Happy reading!
----------
Bandung, Mei 2012
Naima tengah terbatuk-batuk dengan suara menyakitkan saat Razel masuk kamarnya. Melihat itu Razel mencepatkan langkah, merangkul hangat dari samping bundanya. "Nda," panggilnya lirih dan seperti ikut merasakan sakit yang sang bunda derita.
Naima memakai maskernya, menatap Razel lelah. "Zel ..., jangan deket-deket. Nanti batuk Bunda nular," tutur wanita itu dengan kalimat yang akhir-akhir ini sering diucapkan.
Razel menatap sendu Bunda. Lalu tanpa mendengarkan kata-kata perempuan itu, ia menunjukkan sesuatu.
"Obat lagi, Zel?" ucap Naima sambil mengambil kantong kresek yang ditunjukkan Razel, lalu mengeluarkan obat-obatan di dalamnya. "Kamu dapat uang dari mana? Kamu udah-" Ucapan Naima terpotong karena terbatuk lagi. "Kamu udah-" Lagi-lagi Bunda terbatuk sampai membuat suaranya nyaris tak jelas saat melanjutkan, "beliin Bunda dua kali ...."
"Bunda tenang aja. Uangnya dari orang baik kok. Aku nggak ambil punya Ayah." Razel berusaha menjelaskan setenang mungkin. "Yang ngasih uang aku, sama kok yang beliin aku ini." Razel mengeluarkan benda pipih dari sakunya yang membuat Naima terkejut.
"Razel-"
"Aku diberi, Nda. Aku butuh .... Jadi, aku terima."
Perlahan Naima berkaca-kaca. "Razel gak boleh lupa bilang makasih, ya." Lalu ia menambah, "Jangan sampai ketahuan Ayah juga."
Razel mengangkat kedua sudut bibirnya sambil menyandarkan kepala di bahu bundanya. "Aku udah bilang makasih. Semoga Bunda lebih cocok sama obat itu, daripada obat dari Ayah."
Naima menggangguk pelan. Razel tahu bundanya bersyukur masih ada orang baik yang peduli padanya meskipun dirinya tak pernah mengungkap siapa orang itu pada sang bunda. "Bunda, jangan lupa diminum obatnya, ya," tutur Razel penuh perhatian sekaligus menjadi kalimat penutup sebelum akhirnya berlalu, melangkah ke dapur.
"Bi udah?" tanya Razel pada wanita akhir empat puluh tahunan yang adalah asisten rumah tangga di rumahnya.
"Sudah, Den." Bi Nana mengambil kotak makan yang disembunyikan di laci gantung.
"Makasih, Bi." Razel menerima kotak makan itu, memasukkan dalam tas beserta dengan ponselnya.
Usai berpesan pada asisten rumah tangganya dengan kata "Kalau Ayah nyariin bilang aku ada kelompok, ya, Bi" Razel langsung meninggalkan dapur, segera menemui Levo yang semenjak tadi menunggunya di depan.
"Buruan naik," pinta Levo yang langsung Razel dengarkan. Kemudian motor Levo berjalan seiring dengan ekspreksi Razel yang berubah. Keluar rumah adalah waktu yang membuat hatinya sedikit bisa rehat dari beban pikiran.
Dua puluh menit kemudian, motor Levo tiba mengantar Razel di sebuah sebuah perumahan elit. Razel kontan turun saat kendaaraan Levo berhenti di depan lapangan basket umum. "Gak dibanting lagi, gue berani lepas semua yang ada di badan gue dan cuma nyisa boxer doang."
Razel pura-pura tersenyum agar lelucon Levo terlihat sempurna. "Harus nepatin kalau dia nerima," balasnya, lalu meninggalkan cowok itu.
Razel seperti berjalan ragu-ragu sampai di depan sebuah rumah minimalis bernuansa putih. Di dalam sana ada orang yang disayanginya sedang bertahan hidup. Kurang lebih sepuluh motor besar yang terpakir tak beraturan di pekarangan, membuat Razel merasa tak sia-sia.

KAMU SEDANG MEMBACA
FOREVER R
Storie d'amore"Aku dan kamu adalah kisah tak sempurna." -------- Razel Ardeo Dewanta. Nama dan bayang wajahnya tak akan pernah Ralissa Azalea lupa. Pemilik senyum terbaik, tapi sendu. Seorang yang membuat Ralissa lebih mengerti arti kata "kasih". Seorang yang men...