36 | Sepatu Naro

55 3 0
                                    

Delapan hari yang lalu, Razel memukul-mukul setir mobil Ralissa dengan keras seraya terisak pilu. Entah mengapa duka dan amarahnya memuncak saat itu. Memori tentang Ardan setelah lelaki dan pria itu berbaikan tidak henti berputar di kepala. Di mana Ardan sudah memperlakukannya selayaknya anak---tidak seperti dulu. Razel tidak bisa membohongi diri, jika ada segenggam duka yang ia rasakan atas kematian ayahnya.

Meski begitu, Razel tidak mau disalahkan atas kematian pria itu. Ardan sendiri saja yang apes. Takdir masih menyelamatkannya yang saat itu sudah di ujung tanduk.

"Gue gak sejahat itu! Kenapa lo bunuh Papa?!"

"Kamu bunuh Ayah kamu sendiri?"

Naro dan Sherin kompak menyalahkannya. Mengapa mereka menutup telinga pada kronologi dan informasi tentang kecelakaan malam itu?

Razel tidak segila itu! Kenapa mereka bisa bicara seenaknya.

"Gak ada maaf buat pembunuh!"

Naro jelas sangat tidak menghargainya. Demi saudaranya itu ia sampai melakukan banyak hal dan usaha, dan lelaki itu malah menuduhnya seperti itu. Padahal Razel sudah sukses membantu rencananya.

Razel tak menduga saudaranya sekeras itu. Jika usaha dan pengorbanan sebesar ini masih tak dihargai, dengan cara apa lagi ia bisa berbaikan dengan lelaki itu?

Bayangan Naro yang mengungkapkan lelaki itu takkan memaafkannya terus terputar, menyingkirkan seluruh bayangan tentang ayahnya dan lama-lama membuat otak dan hatinya mendidih.

Isak tangis Razel berhenti.

Kenapa Naro setega itu padanya?

Kenapa?!

Jika Naro bisa bicara seperti itu padanya, berarti Razel juga bisa melakukan rencana apa saja pada lelaki itu.

Beberapa jam kemudian, Razel menghentikan mobil di halaman rumah sederhana. Darmawan kontan terkejut mengetahui tamunya ialah Razel setelah membuka pintu. "Kok Pak Razel tahu rumah saya?"

Apa Dartawan lupa jika dia pernah menuliskan alamat lengkap rumahnya saat awal melamar kerja di kantor Dewanta Grub? Meski pada saat itu masih orang lain yang memimpin perusahaan, tetapi Razel sudah mengantongi alamat pria itu dari tahun lalu.

"Kalau Anda bisa ngikutin saya, kenapa saya nggak bisa ngikutin Anda?" ucap Razel mempermainkan. Kemudian Razel memasuki rumah Darmawan tanpa menunggu pria itu menawarinya masuk.

"Pak," refleks Darmawan lalu mengejar.

Setiba di dalam, Razel memutar badannya lantas menatap Darmawan yang juga baru menghentikan gerak langkahnya. "Kenapa mundur dari kantor?" tanya Razel datar.

Jika tidak salah, Razel pernah mendengar pria itu mundur dari kantor dengan alasan ingin fokus merawat ibunya yang sudah tua. Namun, di mana ibunya?

Darmawan memucat karena pertanyaan Razel, yang kemudian mencetuskan iba di hati Razel. "Udah. Saya gak butuh jawaban kamu," ucap lelaki itu dengan memandang lurus kedua mata pria di hadapannya. Sejenak, tidak ada yang bersuara, sampai kemudian Razel berkata, "Mau kerjaan?"

"Mau, kan?" ucap Razel seraya menggapai pisau dari piring berisi buah apel.

Tangan Razel masih tertahan di atas piring, tetapi sudah mampu membuat Darmawan meneguk ludah dengan wajah semakin pucat.

"Kerja-an apa, Pak?"

***

Kematian Naro mengguncang keras hidup Razel.

Naro meninggal saat dalam perjalanan menuju rumah sakit. Lelaki itu mengalami luka dalam yang berat. Hatinya rusak, tulang rusuknya patah hingga menusuk paru-paru, dan terjadi cidera parah pada lambungnya.

Razel tidak bisa menerima kematian Naro. Lelaki itu menangis hingga meraung-raung tidak jauh berbeda saat di rumah tak terawat itu. Razel tak menghadiri pemakaman Naro karena belum mempercayai semua. Dalam dua hari, Razel hanya terisak di kamarnya. Ralissa mencoba menenangkan dan mengirim kekuatan lewat pelukan dan usaha apa pun, tetapi Razel belum bisa menerima kematian sang kakak. Ralissa sampai menangis pedih, melihat keadaan jiwa Razel.

Hari selanjutnya, tidak ada perubahan. Hari itu justru seolah menjadi puncak kepedihan lelaki itu. Semua barang di kamar, lelaki itu berantakkan. Ralissa tidak bisa mencegahnya.

Razel mulai sedikit tenang saat fisik lelaki itu mulai lemah. Lelaki itu jatuh sakit. Ralissa merawatnya dengan cemas yang setia menemaninya.

Tepat seminggu Naro pergi, belum ada tanda-tanda Razel mengikhlaskan kematian sang kakak. Meski kondisi tubuh lelaki itu sudah sedikit mendingan, tetapi pandangan lelaki itu lebih banyak kosong dan tak jarang masih terisak.

Keesokan harinya, Ralissa jatuh pingsan di dapur saat memasak. Untung saja Anres tengah berkunjung ke apartemen kakaknya. Melihat kakaknya terkapar, Anres secepatnya membawa perempuan itu ke rumah sakit. Ralissa kelelahan berat. Karena terlalu fokus merawat Razel, perempuan itu lupa menjaga dirinya sendiri. Perempuan itu sering terlambat makan, bahkan lupa makan.

Di apartemen, hanya tinggal Razel seorang. Lelaki itu melangkah dengan bibir pucat dan sisa-sisa air mata yang mengering di wajahnya. Razel mengambil barang-barang kesayangannya. Oh, iya, barang kesayangannya bertambah satu. Sepatu kets Naro---sepatu yang terakhir Naro gunakan. Dan Razel lebih dulu mengambil sepatu itu. Kemudian lelaki itu memasangkannya pada kakinya.

Bagus, begitu kata hatinya saat melihat sepatu itu sudah menghiasi kakinya. Untuk sejenak Razel terdiam, tetapi tak lama kemudian lelaki itu berlanjut mengambil barang-barang kesayangannya yang lain. Razel mengambil syal Naima lantas menggunakan syal itu di lehernya.

Hangat, batin Razel. Memakai syal itu, seolah dipeluk ibunya yang telah lama pergi.

Tersisa sweeter Mona dan pecahan gelas kesayangannya. Razel mengambil barang itu bersamaan dari tas kerjanya. Sweeter Mona ada di tangan kirinya, sementara kotak isi pecahan gelas kesayangannya ada di tangan kanannya. Razel menatap pecahan gelas itu dengan terenyuh. Lelaki itu ingat Ralissa sempat melempar kotak belingnya. Ternyata perempuan itu mengumpulkan beling-belingnya lagi dan mengembalikkan pada tempat semula.

Razel sangat merasa sudah terlalu merepotkan perempuan itu saat sadar dan tak sadar. Perempuan itu perlu bahagia bersama orang lain.

Sepuluh menit kemudian, Razel sudah berada di atap apartemen. Sepatu Naro masih menempel di kakinya. Syal Naima juga masih menghangatkan lehernya. Sweeter Mona dan kotak pecahan gelas kesayangannya bersatu dalam sentuhannya.

Lima menit menuju pukul 16.00. Okey, Razel akan sabar menunggunya. Razel masih berdiri di tepi atap tanpa merubah posisinya. Sorot matanya teduh, menatap lurus ke depan.

"Zel, jangan sekalipun niruin Pak Irwan."

Pak Irwan adalah tetangga jauhnya saat itu. Pria itu tewas karena aksi gantung dirinya. Dan jawaban Razel atas penuturan Mona saat itu adalah sebuah anggukan dua kali.

Meski Razel terikat janji seperti itu, tetapi ia akan tetap melanjutkan niatnya. Melihat keadaannya sekarang, Mona pasti bisa mengertinya, kan? Mona pasti juga tak tega membiarkannya terus menderita sendiri.

Tanpa sadar waktu sudah menunjukkan satu menit menuju pukul 16.00. Razel menatap jam besar di muka apartemen seberang. Razel menatap jarum pendek terus bergerak ke bawah lantas menaik ke atas.

Hingga hanya tersisa 25 detik, Razel semakin memajukan posisinya ke tepi atap. Beberapa detik kemudian, terdengar lengkingan tanda kebakaran dari gedung seberang. Orang-orang di apartemen seberang tampak berlarian keluar menyelamatkan diri. Api tampak melalap satu titik bangunan barisan tengah.

Baru saja penghuni apartemen dikejutkan dengan alarm kebakaran, mereka yang berhasil sampai di luar dikejutkan dengan jatuhnya seorang lelaki dari gedung. Seorang perempuan berteriak kaget. Lelaki itu jatuh tepat di depan matanya.

Razel---lelaki yang kini menjadi pusat perhatian orang-orang itu masih membuka matanya. Di sisi lain, darah mulai mengalir dari kepalanya.

Yang Razel tahu, ia jatuh sebelum menjatuhkan diri. Entah siapa orang yang sudah mendorongnya---sengaja atau tidak sengaja---Razel ingin berterima kasih.

Karena orang itu, ia mungkin akan mati tanpa melanggar janji.

***

FOREVER RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang