Razel baru pulang ke apartemen setelah memastikan Taxi sukses mengantarkan Naro sampai coffie shop-nya dengan selamat. Kejadian beberapa saat yang lalu belum enyah dari kepala Razel, mencetuskan kecemasan tingkat tinggi. Siapa sekelompok manusia tadi? Mengapa mereka mengejar saudaranya?
Tidak fokus berjalan karena terus memikiran itu, Razel menabrak sudut meja tamu. Suaranya yang keras sampai membawa Ralissa datang.
"Zel, hati-hati." Ralissa membungkuk, memegang perhatian lutut Razel.
Menahan nyeri, Razel berdiri tegak sambil menyingkirkan tangan Ralissa. Ia lanjut berjalan dengan sedikit pincang menuju kamar, kemudian mengambil duduk di tepi tempat tidur. Lututnya masih nyut-nyutan, tetapi untungnya sedikit mendingan.
Ralissa datang masih dengan khawatir. "Beneran nggak pa-pa?"
Bila tak menjawab, pasti Ralissa tak akan putus mengkhawatirinya. "Enggak," sahut Razel dingin.
Razel tidak tahu reaksi Ralissa bagaimana karena sendari tadi pandangannya ia arahkan pada kaki panjangnya yang berbalut kain hitam. Hingga akhirnya Razel merasakan sentuhan hangat di bahunya, kemudian lelaki itu sekilas melihat senyum sendu perempuan yang duduk di sampingnya.
Razel tidak bersuara setelah itu begitupun Ralissa. Razel melepas jas hitamnya, menyisakan kemeja putih bersih dengan dasinya. Razel tak melepas dasi, hanya melonggarkannya saja lalu ia merebahkan badannya ke tempat tidur. Lelaki itu menatap kosong langit-langit kamar.
Razel kembali memikirkan Naro. Apa Naro belum bisa melupakan kejadian tadi seperti dirinya?
Harusnya malam ini ia bisa memberitahu kabar baik pada saudaranya itu. Namun, malah ada peristiwa tak terduga.
***
Terjaga dari tidur, Razel tak menemukan Ralissa di sampingnya. Biasanya perempuan itu selalu turun setelah ia turun. Turun lebih dulu artinya ada tamu atau ada sesuatu yang datang.
Benar, samar-samar Razel mendengar suara Anres dari meja tamu. Lebih baik tidak keluar dari kamar daripada harus bersitatap dengan adik Ralissa yang menjengkelkan itu.
Anres sangat akrab dengan Ralissa dari dulu. Mereka pun dekat meskipun kini Ralissa sedikit berubah.
Selang dua jam lebih, Ralissa masuk kamar. Perempuan itu tersenyum cukup cerah dengan dress merah cantik. "Makan yuk. Anres bawa makanan banyak."
Akhirnya karena memang perutnya butuh asupan, Razel datang ke meja makan setelah mencuci muka dan gosok gigi. Razel menatap jam dinding. Ia baru sadar sudah pukul 09.00 lebih.
"Kayanya kamu udah bener baikan, ya. Kamu terlihat bugar, Zel," kata Ralissa. "Tapi kamu tetap minum obat, ya."
Ah, bahkan Razel tidak sekalipun meminum obat setelah pulang dari rumah sakit. Saat Ralissa memberikannya pun, ia buang ke keranjang sampah. Manik Razel mengamati sajian di meja. Banyak sekali jenis makanan. Tumben sekali Anres memberi makanan sebanyak itu. Semuanya masih utuh. Di antara banyaknya makanan, Razel juga melihat sebuah kado.
Ralissa mengambilkan beberapa jenis makanan yang menggunung jadi satu ke piring Razel sebelum kemudian jemarinya bergerak meraih kado di meja. Ralissa sibuk membuka kado, sementara Razel menikmati makanannya dalam diam.
"Aku dikasih kardigan," ucap Ralissa.
Tanpa melihat pun, Razel bisa tahu Ralissa senang.
"Aku senang lihat kamu udah cerah lagi. Sering-sering tersenyum, Ral. Sky."
Itu isi surat yang Ralissa baca.
"Dia manis banget. Aku pengen banget ketemu sama dia."
Razel sadar, Ralissa mengajaknya bicara. Namun, ia tak mengacuhkannya.
"Tapi ... walau dia manis, kalau kita ketemu, aku mau lurusin semua. Aku bakal bilang, aku udah punya pasangan."
"Jangan bodoh," sahut Razel tiba-tiba.
"Aku bakal bilang, aku punya Naro," lurus Ralissa lantas tertunduk.
Razel terdiam. Perlahan sendoknya yang terangkat, turun ke piring. Suasana hening cukup lama. Razel sudah tidak selera melanjutkan makan.
"Lagian kamu memang bodoh, kan?" ucap Razel pada akhirnya. "Kalau kamu gak bodoh, kamu gak akan di sini."
Apakah perkataannya akan menyulut emosi Ralissa?
"Banyak yang suka sama kamu. Tapi, kamu, malah bertahan sama aku. Selama ini kamu dapat untung apa tinggal sama aku?"
Tidak ada balasan. Jawaban baru muncul seiring Ralissa mulai terisak. Razel tersenyum remeh. "Orang kayak kamu itu nggak masuk akal. Kalau kamu gila, adek kamu pasti nyalahin aku. Harusnya-"
"Iya, aku udah gila, Zel. Aku emang udah gila gara-gara kamu! potong Ralissa dengan isakan keras.
"Kamu nggak merasa bersalah udah buat aku kaya gini?" Nada suara Ralissa mulai merendah.
"Balik kayak dulu lagi, Zel. Stop semua drama ini. Aku ingin hubungan kita terbuka, Zel." Isak dan nada bicara Ralissa terdengar lelah. Sayangnya, Razel tidak bisa menuruti perkataan perempuan itu. Razel mengepalkan tangannya kuat-kuat.
"Kalau kamu capek, kamu bisa pergi dari hidup aku."
Balasan itu terucap secara mengalir dari mulut Razel. Lelaki itu memukul tepi meja keras lantas meninggalkan Ralissa yang belum mengakhiri tangisnya.
"Aku nggak akan pergi dari sisi kamu sampai kapan pun!"
Suara Ralissa tak membuat langkah Razel berhenti.
"Aku nggak akan mungkin nemuin orang seperti kamu lagi! Gak pa-pa aku bodo. Gak pa-pa aku gila. Yang penting aku gak jauh dari sisi kamu ...."
Suara Ralissa perlahan memudar seiring Razel masuk kamar mandi dan menyalakan kran wastafel.
Razel dan Ralissa terakhir bertatap mata pagi menjelang siang itu sebelum akhirnya mereka bertatap mata kembali saat Ralissa menyusul Razel di balkon apartemen di waktu yang sudah gelap.
Razel kembali menatap depan melihat kedatangan Ralissa. Namun, beberapa detik kemudian, ia tak menduga mendapat serangan dari perempuan itu. Ralissa mendekapnya kuat dari belakang. "Maafin aku."
Razel yang berencana meronta, menjadi bergeming.
"Jangan marah lama."
Ralissa terus mendekap erat Razel hingga tak memedulikan Razel membalas permintaan maafnya atau tidak.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
FOREVER R
Romance"Aku dan kamu adalah kisah tak sempurna." -------- Razel Ardeo Dewanta. Nama dan bayang wajahnya tak akan pernah Ralissa Azalea lupa. Pemilik senyum terbaik, tapi sendu. Seorang yang membuat Ralissa lebih mengerti arti kata "kasih". Seorang yang men...