01 | Berdua

810 46 2
                                    

Razel mempunyai dua kebiasaan aneh. Pertama, ia selalu membawa sebuah syal dan sweeter bukan miliknya, juga kotak perhiasan berisi pecahan gelas ke tempat kerjanya. Kedua, Razel tak jarang melukai diri saat dalam keadaan gelap dan sendiri.

Ralissa tak mengetahui kebiasaan-kebiasaan Razel itu dimulai dari kapan. Sejauh 1,5 tahun lebih umur pernikahannya berjalan, perempuan itu baru mengetahuinya dua bulan yang lalu, secara beruntun yang membuatnya sempat terguncang selama seminggu. Hingga kini Ralissa belum bisa untuk sepenuhnya tenang. Apalagi Razel tak pernah mau menerima ajakannya untuk kolsultasi pada dokter dan psikiater. Jawaban Razel selalu. "Aku nggak sakit. Barang-barang itu punya orang-orang yang aku sayang. Itu nggak aneh."

Mengenyahkan barang-barang kesayangan Razel dari pikiran, yang paling Ralissa takutkan ialah kebiasaan Razel melukai diri. Memang hanya melihat goresan-goresan, tapi Ralissa was-was jika suatu saat nanti Razel lebih hilang akal. Ia tak mau itu terjadi. Maka dari itu Ralissa ingin mencari tahu sebabnya. Setiap memergoki luka baru Razel, Ralissa selalu menanyakannya.

Seperti pagi ini, setelah semalam Ralissa mengobati luka Razel. Namun, seperti sebelum-sebelumnya, Razel tak menjawabnya. Lelaki itu bergeming keras, tak nyaman pada pertanyaan beserta tangan Ralissa yang mendekap tubuhnya dari belakang.

"Bilang aja. Aku nggak bakal bilang siapa-siapa," bisik Ralissa halus, menempelkan pipi pada punggung Razel. "Sampai kapan kamu tetep ngerasa hidup sendiri? Kamu hidup berdua denganku."

Razel melepaskan diri dari dekapan Ralissa. "Udah jam tuju. Aku harus kerja," ucap lelaki itu dingin, berdiri menghadap Ralissa.

Ralissa menghela napas, melirik jam dinding desain eropanya. Benar, Razel tak bohong. Pukul 7.00 pagi. Waktunya lelaki itu berangkat kerja, juga dirinya yang harus ke toko bunga.

Ralissa berdiri seraya mengembangkan senyum di bibir pucatnya, melupakan apa yang sempat terlontarkan sebelumnya. Ia merapikan dasi Razel penuh perhatian, juga menepuk-nepuk jas kerja Razel yang terdapat sedikit debu. Sebenarnya Ralissa kurang suka Razel memakai setelan jas, tapi ia tak bisa menolak karena sudah pakaian formal di tempat suaminya bekerja.

"Udah bersih," ucap Razel lantas berlalu. Ralissa menyusulnya dari belakang, bersama menyusuri lorong apartemen lantai empat yang sepi, lalu turun menggunakan tangga.

Langkah Ralissa memelan setiba di garasi apartemen. Untuk sementara ia ingin memperhatikan wajah Razel dengan saksama saat lelaki itu memasuki mobilnya. Begitu Razel pergi bersama mobil hitamnya, Ralissa tersenyum tipis. "Hati-hati. Nanti kita ketemu lagi," gumamnya memasuki mobil putihnya.

Dalam perjalanan, Ralissa mendapat pesan.

Naro :
Aku di toko bunga kamu.

Rahang Ralissa mengeras, tetapi tetap fokus menyetir. Serta merta ia membalas pesan seorang bernama Naro itu.

Ralissa :
Aku masih di jalan.

Naro :
Aku tahu. Aku tunggu di sini.

Ralissa tak membalas lagi. Pandangannya menatap lurus ke depan dengan sorot mata yang sulit diartikan dan punggung yang bersandar lemas pada jok. Namun, di baliknya Ralissa tengah menambah kecepatan mobilnya.

Selang 15 menit, perempuan itu tiba di toko bunga yang menjadi usahanya selama empat tahun ini. Ralissa disambut manis oleh lelaki yang keluar dari mobil hitamnya. Lelaki itu sabar menunggu mobil Ralissa berhenti, lalu menunjukkan diri.

FOREVER RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang