11 | Apartemen

263 22 0
                                    

Ralissa tak mengerti dengan dirinya sendiri. Terkadang ia bisa kuat menguasai Razel. Namun, terkadang ia lemah karena lelaki itu.

Saat ini ia sedang merasakan posisi yang kedua. Bayangan-banyangan saat Razel meregang nyawa masih mengisi kepalanya. Ia berharap kejadian itu adalah yang terakhir kali ditangkap oleh matanya, tak mau melihat Razel terluka parah lagi. Itu sangat menakutkannya.

Di saat Razel telah hanyut dalam lelap, Ralissa membuka mata yang sejak tadi berusaha untuk tidur, tetapi tak bisa. Ia perlahan bangun, tersenyum segaris memandang Razel, lalu menuruni ranjang.

Ralissa duduk di sofa sambil menyentuh perut bagian atasnya yang perih. Apa aku makan aja?

Jika sampai drop, Ralissa pikir ia sendiri yang akan rugi. Sehari tanpa Razel, ia tak akan rela apalagi drop di saat Razel sakit menjadi hal yang harus dihindarinya. Ia ingat bila sempat dibawakan Anres roti yang tercampur dengan wadah pakaian. Adiknya itu memang pergetian. Padahal ia hanya meminta baju milik Dion untuk jaga-jaga sebagai baju ganti Razel saat pulang, tetapi Anres juga membawakan baju untuknya sekaligus roti. Siang itu juga Anres memaksanya untuk makan di kantin bawah. Jika, tak makan mungkin perutnya lebih perih dari yang dirasakannya ini. Atau bahkan ia muntah-muntah dan sudah drop.

Ralissa mendekati nakas. Ia mengambil roti dalam paper bag, lalu memakannya begitu kembali duduk di sofa.

Belum menghabiskan setengah, dering ponsel miliknya berbunyi. Namun, ternyata Ralissa salah. Dering itu rupanya bersumber dari ponsel Razel yang berada dalam nakas. Ralissa mengambilnya, lalu membelalak membaca nama yang tertera. Ayah.

"Siapa?" Razel terbangun, membuat Ralissa mendekati ranjang, dan menyodorkan benda pipih ditangannya.

Razel terdiam dengan raut terkejutan yang berusaha disembunyikan. Lelaki itu mengambil alih ponsel, sesaat seperti berpikir keras, lalu tak lama kemudian mengetikkan pesan. Entah menulis apa. Ralissa tidak jelas melihatnya.

Menit selanjutnya, lelaki itu masih terlihat mengetik. Tak lama kemudian, Razel bergerak menempelkan ponsel pada telinganya.

"Gimana bisa? Di mana?" Suara bariton itu muncul dari ponsel Razel. Suara ayah mertuanya, pria yang tak pernah ia jamah, bahkan mungkin tak akan pernah.

"Kemarin malem. Gak jauh dari apartemen, Yah," jawab Razel.

"Besok Ayah lihat kamu."

"Gak usah, Yah. Aku udah gak pa-pa."

"Keras kepala."

Terdengar bunyi sambungan terputus. Razel kontan menggeram sejurus kemudian menatap Ralissa bengis. "Besok pagi kita pulang," ucapnya setengah menbentak.

"Kamu masih sakit, Zel," balas Ralissa tanpa berkedip.

"Besok Ayah mau ke apartemen," jelas Razel. "Dan aku bilang, aku udah di sana," sambungnya.

"Razel ...," panggil Ralissa dengan melemaskan bahu karena kecewa akan keputusan lelaki yang ditatapnya.

Keesokan paginya mereka benar-benar meninggalkan rumah sakit setelah menyelesaikan biaya administrasi. Keduanya pulang dengan posisi Ralissa yang menyetir dan menjadi momen yang langka, tetapi keduanya hanya kompak memasang raut serius.

Hingga tibalah Ralissa dan Razel di apartemennya. Razel mendahului Ralissa ke atas tanpa kata. Keduanya bertemu lagi begitu Ralissa sampai di depan apartemen yang ditempati. "Kamu masih ingat, kan?" tanya Razel singkat.

Belum sempat mengangguk, Razel menjauh dari hadapan Ralissa. Selama ini Ralissa dan Razel bebas memasuki seluruh apartemen lantai empat karena seluruhnya sudah disewa Razel. Jika Razel dan Ralissa memakai apartemen lain, artinya keduanya kedatangan tamu, dan yang paling sering adalah Ardan dan Naro. Seperti biasa Razel memilih apartemen sebelah kanan.

