Bandung, September 2012
Ralissa benar-benar menghilang setelah pemberian novel sore itu. Razel tak pernah mendengar suara lucu gadis itu lagi. Tak pernah melihat senyum manisnya lagi. Tak pernah melihat wajah cantiknya lagi. Semua telah berakhir dan tersimpan dalam hati.
"Jadi, tu gelang dari dia?"
Razel mengangguk walau sedikit terlambat. Ia tengah bersila menghadap Levo dengan kepala menunduk dan duduk di kolong tangga sekolah biasanya. Sudah tiga minggu ini Razel tak menampakkan warna pada wajahnya. Ia lebih banyak termenung dan jarang berbicara. Semua karena Naima yang masuk rumah sakit dan kondisinya semakin memburuk. Wanita itu terus melemah dan mengeluarkan darah tiap terbatuk.
"Nyokap lo gimana?" Sekian lama Levo memahami arti diamnya sang sahabat, cowok itu membuka suara kembali.
Setiap hari Levo tak putus untuk menanyakan perihal yang sama. Razel amat terima kasih dengan perhatian sang sahabat. "Memburuk," balas Razel jujur. Jawaban yang tak berubah. Levo merapatkan bibir rapat-rapat hanyut dalam ombak kesedihan sang sahabat.
Sepuluh menit kemudian, keduanya sudah berpindah tempat. Levo membawa Razel ke cafe tempatnya bekerja. Levo memaksa Razel membolos, sementara Razel tak bisa menolak karena tubuhnya yang rapuh karena kurang asupan makanan.
"Le, kalau aku dimarahin gimana?" lirih Razel dengan sisa tenanganya melepaskan diri dari cengkraman Levo. Yang diajak bicara tak menggubris terus menyeret sahabatnya masuk. Cowok itu baru melepaskan Razel ketika sampai membawanya ruangan yang sepi. Razel baru pertama kali masuk ruangan tersebut.
"Tunggu bentar. Gue balik kurang lebih dua menit." Levo berlalu melewati wajah Razel.
Sesuai perkataannya, Levo kembali dua menit kemudian. Levo membawa nampan berisi makanan. Satu mangkok kecil nasi dan satu mangkok sedang berisi sop ayam. Levo menghadapkan nampan itu pada Razel. "Makan. Kasih energi tubuh lo. Istirahatin pikiran lo dulu," tutur Levo pelan.
Razel tak menyentuh, hanya memandangi makanan itu membuat Levo menuangkan nasi pada mangkok sop ayam. Kemudian Levo mendorongkan mangkok makanan itu pada Razel sambil mengaduknya sekali. "Ini enak, Zel. Bukan menu cafe, tapi bikinan Kak Mentari. Kak Mentari jago banget masak. Masakannya nagihin. Buruan makan." Layaknya seorang kakak, Levo memberi perhatian penuh.
"Gue bakal bilang ke wali kelas lo, kalau gue yang maksa lo. Jadi lo tenang aja." Levo mendekatkan kursinya, merangkul singkat sahabatnya.
Pelukan dari Levo mengirim sedikit ketenangan untuk Razel. Ia memegangi perutnya yang perih sambil menatap makanan, lalu bersobok dengan manik milik sahabatnya sebelum akhirnya memakan makanan pemberian sahahabatnya.
"Gitu dong."
Levo meminta Razel untuk menghabiskan makanannya walau pada akhirnya Razel hanya mampu menyantap separuh. Razel tiba-tiba merasa makanan itu enek di lidahnya. Levo mengambil air mineral yang tersedia, sekaligus membukakan tutupnya. Razel mengambil alih air mineral itu, meninumnya hanya satu teguk.
"Habisin deh."
Hening.
"Udah? Serius?" tanya Levo. Tak ada jawaban. "Yaudah, gak pa-pa."
Dalam hati, Razel bersyukur Levo tak memaksanya.
***
Sudah terlanjur kabur, tidak memungkinkan Razel untuk kembali ke sekolah. Mungkin lebih baik dihadapi esok. Razel dan Levo memasuki rumah sakit di mana Naima sedang berjuang hidup. Levo dengan setia memegangi Razel berjalan, seperti tak membiarkannya lemah akan ujian sendiri.
"Gue salut ma lo. Biar mental lo masih labil, tapi seenggaknya lo nggak nangis," puji Levo di koridor rumah sakit.
