28 | 2019 (4)

66 2 0
                                    

Jakarta, Agustus 2019

Naro menyobek kertas yang menempel pada paketnya dengan geram. Semua karena kesalahan nama di paket yang baru diterimanya. Di paket itu tertulis "Kiranaro Rado Dewanta". Padahal seharusnya "Kiranaro Rado Gavendra". Jika tahu seperti ini, Naro tak mau membeli kemeja incarannya pada penjual online yang notabene teman SD-nya di Bandung. Kertas itu akhirnya berakhir masuk tempat sampah. Naro menatapnya sejenak sebelum beranjak dengan langkah tegas.

Naro mencari-cari keberadaan Antha. Geramnya belum pergi, tetapi isi paket itu harus ia berikan pada Antha. Berhubung melihat gunting yang menganggur di meja ruang istirahat, Naro mempergunakannya untuk membuka paket. Singkat, plastik yang membungkus paket, lelaki itu pisahkan dari isinya. Sampah dari paketnya nanti akan dibuang karyawannya. Naro meraih isi paket---sebuah kemeja baru kemudian mengeceknya tiap sisi. Untung saja pesanannya sesuai ekspeksi sehingga tak sampai membuatnya geram lebih jauh. Perihal tadi tidak perlu diberitahukan pada Antha. Naro lanjut mencari Antha seraya memanggil-manggil namanya.

"Tha." Langkah Naro terhenti melihat Antha di halaman belakang. Semula Antha yang membaca koran kini meninggalkan korannya di kursi lantas mendekati kakaknya.

"Bagus, kan? Nih, buat lo." Naro memberikan kemeja di tangannya pada sang adik dengan ramah. Hadiah kecil yang tak sebanding dengan jasa yang selama ini sang adik berikan. Antha telah menyelamatkan hidupnya. Antha juga telah menyinari jiwanya yang redup.

Antha, anak yang dulunya berusaha keras berjuang hidup dengan keadaan pas-pasan bersama sang ibu. Anak yang baik. Anak yang penurut sampai membuat lelaki itu tak tahan untuk mengajaknya hidup bersama dan mengangkatnya menjadi adik setelah anak itu ditinggal sang ibu menutup mata. Tidak ada penyesalan. Sebaliknya, lelaki itu beruntung bertemu dan mempunyai adik seperti Antha.

"Makasih, Kak." Antha memeluk kemeja itu erat setelah menerimanya.

Antha berlalu untuk segera menjajal kemejanya. Naro tersenyum gemas. Akhirnya kemaja itu sampai juga di tangan Antha. Naro merogoh ponsel di saku celananya saat mendapat notifikasi. Ada satu pesan masuk. Naro segera membukanya.

Izza :
Ada, Kak. Aku liat Kak Ralissa.

Naro :
Thank you, Za, informasinya

Sebelumnya lelaki itu memerintahkan salah satu karyawan coffee shop-nya untuk mengecek seorang. Seorang yang setiap harinya tak lepas dari pikiran Naro. Perempuan cantik yang akhir-akhir ini sibuk sampai tak terlihat di toko bunganya setiap kali ia datang.

Empat bulan yang lalu adalah pertemuan Naro dengannya. Ia sedang berniat memborong bunga untuk dibagikan pada pengunjung karena merayakan HUT coffee shop-nya. Naro tidak menyangka hari itu melihat bidadari di sana. Selama ini ia tidak sekalipun pernah tertarik dengan perempuan, tetapi kali ini tidak bisa dilewatkan. Apalagi ia dan perempuan itu sama-sama pengusaha muda. Bibirnya menawan. Wanginya bikin candu. Informasi yang baru ia dapatkan tentang perempuan itu memercikkan kehangatan di hatinya.

Setelah mengendarai mobilnya sampai toko bunga, Naro beranjak keluar mobil lantas memasuki bangunan sarat bunga tersebut. Senyum lelaki itu mengembang kala melihat orang yang menjadi tujuannya menginjak tempat itu tengah sibuk membantu membungkus bunga. "Sendiri aja," ujarnya lantas terduduk di samping perempuan yang kini menatapnya datar.

"Kamu ke mana aja? Jarang banget di toko."

Meski perempuan itu sampai sekarang belum menerimanya, Naro akan tak henti berusaha. Ah, tapi ia tidak bisa membaca yang pasti pada Ralissa.

Ya, namanya Ralissa Azalea.

"Aku nemenin temanku. Temanku sakit."

Sudah sewajibnya Ralissa menghargai salah satu pelanggan yang sering memborong bunganya seperti ini. Jika jarang membalas pesannya, seenggaknya saat diajak bicara perempuan itu tidak diam.

"Teman kamu udah sembuh?" tanya Naro serius.

Ralissa menghindari tatapan Naro. "Udah."

Naro tersenyum tipis. "Lain kali, ajak aku ketemu teman kamu itu dong."

Sebenarnya Naro sangat penasaran pada teman Ralissa itu. Perempuan atau laki-laki? Namun, Naro tak mau memercikkan benih ketidaknyamanan. Jadi, ia menahannya tanpa bertanya.

"Iya." Ralissa mengangguk dengan seulas senyum paksa.

***

"Makasih."

Perkataan itu muncul dari mulut Ralissa setelah Naro mengambil daun yang menyelip di ujung baju Ralissa, tepatnya di leher belakang. Naro menanggapinya dengan senyum simpul.

Dua jam lebih lelaki itu membantu Ralissa membungkus bunga. Begitu kelar, keduanya mengobrol di sofa dengan Naro yang lebih banyak mencari topik pembicaraan.

"Adik kamu kuliah, ya?" tanya Naro kembali memancing Ralissa bicara.

"Iya, dia kuliah," jawab Ralissa pelan lantas menata alas meja yang setengah melorot.

"Abis ini kita keluar, yuk. Kamu dah kosong, kan?"

Tangan Ralissa berhenti bergerak, sementara badannya perlahan-lahan menegak. "Aku ada urusan," sahut perempuan itu lirih. "Penting, Ro ...."

Apa? Mau ke mana? Rasanya Naro ingin mengatakan itu, tetapi berat karena Ralissa membawa kata "penting".

"Yaudah, lain waktu aja." Naro tersenyum culas.

***

FOREVER RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang