Bandung, November 2013
Naro tak tahu apakah ia menderita bipolar seperti yang pernah diujarkan papanya. Naro hanya sadar dirinya mudah marah hingga meledak-ledak.
Naro menghampiri motornya dengan cepat setelah mengunci pintu rumah. Dalam waktu yang menjelang tengah malam ini ia hendak ke markas gengnya. Namun ia yang baru memakai helm harus melepas lagi begitu teman-temannya datang.
Tiga orang menarik Naro ke halaman belakang melalui sisi rumah. Terasa kasar dan menjengkelkan. Naro menghempaskan tangan-tangan yang memagangnya itu begitu ada cela. "Apaan sih?!" hardiknya kesal.
"Lo harus ikut kita pergi dari Bandung kalau pengen hidup dan masa depan lo aman," ucap Septa, pemuda berambut ikal.
"Ro, bener. Kita semua udah terancam," timpal Rayn serius.
Kata-kata mereka tak bisa dipahami oleh Naro. Tatapan Naro menajam. "Ada apa? Jelasin semua!"
Gerald mendekati Naro, membisiki kata-kata yang membuat jantung Naro berdentang-dentang dengan keras.
"Ada satu anak DIEART yang mati."
Dan ketegangan Naro semakin bertambah saat Gerald kembali melanjutkan penjelasannya. "Kita gak sengaja keblablasan." Gerald lantas menjauhkan wajahnya dari Naro lalu menatap lurus ke depan. Wajah Gerald terlihat sangat pucat.
"Kenapa bisa? Kenapa bisa kalian kelewatan batas?! Bukannya gue bilang-"
Kalimat Naro berhenti karena tinjuan keras ke pipinya. "Bangsat! Masih untung kita kasih tahu lo!"
Tidak terima, Naro membalas pukulan Nino dengan meninju wajah pemuda tepat juga di wajahnya. "Elo yang bangsat! Pembunuh!!"
Naro menatap teman-temannya emosional. Ah---mulai hari ini mereka bukan temannya. Ia tak sudi berteman dengan para pembunuh. "Gue nggak akan ikut kalian semua! Gue nggak salah! Gue bukan pembunuh kayak kalian!!"
Suara lantang Naro menimbulkan kepanikan. Tentu saja takut bila ada tetangga Naro mendengar. Hampir seluruh pemuda di halaman belakang rumah meninggalkan Naro dengan langkah buru-buru. Gerald adalah orang yang terakhir Naro lihat.
Apa-apaan ini? Teman-temannya pembunuh.
Naro menendang keras pot-pot kosong di sekitarnya dengan emosi. Ia sulit mempercayai ini.
***
Ia tak ikut melakukannya. Ia bukan pembunuh. Seharusnya ia tidak takut polisi datang menjemputnya.
Naro berusaha menenangkan dirinya dari resah yang menguasai jiwa. Waktu sudah pukul 1 lebih 30 menit. Lebih baik tidur saja dan paginya pemuda itu bisa lebih baik. Naro memejamkan mata, dan perlahan terlelap di sofa panjang ruang tamu.
Tujuh jam kemudian, Naro terbangun oleh klakson mobil dari luar. Jantung Naro berdetak kencang. Setelah ia cek, rupanya klakson mobil yang bertamu di rumah seberang. Naro memutar badan, melangkah kembali ke sofa. Naro duduk sambil memegang perutnya yang perih. Naro masih mengingat jelas soal semalam yang membuatnya ragu untuk pergi keluar membeli makan.
Naro tak takut mati, tapi Naro tak sudi mati hanya menjadi korban balas dendam. Apalagi mati di tangan musuhnya. Naro pun menyesal pernah nyaris mati di tangan papanya.
"Pesen ajalah," putus Naro setelah berpikir-pikir.
Segera saja Naro mengirim pesan pada kontak rumah makan yang ada di ponselnya. Naro memesan makanan apa pun, lebih dari sepuluh jenis. Naro ingin melupakan masalahnya. Ia juga tak mau memesan berkali-kali, dan makanan yang tersisa bisa ia makan untuk seharian.
Naro menransfer uangnya langsung. Jangan tanya uang dari mana, tentu uang dari harta peninggalan Nona yang tak ada habisnya.
Pesanan Naro tiba satu jam kemudian. Naro membawanya ke meja tamu kemudian memulai sarapannya.
***
Sudah kurang lebih 72 jam Naro aman-aman saja. Malam ini Naro percaya diri untuk keluar rumah. Pemuda itu menelusururi jalan ke jalan seraya menghirup udara segar. Ia jenuh di rumah terus.
Ketika melihat cafe, pemuda itu berhenti sejenak untuk sekadar mengopi. Begitu kopi sudah ia habiskan, Naro kembali menyusuri jalan.
"Ada apa!? Jelasin semua!"
"Ada satu anak DIEART yang mati."
Naro menurunkan kecepatan motornya saat secuil percakapan malam itu terputar di kepalanya. Di mana orang-orang yang ada dalam percakapan malam itu sekarang? Apakah sudah sangat jauh?
Suara bising gerombolan kendaraan roda dua dari belakang membuat Naro serta-merta tak mengedip dari balik helmnya. Pemuda itu tegang tak keruan begitu rombongan itu semakin dekat. Semakin tegang lagi, saat ada yang menyerukan "woi, ketemu lo!" di sampingnya.
Serta-merta Naro menambah kecepatannya. Namun, tidak sampe 30 detik, Naro sudah terkapar setelah menabrak pembatas trotoar karena salah satu rombongan itu menendang badan motornya.
Sementara Naro meringis kesakitan, rombongan itu serentak menghentikan kendaraanya. Mereka turun mengelilingi Naro seolah menutup cela untuk Naro bisa kabur.
Satu orang yang Naro kenal, ketua geng rombongan itu menarik kerah Naro, memaksanya untuk berdiri. Bersamaan dengan Naro meronta, pemuda itu mendapat pukulan di wajahnya oleh orang lain. Belum sampai melawan, Naro kembali mendapat dua pukulan ke perutnya.
"Gimana rasanya? Enak? ucap pemuda yang mencengkram kuat ujung jaket Naro. "Ini belum apa-apa."
Naro meronta lagi. "Lepasin gue! Gue bukan anak MATRIXX lagi!"
Naro berhasil lepas, tetapi tertangkap lagi dengan mudah oleh dua orang di depannya. Pemuda itu mendapat pukulan bertubi-tubi dari dua orang lain yang maju. Dan pada akhirnya membuat pemuda itu meluruh.
Ketua geng itu menjambak kuat rambut Naro, yang membuat pemuda itu terdongak. "Kasih tahu di mana temen-temen lo sekarang?" Tahu-tahu saja pemuda itu meletakkan pisau di wajah Naro.
"Gue nggak tahu! Mereka bukan temen gue lagi!"
"Gak usah banyak alasan. Lo tinggal kasih tahu!!" hardik lawan bicara Naro. "Nyawa di bayar nyawa! Ngerti! Gue mau semua anak MATRIXX mati!"
Akhir kata, lawan bicara Naro menghempaskan tubuh Naro hingga membentur keras aspal jalanan. Pemuda itu menendang Naro berkali-kali dan memancing yang lain untuk melakukan hal sama.
Kondisi Naro sudah mengenaskan saat tubuhnya kembali di angkat. Darah mengotori wajah pemuda itu sampai merambat ke jaket dan kaosnya. "Gimana? Puas?"
Tidak ada jawaban. Naro merasakan seluruh tubuhnya sakit luar dan dalam. Orang di depan Naro menyeringai kecil sebelum kemudian menyeret Naro dengan kencang untuk membenturkan kepala pemuda itu pada tiang listrik dengan keras.
Naro pikir, malam itu adalah hari terakhirnya. Namun, tiga hari kemudian ia terbangun di brankar rumah sakit dengan jarum infus yang menancap di tangannya, juga alat penopang hidup yang lainnya. Rasa sakit yang Naro rasakan tidak jauh berbeda dari malam itu.
Bunyi dari alat yang Naro tak ketahui namanya menjadikan ruangan tak sepenuhnya hening. Sepuluh menit kemudian, dua dokter sekaligus bahagia melihat Naro siuman dan langsung memeriksanya. Satu jamnya lagi, seorang masuk ke ruangan Naro.
Naro tidak mengenalnya. Namun, mengapa remaja itu seperti bahagia melihatnya siuman.
"Akhirnya indentitas kakak ketemu."
Tenggorokan Naro sakit. Naro malas untuk membalas.
"Cepet sembuh, ya, Kak."
Naro sungguh tak mengenal remaja laki-laki itu. Tiba malam hari akhirnya semua terungkap. Remaja laki-laki itu bernama Antha Kurniawan Yudha. Remaja yang menemukan dirinya tergeletak tak sadarkan diri di pinggir jalan.
Naro tahu dari mulut remaja laki-laki itu yang mengutarakannya sendiri.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
FOREVER R
Romance"Aku dan kamu adalah kisah tak sempurna." -------- Razel Ardeo Dewanta. Nama dan bayang wajahnya tak akan pernah Ralissa Azalea lupa. Pemilik senyum terbaik, tapi sendu. Seorang yang membuat Ralissa lebih mengerti arti kata "kasih". Seorang yang men...