"Tapi, kalau di belakang gue lo diam-diam nangis gak apa deh. Sejatinya gue ngerti hubungan anak dan ibu," tambah cowok 18 tahun itu yang berhasil membuat Razel menolehnya dan menarik satu sudut bibirnya samar. Keduanya pun terus berjalan di antara paramedis dan pengunjung lain.
"Kamar nyo-"
Razel berhenti statis dengan dada berdesir melihat kamar rawat bundanya dimasuki dua suster yang mendorong pelaratan medis dengan tergesa. Selang beberapa detik, desiran itu menghilang digantikan jantungnya yang berdentangan.
Razel melanjutkan langkahnya, meninggalkan Levo yang bereaksi tak jauh berbeda. Pintu kamar rawat bundanya tertutup rapat, membuat Razel berusaha mencuri keadaan yang terjadi di dalam melalui jendela kaca. Namun, baru cowok itu melihat sekilas yang tak begitu jelas, seorang perawat menutupi jendela dengan tirai dengan gerakan cepat.
Razel membalikkan badan dengan perasaan takut yang menyerang jiwa. Levo mengajak Razel duduk di kursi sembari menenangkan dengan merangkul bahu sahabatnya. Kurang lebih dua puluh menit kemudian, dokter keluar memberi kabar yang Razel sulit percaya. "Pukul sembilan pasien tak sadarkan diri. Kondisi vitalnya terus menurun .... Kami sudah berusaha, tapi pukul sebelas lebih lima puluh lima menit, kami menyerah."
"Ikhlas ... ya." Dokter itu menepuk bahu anak laki-laki yang masih membeku di depannya, lantas tak lama kemudian berlalu.
"Zel." Levo memeluk Razel seerat-eratnya.
"Le, ini nggak mungkin," lirih Razel dengan suara tercekat.
"Sadar, Zel. Lo harus kuat."
"Bunda napas aku, Le ...." Masih tak bergerak banyak, tatapan nanar Razel diiringi lelehan air mata.
"Stop. Lo sama nyokap lo punya napas sendiri-sendiri. Nyokap lo udah tenang di sana. Lo harus bisa lanjutin hidup tanpa dia."
Bahu Razel bergetar. "Bunda ...," ucapnya dengan isakan tak ikhlas.
Saat langit di ujung barat mulai menjingga, Razel tiba di tempat peristirahatan terakhir Naima. Sebelumnya jenazah Naima sempat di bawa pulang untuk melakukan kaidah susuai agama. Razel tak ada waktu untuk berganti pakaian. Ia masih memakai seragam sambil terus tersedu-sedan saat jenazah Naima dimasukkan ke liang lahad. Levo masih menemainya tanpa sedetik pun meninggalkan.
Ardan dan ibu tirinya berdiri di depan dengan pakaian serba hitam. Mereka tak sesedih Razel, juga tak sekehilangan Razel. Ardan hanya berdiri dengan wajah tegas, sementara raut ibu tirinya tidak terlalu kentara karena memakai kaca mata hitam.
Satu per satu pelayat mulai berpergian begitu pemakaman Naima selesai. Saat di mana semua pelayat benar-benar bersih, Ardan menghampiri Razel, mencengkram lengannya kuat. "Ayo, pulang. Mau apa di sini lama-lama?"
Sebelum Razel digelandang, Levo menarik Razel. "Om, jangan merlakuin Razel seenaknya, ya," tegasnya.
"Kamu siapa? Razel anak saya."
"Iya, tau. Tapi, bukan berarti Om main seenaknya. Dia baru kehilangan ibunya, Om."
"Saya tau. Saya cuma ngajak anak saya pulang. Apa itu salah? Emang kamu mau biarin anak ini," Ardan melepaskan tangan Razel berganti menunjuk kepala anak itu, "di sini terus sampai malem? Kamu mau biarin," tangan Ardan kembali mencengkram tangan Razel kuat, "temen kamu selamanya di sini. Kamu mau bikin anak saya gila karena masih nggak ngikhlasin ibunya?"
"Pulang kamu. Jangan cemari pikiran anak saya dengan otakmu."
Ardan menarik Razel pergi, dan seperti biasa Razel tak melawannya.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
FOREVER R
Storie d'amore"Aku dan kamu adalah kisah tak sempurna." -------- Razel Ardeo Dewanta. Nama dan bayang wajahnya tak akan pernah Ralissa Azalea lupa. Pemilik senyum terbaik, tapi sendu. Seorang yang membuat Ralissa lebih mengerti arti kata "kasih". Seorang yang men...