"Tapi, Kak, aku belum bilang makasih sama kakak itu."
"Nurut aja, Ta." Dengan tegas Naro menarik Antha paksa ke mobil. Dalam waktu singkat, mobil itu enyah dari pandangan.
Razel menatap sebentar arah pergi kendaraan saudaranya sebelum kemudian menyuruh pengemudi ojek yang sempat ia tumpangi untuk mengikutinya.
Sebelumnya Razel dalam perjalanan mencari makan, tetapi tidak sengaja melihat Antha. Razel pun meminta pengemudi ojek untuk berhenti. Jika ada pemuda itu, 90% Razel yakin ada Naro.
Namun, Razel melihat dompet yang tergeletak tak jauh dari pemuda itu. Begitu membukanya Razel mendapati potret Antha. Cepat, ia menyerahkan dompet itu pada pemiliknya.
"Kok aku baru sadar." Antha mencengir. Makasih, Kak," lanjut pemuda itu sambil menerima dompetnya.
Razel mengangguk meskipun nyaris tak terlihat. Belum sampai Razel menanyakan perihal Naro, lelaki itu lebih dulu datang dengan plastik berisi ikan hias. Ekspresinya yang cerah seketika padam melihat Razel berdiri di samping adik angkatnya.
"Kita cabut, Ta."
Kini Razel pun berhasil mengikuti Naro sampai coffie shop-nya. Ia memasuki bangunan itu setelah membayar ojek.
Namun, Razel bertahan di pintu masuk karena melihat pengunjung coffie shop yang ramai. Tujuh meter darinya berdiri, Naro yang baru meletakkan plastik ikan hiasnya di atas meja kasir menatap lurus Antha.
"Sorry, ya, gue udah nyeret-nyeret lo tadi," ucapnya hangat. Naro melirik sebentar Razel lantas menepuk punggung Antha dengan perhatian.
"Gak pa-pa, Kak."
"Eh, lo belum makan, kan? Tunggu di sini bentar."
Sementara Naro beranjak pergi entah ke mana, Razel mengambil duduk di salah satu kursi. Tiga menit kemudian, Naro kembali dengan sepiring penuh ayam kecap dan sepiring nasi. Ia mengambil duduk di salah satu kursi bersama Antha lantas menghadapkan nampannya pada pemuda itu. Lagi, Naro melirik Razel yang kini diam menerima luka batin.
"Kakak makan juga dong," ucap Antha. Pemuda itu hingga detik ini tak menyadari kehadiran Razel.
"Enggak, lo aja yang makan. Gue, kan udah."
Pada akhirnya Antha mengangguk. Selanjutnya, ia langsung menikmati makanan yang telah Naro berikan dengan tenang.
Naro mengusap pucuk kepala Antha penuh sayang. "Makan yang banyak. Biar kuat."
Untuk ketiga kalinya Naro melirik Razel. Razel sudah tak kuat lantas meninggalkan coffie shop dengan luka yang sudah tak bisa ditahan. Matanya perih. Enggak, Razel tidak mau menangis.
Razel memang tak sampai menangis sampai kostannya. Namun, lelaki itu melampiaskan rasa sakitnya pada barang-barang di sekitarnya. Segala benda yang diraih, pemuda itu lemparkan keras.
Mengapa Naro setega itu padanya?
Razel mengambil kursi kayu lantas melemparnya keras ke dinding. Lelaki itu berakhir menjatuhkan diri pada ubin dengan kesakitan yang belum pergi.
Beberapa jam kemudian, saat suasana sudah gelap gulita, Razel sudah merasa sedikit tenang. Pemuda itu masih berada di tempat yang sama dengan posisi yang sama.
Di sebelah lelaki itu terdapat kotak cantik berisi beling. Di tangannya menggenggam salah satu beling dengan darah yang terus menetes ke celana dan pakaiannya. Darah juga tak berhenti mengalir dari beberapa luka sayatan pada kedua lengannya.
Semakin banyak darah itu mengalir, kesadaran Razel semakin menurun. Beberapa menit kemudian, tiba-tiba semuanya menjadi gelap.
Sebelum kesadarannya hilang, ada suara yang samar-samar Razel dengar. Sebuah suara yang menyebut namanya dengan cemas.
"Razel."
***

KAMU SEDANG MEMBACA
FOREVER R
Romance"Aku dan kamu adalah kisah tak sempurna." -------- Razel Ardeo Dewanta. Nama dan bayang wajahnya tak akan pernah Ralissa Azalea lupa. Pemilik senyum terbaik, tapi sendu. Seorang yang membuat Ralissa lebih mengerti arti kata "kasih". Seorang yang men...