Jakarta, Agustus 2019
Perempuan itu menarima secarik kertas dari pemilik toko mebel berisikan alamat tempat tinggal Razel. Ia meninggalkan toko itu setelah mengatakan terima kasih. Kemudian ia menjalankan mobilnya langsung menuju alamat yang tertera.
Dalam perjalanan, wajah perempuan itu berseri juga sesekali tersenyum tipis. Ia tidak bisa berbohong akan perasaan bahagianya. Seharusnya hal ini sudah ia lakukan dari kemarin-kemarin. Namun, tak apa. Akhirnya ia tahu alamat Razel, orang yang selama ini ia cari-cari.
Ada kecewa karena Razel tak mengingatnya. Namun, ia yakin, Razel akan segera tahu siapa dirinya.
Sekarang perempuan itu berhenti di depan salah satu konstan yang berjejer panjang. Di kertas itu tertulis, kostan Razel berada di nomor 09.
Menarik napas, perempuan itu melangkah mulai mencari kostan Razel. Tidak sampai lama, perempuan itu menemukannya. Ia langsung mengetuk pintu kostan itu tanpa berpikir lama. "Permisi," ucapnya sopan.
"Permisi," serunya sekali lagi.
Namun, bukannya Razel yang keluar, seorang pria paruh baya yang mendekat padanya. "Cari Razel?" tanyanya pelan.
"Iya, Pak." Perempuan itu membalas ramah.
Pria paruh baya itu terdiam lantas menangguk samar. Beberapa saat kemudian, Ralissa masuk ke mobilnya dengan buru-buru. Pria paruh baya pemilik kostan itu baru saja memberikan informasi buruk. Perempuan itu langsung mengendarai mobilnya menuju ke tempat yang disebutkan.
Perempuan itu membelokkan setir ke sebuah rumah sakit lantas menghentikan kendaraannya di parkiran. Kemudian ia melangkah dengan buru-buru menuju resepsionis. "Pasien atas nama Razel."
Setelah mendapat jawabannya, perempuan itu serta-merta mencari kamar rawat Razel. Melati nomer 07.
Perempuan itu menemukannya dengan waktu yang cukup singkat. Kamar rawat Razel kebetulan tidak tertutup sehingga saat lelaki itu jatuh ke bawah, perempuan itu melihatnya dengan sangat jelas. Refleks, perempuan itu menghampirinya dengan cemas.
Razel tidak sepenuhnya ambruk. Kedua tangan dan kakinya menumpu badannya. Lelaki itu tampak menahan sakit. Sepertinya Razel memaksa turun, sementara kondisinya belum mendukung. Perempuan itu berteriak-teriak memanggil bantuan.
Tak lama kemudian, perawat datang lantas membantu Razel kembali ke brankarnya. Dua perawat itu juga melakukan pengecekan lain, salah satunya jarum infus Razel. Begitu urusannya selesai, keduanya meninggalkan ruangan.
Ruangan itu kini hanya tersisa Razel dan perempuan itu. "Ngapain kamu ke sini?" ujar Razel dingin.
Perempuan itu tak langsung menjawab. Ia menunduk sejenak lalu berkata, "Aku cuma mau lihat kondisi kamu."
Tidak ada sahutan untuk beberapa saat. Razel lantas bersuara, "Aku baik-baik saja."
Perempuan itu mengangguk pelan. "Aku lega," ucapnya seraya tersenyum nelangsa. Jelas, ia melihat Razel masih sakit, tetapi perempuan itu berlagak percaya saja.
***
"Kenapa masih di sini?" Razel masih bersikap dingin pada perempuan itu meskipun telah menemaninya hingga sekarang.
"Aku gak butuh ditemenin."
Perempuan yang berdiri di samping brankar Razel itu terdiam dengan pikirannya. Sebenarnya apa yang terjadi dengan Razel? Mengapa bisa masuk rumah sakit seperti ini? Mengapa ada yang berubah dari lelaki itu?
"Aku takut kamu jatuh lagi." Sempat mendiamkan pertanyaan Razel cukup lama, perempuan itu akhirnya bersuara.
Razel menoleh perempuan itu dingin, tetapi tidak ada kata yang keluar dari mulutnya. Kemudian ia kembali mengalihkan pandangannya semula.
"Kamu beneran gak inget aku?"
Garis wajah Razel seperti sudah muak dengan pertanyaan itu. Saking muaknya ia tidak menjawab.
"Kita kenal tujuh tahun yang lalu. Kamu masih belum ingat?" Perempuan itu sangat berharap Razel mengingatnya.
Razel terdiam, seperti berpikir keras.
"Dulu kita dekat," sambung perempuan itu seraya mengembangkan senyum paksa. Tidak lama kemudian, perempuan itu mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah buku ia keluarkan dari sana. "Novel ini dulu punya kamu, kan?"
Perempuan itu menambah, "Tapi kamu kasih ke seorang. Kamu ingat orang itu siapa?"
Tangan Razel bergerak mengambil novel dari tangan perempuan itu. Tubuhnya membeku melihat cover serta membaca judul dan novel itu. Mulut Razel tertutup rapat.
Perempuan itu tersenyum haru. Ada tanda-tanda baik. Menit selanjutnya, ia menerima kembali novelnya. Sementara orang yang baru menyodorkan barang itu menunduk dengan sesal. "Kamu ke mana aja?" Namun, nada perkataannya yang dingin tidak hilang.
Perempuan itu tidak bisa menutupi kebahagiannya. "Kamu udah inget?"
Razel diam, tetapi perempuan itu menganggap itu sebagai jawaban iya. "Aku seneng akhirnya kamu inget aku." Perempuan itu menambah, "Aku seneng kita ketemu lagi."
Razel masih tak menyahut. Namun, seenggaknya yang diharapkan perempuan itu terjadi. "Maaf, aku pergi tanpa bilang kamu. Ceritanya panjang. Aku bakal cerita ke kamu."
Namun tidak sekarang.
Akhirnya perempuan itu menceritakan keeesokan harinya di taman rumah sakit. Diawali dengan menjelaskan tentang pria bernama Dion sampai niat pria itu mengasuhnya. Semuanya ia ceritakan lengkap pada lelaki itu. "Aku nyesel banget nggak bilang sama kamu."
Ralissa---perempuan itu menyesali diri. Sementara lelaki di sampingnya diam dan sibuk dengan pikirannya.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
FOREVER R
Romance"Aku dan kamu adalah kisah tak sempurna." -------- Razel Ardeo Dewanta. Nama dan bayang wajahnya tak akan pernah Ralissa Azalea lupa. Pemilik senyum terbaik, tapi sendu. Seorang yang membuat Ralissa lebih mengerti arti kata "kasih". Seorang yang men...