40 | Tidur Panjang

60 5 0
                                    

Razel tidak boleh ditinggal.

Itulah hal yang selalu ada di kepala Ralissa akhir-akhir ini. Namun, di mana ia sekarang? Ia justru terbangun di sebuah kamar rumah sakit. Ralissa menegakkan punggungnya kaget. "Res, Kakak harus pulang ke apartemen," ujar perempuan itu gelisah.

Tanpa menunggu balasan, Ralissa segera turun dari ranjang rumah sakit. Di sisi lain, Anres menyusul perempuan itu dengan cemas.

"Kak." Anres menyentuh tangan Ralissa, tetapi perempuan itu tetap berjalan.

Pada akhirnya Anres menemani Ralissa sampai halaman apartemen. Ralissa dengan cepat turun dari mobil, tak peduli ada kebakaran yang terjadi. Tak peduli melihat kerumunan orang yang entah mengerubungi apa. Namun, tiba-tiba langkah Ralissa terhenti. Kepalanya bergerak pelan, menoleh kerumunan manusia yang sempat tak ia pedulikan.

Ketegangan itu hadir. Ralissa segera mendekat pada kerumunan itu untuk melihat apa yang terjadi.

"Razel." Isak tangis perempuan itu keluar melihat Razel terbaring lemas dengan dengan darah yang tak henti mengalir dari kepalanya. "Jangan tutup mata kamu," ucap Ralissa melihat mata Razel sayup-sayup masih terbuka.

"Jangan tutup mata kamu," ucapnya lagi. Ralissa menggenggam tangan Razel kuat. "Jangan tinggalin aku," lanjutnya masih dengan terisak.

Namun yang tak Ralissa harapkan justru malah terjadi. Ralissa menyaksikan sendiri bagaimana mata itu menutup sempurna lalu menghancurkan relung hatinya.

Setelah itu Razel tak pernah membuka matanya kembali. Lelaki itu hanyut dalam tidur panjangnya.

***

Entah mengapa Ralissa ingin melihat apartemennya kembali, dan perempuan itu juga tak tahu mengapa langkahnya justru tertuju pada apartemen yang biasa Razel gunakan saat Ardan bertamu. Ruangan itu tidak terlalu banyak isinya dibanding apartemen yang benar-benar ditinggalinya, tetapi sudah tampak cukup hidup.

Ralissa melihat kemeja Razel yang sudah setahun tak ia lihat teronggok di lantai. Perempuan itu meraihnya. Kemeja itu sudah kotor dan berdebu. Namun, bukan menjadi alasan Ralissa tak mau memeluknya. Kemeja kotor Razel itu pun setia melekat di antara tangan dan dada perempuan itu.

Kemudian Ralissa kembali melangkah, berharap menemukan sesuatu yang menghangatkan atau menghiburnya. Ralissa membuka nakas. Dan perempuan itu seketika membeku di tempat.

Ralissa melihat gelang kayu yang ia berikan pada Razel sembilan tahun yang lalu. Ralissa mengambil gelang itu dengan jiwa yang bergetar. Ralissa mulai terisak sebelum tubuhnya jatuh meluruh lalu menangis keras.

Kenapa ia baru tahu Razel masih menyimpan gelang kayu pemberianya. Ralissa semakin tak bisa mengontrol diri. Tangannya memukul-mukul lantai dengan tangis semakin pecah.

Hari-hari Ralissa setelah itu hanya pulang pergi apartemen-rumah sakit. Razel masih enggan membuka mata dan betah terbaring dengan ventilator yang membantunya bernapas.

Ralissa hanya menunduk di samping tubuh Razel yang menyedihkan itu. Diam-diam Ralissa menahan tangis. Perempuan itu sulit melihat kondisi Razel yang seperti ini. Apa lelaki itu tak lelah terbaring terus?

Ralissa sudah bosan melihat Razel memakai seragam rumah sakit. Ingin rasanya Ralissa mengganti seragam Razel dengan pakaian biasa, kemudian membawa lelaki itu pulang ke apartemen. Ralissa mencium kuat tangan Razel yang terbebas dari jarum infus ketika mulai merasa pertahanannya akan runtuh.

***


FOREVER RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang