29 | 2019 (5)

45 3 0
                                    

Kecupan Ralissa itu manis. Janjinya pun tak kalah manis.

"Aku janji gak akan pergi jauh lagi dari kamu."

Namun, apakah Ralissa akan menepati janjinya?

Razel mengambil duduk di ruang karyawan saat jam kerjanya habis. Tampak dua karyawan lain tengah menunggu jam kerjanya tiba dengan mengobrol. Padahal sudah pukul 21.00, tetapi mereka belum sadar. Razel tak memedulikan mereka lalu mengambil ponselnya.

Ralissa :
Aku jemput kamu, ya.

Razel menatap hangat layar ponselnya. Sempat sehari tak ada kabar akhirnya perempuan itu muncul lagi. Itulah sebab mengapa Razel ragu pada janji Ralissa. Dan seketika ragu itu pergi jauh setelah membaca pesan dari perempuan itu.

"Ngomong-ngomong soal Razel, bro. Kok bisa sih tuh cewek nempel terus ke dia. Ah---padahal elegan gitu. Mana berduit lagi. Gue curiga tuh cewek aslinya mau sama tuh orang karena diancem."

Perkataan tak mengenakkan hati itu masuk ke indra pendengarannya. Razel kontan diam, lanjut mendengarkan.

"Gue curiga juga, sih."

"Ya, kan? Tuh cewek pasti cari aman aja. Daripa-"

Razel berdiri sambil berpura-pura batuk. Tatapan dingin Razel kontan membuat kedua pemuda itu kicep kemudian beranjak pergi. Obrolan keduanya memancing amarahnya.

Razel meraih tas lalu jaketnya. Beberapa menit kemudian, lelaki itu sudah duduk di halte tak jauh dari restoran dengan jaket dan tas sudah melekat pada badannya. Razel belum bisa melupakan obrolan dua teman kerjanya tadi.

Sebuah syal abu-abu tahu-tahu saja melingkar di lehernya. Razel menoleh, melihat senyum Ralissa yang cantik. "Ke mobil, yuk."

Mobil Ralissa berada kurang lebih sepuluh meter dari keduanya. Keduanya beriringan mendekati kendaraan itu dengan Ralissa menggamit erat lengan Razel. "Maaf, kemarin aku gak ngasih kabar. Anres sakit, Zel," ucap Ralissa dalam perjalanan.

"Santai aja," sahut Razel pendek.

"Aku takut aja kamu mikir aneh-aneh."

Ternyata perempuan itu tahu apa yang sempat ia pikirkan. Razel menunduk samar, diam-diam menyesal.

Kemudian tidak ada yang bersuara antara Razel maupun Ralissa. Hingga kemudian sesuatu yang menarik mata membuat Ralissa menepikan mobilnya. "Lihat-lihat, yuk."

Setelah menunggu Razel keluar, Ralissa menggandeng Razel mendekat pada penjual topi di pinggir jalan. "Gak, Lis," ucap Razel kala Ralissa memilih-milih topi laki-laki.

"Bentar, Zel."

Pada akhirnya Razel mengambil duduk di kursi plastik milik pedagang kaki lima di sebelah karena Ralissa tak mendengarnya. Tak lama kemudian seorang pengamen mengambil atensi lelaki itu. Tiba-tiba Razel langsung teringat seorang. Dada Razel sesak, seperti kembali merasakan kehilangan yang dalam. Perasaan yang sama sebelum Ralissa mengajaknya keluar dari stadium saat menonton pesta musik.

"Zel, liat."

Razel melihat Ralissa menunjukkan dua topi warna putih saat menolehnya. Namun, Razel tidak bisa menyembunyikan apa yang dirasakan hatinya.

Senyuman Ralissa menghilang. "Zel," ucapnya lantas memeluk kepala lelaki itu perhatian. "Kita pergi, yuk."

Ralissa menggandeng Razel kembali masuk mobil. Setelah itu Razel berusaha keras melupakan apa yang sempat ia lihat dan dengar demi tak terlihat menyedihkan di depan Ralissa.

Sepanjang perjalanan, Ralissa tak bertanya dan menyinggung. Itu sangat tepat.

Ralissa mengantar Razel pulang. Kemudian perempuan itu mengikuti Razel sampai ruang tamu. "Maaf, aku nggak ada air."

"Gak usah, Zel," sahut Ralissa hangat.

Razel benar-benar ingin move on dari perasaannya beberapa saat lalu. Lelaki itu bergerak menggambil dua topi dari tangan Ralissa. Ada huruf "R" di dua topi itu. Satu topi dengan huruf itu di atas, satu topi lain dengan huruf itu di pinggir. "Makasih."

Razel tidak pernah bermimpi, dalam beberapa bulan hidupnya banyak berterima kasih pada seorang seperti ini apalagi sosok itu Ralissa.

Melihat lama dua topi itu membuat Razel mengingat saudara tercintanya. Apa Naro sudah makan? Apa Naro sudah tidur? Apakah sang adik angkat sungguh-sungguh memberi balas perhatian yang tulus pada saudaranya?

"Zel."

Teguran Ralissa membuat Razel refleks mengembangkan senyum.

"Manis banget," goda Ralissa.

Razel seketika menunduk, merasa malu. "Biasa aja."

"Beneran, Zel."

Berhubung waktu sudah malam dan Ralissa sendiri mendapat telepon dari Dion yang memberi pesan untuk melihat kondisi Anres yang belum sepenuhnya sembuh dari sakit kepala, Ralissa akhirnya menatap Razel dengan berat.

"Ketemu lagi besok, yah." Ralissa tersenyum paksa. Perempuan itu tak lupa mendaratkan sebuah kecupan di pipi Razel sebelum berpisah.

Razel terdiam. Padahal ia dan Ralissa baru kurang lebih 90 menit bersama, tetapi perempuan itu sudah pergi dari sisinya.

***

FOREVER RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang