Sudah sebelas hari setelah hari itu, Ralissa tak putus menyambangi Razel. Saat lelaki itu keluar dari rumah sakit, Ralissa mengantarkannya baik sampai kostan. Tak berhenti di situ, Ralissa menjaga Razel sepanjang hari disertai perhatian tulus. Dari ia memasak untuk lelaki sampai merawatnya saat demam. Kondisi kesehatan Razel sudah membaik lima hari yang lalu dan semakin terlihat sehat setiap berganti hari.
Ralissa mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang, sesekali melirik lelaki yang duduk di sampingnya. Razel tampak menatap keluar jendela dengan tatap yang sulit diartikan. Beberapa saat kemudian, lelaki itu menoleh Ralissa lantas berkata, "Kita ke mana?"
"Ada." Jawaban pendek Ralissa yang diiringi senyum tipis.
Razel baru tahu jawabannya setelah empat jam kemudian. Ralissa mengajaknya kembali menginjak Bandung, tepatnya di SMA Rakayasa.
Ralissa mendekati pos satpam lantas duduk di bangku panjang di sana. Tempat yang tentu familier untuk Ralissa, maupun lelaki yang berdiri rapuh mengamati sekitar. Pos satpam itu masih tampak sama seperti dulu. Pihak sekolah pasti merawatnya dengan baik.
Razel terdiam beberapa detik sebelum terduduk di samping Ralissa. "Kamu ingat tempat ini?" tanya perempuan itu dengan seulas senyum.
"Ingat," jawab Razel setelah sempat terdiam.
Ralissa tersenyum cerah. "Aku juga baru ini ke sini lagi."
Razel tak menyahut. Sampai akhirnya ..., "Kenapa ke sini?"
Untuk beberapa detik Ralissa berusaha memahami perkataan Razel. Begitu mengerti, sorot wajahnya langsung redup. "Aku nggak bisa lupain tempat ini ... dan kamu."
Hening.
"Tapi, aku lupa sama kamu."
Ralissa menatap Razel. "Gak pa-pa. Wajar kok. Kita udah gak ketemu bertahun-tahun. Kita sama-sama tumbuh dewasa."
Pertama saat melihat Razel, Ralissa juga sempat ragu. Orang yang dilihatnya di depan toko mebel dan sedang mengangkat meja kayu ke pick up itu sangat mirip seorang di masa lalunya. Dan ia sangat senang bahwa lelaki itu memang Razel setelah mendengar ibu pemilik toko yang memanggil nama lelaki itu saat memerintahnya.
Tangan Ralissa merambat memegang tangan Razel dengan hangat. "Aku nggak akan pergi jauh lagi dari kamu," kata Ralissa lantas menjeda ucapannya dengan senyuman. "Aku janji," tambahnya tulus dari hati.
Ketulusan kasih Ralissa membuat Razel perlahan-lahan luluh kian bertambah waktu. Setiap pagi Ralissa menyempatkan diri untuk datang ke tempat kerja Razel dengan makanan hasil masakannya di rumah. Ralissa juga tak jarang mengantar pulang lelaki itu ke kostan. Ketulusan perempuan itu seolah menyentuh hati kecil Razel yang lama tak merasakan kehangatan.
Ralissa juga sudah memperkenalkan Anres pada lelaki itu meskipun ada tanda-tanda tidak kecocokan dari sorot mata Anres. Namun, mungkin Anres perlu mengenal Razel lebih jauh lagi.
Pagi ini Ralissa lagi-lagi tak mau melewatkan waktu untuk menjemput Razel. Mobil perempuan itu berhenti tepat di depan restoran tempat Razel bekerja lantas mengecek layar ponselnya. Razel menjalani shift pagi. Sudah lewat pukul 10.00, tetapi Razel belum keluar.
Ralissa tiba-tiba gelisah, takut Razel sudah meninggalkan restoran. Namun, kegelisahan itu kontan berakhir begitu orang yang ditunggunya keluar lantas menghampiri mobil Ralissa dengan langkah ragu.
"Razel, masuk," ajak Ralissa agar Razel tak sungkan. Razel pun akhirnya menaiki mobil itu dan duduk di samping Ralissa.
Tanpa menunggu lama, Ralissa segera menjalankan mobilnya. Beberapa menit kemudian suara Razel mengakhiri hening di antara keduanya. "Gak capek jemput aku terus?"
Semenjak kembali cukup dekat nada bicara Razel tidak sedingin di awal. Suaranya sekarang terkesan datar.
"Enggak."
Hening.
Tidak ada yang bersuara sampai mobil Ralissa tiba di suatu tempat. Momen Razel pulang pagi adalah Ralissa paling tunggu karena ia bisa mengajak Razel jalan-jalan ataupun pergi ke suatu tempat. Kali ini perempuan itu mengajak Razel ke taman umum. Banyak pepohonan rindang serta berbagai jenis tumbuhan yang menyenjukkan mata. Semilir angin menambah kenyaman. Tempat yang ideal untuk menenangkan diri. Bukan untuknya, tetapi untuk lelaki yang berdiri di sampingnya. "Ke sana, yuk," ucap Ralissa lantas menarik Razel menuju bangku panjang beberapa meter darinya. Keduanya pun duduk bersebelahan.
"Nanti kamu kerja lagi?" Ralissa membuka obrolan.
Razel menggeleng.
Jika jawabannya itu, Ralissa tak mau terlalu penasaran dengan alasannya.
"Kenapa?"
"Gak pa-pa," jawab Ralissa menahan senyum. Bila Razel absen ke toko mebel artinya Ralissa bisa lebih banyak waktu berdua dengannya.
Itu terbukti dengan setelah pergi dari taman, perempuan itu bisa datang ke tempat yang lain. Mereka datang ke perkembang biakan hewan-hewan lucu seperti kucing dan kelinci lantas memberikan mereka makanan dengan tangan kosong.
Selepas dari sana, Ralissa mengajak Razel melihat pesta musik dalam stadium. Ralissa menikmati penampilan-penampilan setiap musisi, tetapi ekspresi suram Razel membuatnya serta-merta merapatkan bibir. Tidak berpikir lama, Ralissa mengajak lelaki itu pergi dari tribun, dan perempuan itu baru membahasnya begitu sudah berada dalam mobil.
"Kamu nggak pa-pa?"
Sejenak, Razel tak menjawab. Lelaki itu kemudian berkata, "Gak pa-pa."
Jelas saja bohong. Razel tampak menahan kesedihan dengan keras. Namun, seperti yang pernah dilakukan, Ralissa mengangguk saja.
Dalam bibir merapat, ia menginjak pedal mobilnya lantas segera mengantar Razel ke kostan. Secara kebetulan waktu mulai gelap, dan Dion menghubungi putrinya untuk memintanya segera pulang.
"Iya, Pa."
"Papa tunggu."
Dion menunggu Ralissa di rumah karena baru pulang dari Surabaya. Pria itu ingin melepas rindu dengan Ralissa yang membuat perempuan itu mau tak mau setelah ini harus pulang ke rumah.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
FOREVER R
Romance"Aku dan kamu adalah kisah tak sempurna." -------- Razel Ardeo Dewanta. Nama dan bayang wajahnya tak akan pernah Ralissa Azalea lupa. Pemilik senyum terbaik, tapi sendu. Seorang yang membuat Ralissa lebih mengerti arti kata "kasih". Seorang yang men...