Ralissa menghela napas, memasuki apartemen yang ditinggalinya usai membuka kunci.

***

Ralissa tengah memandangi foto Dion saat remaja dan salah satunya tengah tersenyum lebar yang cukup membuat hatinya hangat. Papanya sangat tampan di usia muda. Papanya mempuyai darah Belanda dari sang ibu yang membuatnya tampak menjulang tinggi dan berkulit putih. Papanya mempuyai rahang tegas, hidung bangir, dan mata tajam. Tampak dingin saat tak berekpresi, tapi sangat menawan saat tersenyum.

Papanya setampan itu. Lalu mengapa wanita yang dicintai papanya tak pernah memilihnya?

Papanya bukan orang jahat walau dunia mengatakannya orang jahat. Ralissa bersaksi papanya adalah orang baik. Mungkin memiliki beberapa sifat buruk, tetapi papanya tak pernah merugikan orang lain.

Doa Ralissa setiap waktu, berharap wanita yang dicintai ayahnya lekas disadarkan lewat teguran Tuhan.

Ralissa membuka lembar foto selanjutnya, dan yang tampak ialah dua foto hari pernikahannya. Papanya sempat tak setuju karena Ralissa menikah cukup mendadak. Namun, Ralissa tak lelah membujuk hingga berkata. "Pa, aku cuma mau Razel. Kalau bukan Razel, lebih baik aku sendiri aja, Pa."

Pada suatu hari akhirnya Papa luluh walau setelah itu Ralissa harus mengakui---jujur---jika sesungguhnya, pernikahanya dengan Razel merupakan sebuah ikatan bersyarat yang membuat Papa langsung dihantam badai keterkejutan.

Getar ponsel membuat Ralissa menghentikan aktivitasnya sejenak. Ia mengambil ponsel di sisi bantalnya, membaca pesan yang masuk.

Anres :
Aku di depan pintu apartemen Kakak.

"Hmm ...," deham Ralissa yang sempat tegang mengira mendapat pesan dari Naro. Untuk sekarang, ia belum siap bertemu lelaki itu, sementara Razel baru keluar dari rumah sakit.

Ralissa menapak, lalu membuka pintu apartemennya.

"Aku abis dari rumah sakit. Kok Kakak nggak bilang," omel Anres begitu bersitatap dengan sang kakak sambil menjinjing plastik hitam.

"Maaf, Res." Ralissa tersenyum tipis, lalu berkata, "Masuk."

Anres mengerang, lalu memasuki apartemen kakaknya.

Tiba di meja makan Ralissa menerima pemberian Anres. "Nih. Aku beliin satu. Soalnya dia nggak mungkin makan aneh-aneh 'kan?"

"Alasan kamu aja," lirih Ralissa tak suka begitu ia mencium aroma bubur dari plastik. Bukannya itu adalah makanan yang tepat untuk orang sakit? Anres memang sering banyak alasan saat terangan-terangan tak menyukai Razel.

Namun, Anres tak seburuk yang Ralissa kira. Meski pemuda itu membeli satu bubur, nyatanya dengan porsi banyak dan toping yang dipisah. Anres berjalan mengambil mangkuk. Ralissa langsung mengerti apa yang akan adiknya itu lakukan. "Res, nggak usah," kata Ralissa yang sudah berdiri di sebelah, berusaha mengambil alih mangkuk di tangan Anres.

"Kak, Kakak tuh harus makan." Anres menguasai mangkuk, kembali ke meja makan.

Ralissa menyusul adiknya. Melihat adiknya menuangkan bubur ke mangkok, Ralissa menyerah. Mengisi bubur cukup banyak ke mangkuk serta dengan toping yang super banyak melebihi porsi makan Ralissa, kini Anres menyodorkannya pada sang kakak.

"Harus dihabisin." Anres tersenyum lebar nan puas sebelum kemudian harus pergi dari apartemen sang kakak karena terikat tugas kampus yang harus diselesaikan.

Ralissa mengamati bubur di meja dengan pandangan kosong. Sebentar saja sebelum akhirnya ia memakan bubur tersebut dengan pelan dan anteng.

Om Ardan udah dateng belum, ya? pikir Ralissa setelah empat sendok bubur masuk ke mulutnya. Jika pria itu sudah datang, pasti Razel sudah kembali. Namun, ini sudah terhitung empat jam Razel berada di apartemen sebelah.

Lama banget, eluh Ralissa sambil terdiam.

Ingin mengecek, tetapi ia takut berakhir berbuat kesalahan.

***

FOREVER RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang