Ralissa tampil cantik menggunakan empire line sepinggang warna biru pekat dan ditutupi jaket tebal cokelat dipadu dengan celana jeans hitam polos. Polesan make up-nya sempurna. Sepatunya pabrikan ternama. Memberinya kesan sedikit modis. Jauh berbeda dari saat keluar apartemen sendiri yang hanya tampil sederhana, Ralissa lebih suka mempercantik diri saat berpergian bersama Razel. Ia selalu berusaha tampil seindah mungkin, tak mau lelaki itu sampai tertarik dengan wanita cantik lain.
Minggu, hari biasa Ralissa memaksa Razel untuk jalan-jalan bersamanya. Hari ini mereka bangun lebih awal karena Ralissa ingin ke luar kota. Pukul 6 lebih 32 menit mereka meninggalkan apartemen. Sebelum mobil hitam Razel berjalan, Ralissa menerima kotak yang dibungkus kertas kado berwarna biru polos dari salah satu satpam penjaga apartemen. Ralissa membukanya setelah beberapa jam perjalanan dan Razel sedang mengemudikan mobil di jalan tol dengan wajah dingin. Ralissa mendapatkan dua tablet dan satu botol vitamin dari kotak tersebut. Tangannya terulur mengambil surat yang menjadi teman dari vitamin-vitamin dalam kotak. Dan Ralissa mulai membaca isi suratnya.
Hai, Ral! Aku kirim vitamin buat kamu yang sempet sakit. Get well soon.
-Sky
Untuk berpuluh-puluh kalinya, dari pertama menerima kiriman yang sama, Ralissa dibuat terkesan akan apa pun yang ia dapatkan beserta dengan isi suratnya. Pemuja misteriusnya yang selalu mengatas namakan Sky itu selalu tahu tentang dirinya. Selalu tahu apa yang terjadi padanya. Serba tahu segalanya. Semakin bertambah hari ia menakjubkan di mata Ralissa.
"Aku dapet vitamin. Kamu tahu nggak sebenernya dia siapa? Atau jangan-jangan ... yang ngirim ini dan sebelum-sebelumnya, itu kamu?" ucap Ralissa, menatap Razel dengan senyuman walau sejujurnya ragu menafsirkan itu.
"Kalau bener, aku seneng," tambah Ralissa sendu karena tak mendapat respons apa-apa. Ralissa menyandarkan punggung pada jok, menatap ke luar jendela. Dari ekspresi Razel yang dingin dan tak nyaman, ia yakin pengagum rahasianya bukan lelaki itu.
Gagasan tersebut membuat Ralissa merenung sepanjang perjalanan. Awet hingga kurang lebih satu jam. Semuanya berakhir ketika Razel menurunkan kecepatan, lalu menghentikan kendaraannya. Razel mendahului Ralissa turun. Ralissa refleks menyusul dengan gerakan cepat. Ia meraih lengan Razel dengan kedua tangannya, tak mau ditinggal.
Razel menitipkan kunci mobil pada penjaga vila sebelum melakukan perjalanan. Hamparan tanaman teh yang hijau menyejukkan mata di sepanjang jalan. Ralissa mengeratkan pegangannya pada tangan Razel begitu memasuki area menanjak.
Kurang lebih 20 menit kemudian, keduanya tiba di kawasan yang dituju. Ralissa merekahkan bibir, melepaskan tangan Razel untuk melihat suasana asri pendesaan di bawah dengan sorot mata sendu. Ralissa menoleh ke belakang, menarik lelaki berjaket denim yang tak lain Razel itu untuk mengajaknya duduk di atas batu besar, menikmati keasrian suasana bersama. Ralissa menyandarkan kepalanya pada pundak lelakinya. "Kamu masih ingat tempat ini?"
Tak terdengar jawaban.
"Kita pernah ke sini ...," lirih Ralissa beradu dengan semilir angin. "Aku bilang, 'aku suka tempat ini' dan kamu bilang gak jauh begitu." Ralissa melirik Razel, tapi Razel justru membuang pandangan.
Ralissa menatap lurus lantas merenung sumir. "Aku kangen kamu yang waktu itu, Zel. Aku kangen kamu yang kurang dari dua tahun yang lalu." Detik itu mata Ralissa berlapis selaput bening karena perih hatinya. Ia teriris mengingat senyum terakhir Razel untuknya. Tidak terasa waktu berjalan dengan cepat. Sebentar lagi genap dua tahun, Ralissa tak pernah melihat senyuman manis--terbaik--Razel lagi. Padahal Ralissa merindukannya. Amat sangat merindukan.
Puas melepas rindu satu kenangannya, Ralissa mengistirahatkan tubuhnya di vila. Usai merasa bugar kembali, ia memasakkan makanan untuk Razel. Lelaki itu hanya memakan roti suapan Ralissa saat dalam perjalanan. Lelaki itu pasti lapar. Ralissa memasakkan ayam kecap untuknya.
Begitu ayam kecap buatannya matang. Ralissa kontan membawakannya ke kamar yang Razel sewa. Razel tengah tertidur saat Ralissa datang. Ruangan yang dipijaknya tidak terang. Selain karena lampu tidak dinyalakan, ruangan itu kurang mendapat cahaya karena tirai-tirainya tertutup. Ralissa sengaja membiarkan tirai-tirai itu tetap tertutup agar apa yang dilakukan dan diobrolkannya dengan Razel menjadi komsumsi pribadi. Dengan tenang, Ralissa membangunkan Razel. Tangannya membelai lembut wajah Razel, beberapa kali juga mengusap bahunya.
Razel terjaga dari tidurnya. Sejenak berekspresi datar, lalu tiba-tiba menjadi dingin.
"Makan, yuk," ajak Ralissa, merangkul tangan Razel seraya tersenyum. Seketika perhatian Razel tertuju pada perlengkapan makan dan makanan di meja. Ia menuntun Razel berdiri, mengajak duduk di sebelahnya. "Kamu belum makan nasi. Kamu harus makan banyak." Ralissa mengambilkan nasi dan ayam kecap untuk suaminya dengan porsi yang cukup banyak sampai membuat Razel terpaku melihatnya.
"Kamu ... kalau ngambil sendiri selalu sedikit. Itu mungkin yang bikin kamu sedikit kurusan. Masakan aku enak, tapi kamu cuma makan sedikit. Mulai sekarang, tiap kamu makan, kayanya aku aja yang ngambilin. Kamu harus makan banyak. Berat badan kamu yang hilang harus balik lagi. Tambah terus juga gak pa-pa. Aku gak masalah kok kalau kamu gemuk."
Ralissa menyendok nasi, menyuwirkan ayam di atas, menyuapkannya pada Razel. "Buka mulut kamu. Kamu dulu aja, ya, yang makan," bujuknya lembut.
"Razel." Ralissa mendekatkan bahunya pada lelakinya yang sebentar lagi genap 26 tahun tersebut. "Buka mulut kamu, " pintanya sekali lagi.
"Razel ...." Detik itu tangan Ralissa perlahan menyentuh lengan Razel, lalu memegangnya sambil menekan pelan. Masih seperti itu, Ralissa tersenyum seraya menatap lurus mata Razel. Perempuan itu memberi peringatan, membuat Razel terpaksa untuk menerima suapannya. Ralissa tersenyum. Kali ini dengan senyum lepas bertepatan dengan lelaki yang ia sayangi mengunyah suapannya. Ada kebahagiaan kecil melihat Razel mendengarkannya. Melihat Razel menurut.
Selesai menyuapi Razel makan, juga dirinya yang tuntas mengisi perut, Ralissa kemas-kemas beberapa barang miliknya di vila.
Sekitar pukul 7.00 malam. Ralissa meminta Razel untuk segera pergi dari vila untuk pulang ke Jakarta.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
FOREVER R
Roman d'amour"Aku dan kamu adalah kisah tak sempurna." -------- Razel Ardeo Dewanta. Nama dan bayang wajahnya tak akan pernah Ralissa Azalea lupa. Pemilik senyum terbaik, tapi sendu. Seorang yang membuat Ralissa lebih mengerti arti kata "kasih". Seorang yang men...