18 | 2012 (6)

96 3 0
                                    

Bandung, Mei 2012

"Ambil apa aja yang kalian mau."

Ralissa dan Anres mematung. Siang ini kakak beradik itu berkunjung di mal bersama Dion. Untuk pertama kalinya, mereka menginjak tempat besar seperti itu apalagi dengan penuturan Dion barusan.

"Apa, Om?" sahut Anres.

Dion tersenyum geli mengusap gemas ujung kepala anak laki-laki di sampingnya. "Ambil apa pun yang kamu suka. Nanti Om yang bayar."

"Beneran Om, aku boleh ambil apa aja?"

"Iya," tekan Dion sambil mengangguk.

Jawaban itu membuat Anres yakin. Tak lama kemudian, ia berlalu meninggalkan Dion dan Ralissa dengan senyum lebar.

Dion menoleh Ralissa. "Susul adek kamu, yuk. Nanti ilang repot," kicau Dion lantas beriringan mencari Anres yang sudah tak terlihat. Keduanya pun akhirnya menemukan anak laki-laki itu di stan mainan anak-anak.

"Om, aku mau ini, ya," ucap Anres memilih robot mainan berukuran besar.

"Res, yang kecil aja," tegur Ralissa.

"Gak pa-pa, Lis. Kamu jangan diem aja, deh. Cari yang kamu suka."

Meski sudah sedekat itu, tetapi Ralissa masih tidak enak kalau menerima barang mahal. Namun, tak lama kemudian---tepatnya setelah membayar robot mainan pilihan Anres, Dion malah mengajaknya belok ke stan perhiasan. Dion menyuruh Ralissa untuk memilih anting emas.

"Om-"

"Gak usah gak enak. Kamu dan Anres anak Papa."

Ralissa mematung atas apa yang baru ia dengar. Anak Papa? Karena Ralissa tak kunjung memilih, Dion menyuruh Anres untuk memilih anting untuk kakaknya.

"Ini bagus, Om," tunjuk Anres memilih tanpa waktu lama.

Ralissa pasrah saat Dion setuju dan membeli anting pilihan Anres, juga pasrah saat Dion memasangkan langsung pada telingannya.

"Cantik nggak, Res, kakakmu?" kicau Dion.

"Jelek, Om."

Untuk kesekian kalinya Ralissa pasrah. Beberapa menit kemudian, keduanya sudah pindah ke stan lain---stan baju. Anres sedang berusaha memilih baju, tetapi bingung sampai akhirnya dibantu Dion memilih.

"Om jangan banyak-banyak. Nanti aku bingung bawanya," celoteh Anres melihat Dion tak kunjung berhenti mengambil baju.

"Om yang bawa. Tapi janji, malam ini kamu tidur di rumah Om, ya."

Selesai memilihkan baju untuk Anres, Dion menghampiri Ralissa. "Jangan matung aja. Ayo pilih."

Dion mendorong punggung Ralissa, menuntun gadis itu ke jejeran baju perempuan. "Nih, bagus nih." Dion mengambilkan baju untuk Ralissa.

"Om, satu aja."

"Harus banyak kaya Anres."

Ralissa tak bisa melawan kebatuan Dion. Keluar dari mal, ketiganya keluar dengan belanjaan super banyak. Kemudian Dion dan Anres memasukkannya satu per satu ke mobil. Begitu selesai, Dion tancap gas dari tempat parkir membawa Ralissa dan adiknya ke rumah ibu sambung mereka.

***

Ralissa sudah tiga hari tak jualan karena Dion mengajaknya jalan-jalan tanpa putus. Dan untungnya mendapatkan izin dari Mila.

Mobil Dion tiba di rumah Mila menjelang tengah malam. Anres sudah terlelap sejak di jalan. Ini semua karena mobil Dion sempat mengalami masalah yang membuatnya memanggil montir datang.

Ada yang aneh di benak Ralissa melihat ibu sambungnya tengah berdiri di depan rumah. Sejak kapan Mila bersikap seperti ini? Menyambut atau menunggu kepulangannya dan Anres dengan senyum. Dan apa itu? Mengapa ada empat koper di sisi wanita itu? Apa Mila hendak pergi?

Dion mematikan mesin mobilnya. "Turun, yuk, Lis."

Meski hanya diam, Ralissa turun setelah Dion turun. Tanda tanya besar yang memenuhi kepalanya membuat gerak langkahnya ragu.

"Maaf, kemalaman. Mobil saya sempat ada masalah," ucap Dion.

"Gak pa-pa, Pak." Mila tersenyum tidak mempersalahkan.

Ralissa memperhatikan kembali koper-koper di depan matanya. Ia baru tersadar ada koper yang sedikit terbuka, memperlihatkan salah satu bajunya.

Belum sampa ia meminta penjelasan, tangan hangat Dion menggenggam tangannya. "Inget nggak, di mal tadi Om ngomong apa?"

"Gak usah gak enak. Kamu dan Anres anak Papa."

Ralisaa membeku saat mengingatnya.

Mila tahu-tahu melangkah. Ia menarik Ralissa menjauh dari Dion dan memberikan penjelasan singkat. "Kamu harus bersyukur Ibuk lepas ke Pak Dion. Kamu pasti nyaman kan tinggal sama Pak Dion?"

Apa ini?

"Lis."

Suara Dion membuat Ralissa dan Mila menoleh. Dion mendekat, sementara Mila beranjak masuk rumah setelah membisikan kata "tugas Ibuk udah selesai, ya" dan membuat Ralissa menjadi mulai sedikit paham.

Selaput bening muncul di mata Ralissa tepat ketika Dion menggenggam tangannya. "Om ...." Ralissa tidak bisa berkata banyak. Ia tidak pernah bermimpi seperti ini.

Dion memeluk anak itu. "Om cuma ingin ngerubah kamu, Lis."

Merubah hidup.

Butuh waktu cukup lama untuk Ralissa meyakini sepenuhnya. Penjelasan tambahan Mila di dalam rumah pun belum cukup. Ralissa baru yakin saat Mila menyodorkan novel dari seorang yang spesial di hatinya beberapa waktu yang lalu belum dimasukkan ke kopernya.

"Cepat keluar. Jangan bikin Pak Dion lama menunggu."

***

Seminggu tinggal di rumah baru. Ralissa mengalami banyak perubahan. Hidupnya berubah lebih baik---sangat baik. Semua yang ia butuhkan sudah tersedia. Tanpa ia harus lelah mencari. Tanpa ia harus berperang dengan panas dan hujan. Dion begitu menyejahterakan hidupnya dan Anres.

Lihat saja, Anres begitu bahagia berada di bibir kolam. Kakinya bergerak-gerak bermain air, sementara anak itu baru saja tertawa mendapati adegan lucu di komik yang ia baca. Wajah adiknya cerah berseri. Ralissa sudah lama tak melihat adiknya sebahagia ini.

Ralissa tersenyum sendu. Ternyata rumah Dion yang sebenarnya berada di luar Bandung. Rupa-rupa, selama ini Dion hanya membangun usaha di Bandung, sementara Dion adalah warga Jakarta.

Jakarta. Kota ini besar sekali. Persis seperti cerita ayahnya saat ia masih kecil.

Kini Ralissa memeluk novelnya---Embun Pagi Sebelum Cahaya---yang sempat ia baca ke dada.

Apa kabar dengan orang yang sudah memberikan novel bagus itu padanya?

Razel. Anak laki-laki yang baik. Anak laki-laki yang selalu hadir di pikirannya.

Ralissa merindukannya.

Apa kepindahannya akan menghentikan alur cerita pertemanannya dengan Razel?

Ralissa harap tidak.

Semoga kita bisa bertemu lagi, Zel. Ralissa semakin erat memeluk novelnya.

***

FOREVER RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang