah ikut minum lo. Ntar kalau lo mabuk, gue makin pusing."
"Dikit," pinta Rian.
"Enggak ada, bahaya buat lo."
Dengan tegas Davin melarang Rian, karena Davin tahu Rian sudah tidak kuat minum seperti dulu. Bisa-bisa yang ada Davin bukan hanya menemani Rian, tetapi harus mengurus juga muntahan laki-laki itu. Alhasil, Davin terpaksa melarang. Rian juga tampak pasrah.
"Lo dokter, Vin. Lo tahu itu bahayanya apa, tapi masih juga lo minum. Sama kayak masalah gue sekarang."
"Maksud lo? Apanya yang sama?"
Alis Davin bertaut. Mata Davin menatap penuh penasaran ke arah Rian. Yang ditatap malah terdiam untuk beberapa saat. Hingga Rian mulai membuka suara.
"Gue pernah kehilangan, rasa sakitnya gue udah pernah ngalamin. Tapi, begonya gue ulangi lagi," jelas Rian, sambil tertawa kecil.
Tawa menyedihkan yang membuat Davin tidak bisa berkata-kata. Dulu ketika Tasya dikabarkan sudah tiada karena sebuah kecelakaan, Davin yang menemani Rian. Saat itu Rian depresi hingga trauma berat. Rian selalu menyalahkan dirinya sendiri atas kematian Tasya. Rasa kehilangan begitu Rian rasakan. Tidak heran jika sekarang ini Rian takut kehilangan Ayana.
Namun, saat itu Rian bisa melewati semuanya dengan bantuan Davin. Sebagai seorang dokter, Davin tahu bagaimana caranya menolong mental Rian. Meski, Davin bukan seorang psikiater. Tetapi, Davin mempelajari banyak hal.
Sikap Rian yang menyendiri dan merenung mengingatkan Davin pada saat kematian Tasya. Gerak-gerik Rian sudah Davin kenali. Saat rasa takut dan cemas kembali datang, Rian memilih untuk menyendiri dalam diam.
"Kalau boleh gue tahu, lo kenapa masih simpen barang Tasya? Lo tahu kan itu kesalahan fatal?"
"Tasya pengen banget punya ruangan khusus sendiri buat dandan dan naruh baju-baju dia. Gue belum sempat kasih apa yang dia mau, tapi dia keburu udah enggak ada. Jadi, gue buat gudang itu buat simpen barang-barangnya."
"Lo kasih tahu alasan ini ke Ayana?"
"Enggak, gue cuma bilang dia cari masalah terus sama gue dengan jadiin Tasya sebagai bahan untuk kita berantem."
"Anjirr! Lo bego banget."
"Gue ngerti."
Rian mengangguk pelan. Saat itu memang Rian merasa bodoh karena tidak memberikan penjelasan pada Ayana. Bahkan Davin yang mendengar saja tidak habis pikir dengan Rian. Bukannya membujuk Ayana untuk tenang, Rian malah membuat situasi semakin rumit.
Rian yang putus asa membuat Davin geleng-geleng kepala. Setelah satu tahun lamanya Rian sibuk pada hatinya yang masih untuk Tasya, saat ini Rian takut kehilangan perempuan lain. Rian mencintai Ayana, tapi laki-laki itu juga masih terjebak dengan semua ketakutan dan kenangan yang berkaitan dengan Tasya. Ini benar-benar patah hati kedua kalinya untuk Rian.
"Ya, gimana Ayana enggak marah kalau lo aja enggak kasih penjelasan. Lo malah bikin dia makin ngerasa enggak dihargai."
"Gue pikir dia bakalan makin marah, kalau tahu alasan gue yang sebenarnya. Gue simpen barangnya juga buat jadi kenangan aja."
"Lo enggak perlu kayak gitu, Yan. Gue yakin Tasya di sana sedih ngelihat lo kayak gini. Ini udah saatnya lo keluar dari zona nyaman lo."
"Gue mau coba, tapi gue butuh Ayana ada di samping gue."
"Udah, lo tungguin aja. Gue yakin Ayana cuma butuh waktu sendiri. Dia bakalan balik lagi ke lo, kecuali lo benar-benar enggak mau berubah. Mungkin dia bakalan pertimbangin untuk tetap sama lo atau enggak."
KAMU SEDANG MEMBACA
CRAZY SEXY DUDA
Lãng mạnAyana dan Rian terpaksa menikah. Mereka saling membutuhkan satu sama lain. Ayana butuh bantuan Rian untuk mengembalikan eksistensinya sebagai model. Sedangkan, Rian butuh peran Ayana sebagai ibu sambung putranya. Segala tangis, tawa, kebahagiaan, ke...