38 | 2013 (2)

100 2 0
                                    

Bandung, Maret 2013

Selama ini citra Levo sudah sangat baik di mata Razel. Namun, remaja itu justru semakin terlihat baik semenjak Razel tinggal bersamanya. Razel menjadi tahu sikap dan keseharian sahabatnya setiap harinya. Semenjak tinggal bersama Levo, Razel selalu merasa menyusahkan cowok itu, tetapi Levo tak pernah merasa Razel adalah beban.

Bagaimana Razel merasa dirinya bukan beban? Ia hidup menumpang dengan Levo tanpa biaya sepeser pun, apalagi akhir-akhir ini ia sering jatuh sakit. Bukannya kondisinya semakin terlihat merepotkan sahabatnya?

Razel ingin bekerja untuk membantu Levo. Namun, Levo tak mengijinkannya sebelum dinyatakan lulus.

Razel berharap segera lulus sekolah. Ia juga akan menjaga kesehatannya agar tak mudah sakit lagi.

Razel menelan obat bersama segelas air putih untuk menurunkan suhu badannya yang panas. Tubuh Razel lemah, wajahnya pucat. Sudah dua hari ini Razel panas tinggi. Beruntungnya, sore ini Razel merasa cukup membaik. Levo belum terlihat batang hidungnya. Sepertinya Levo langsung datang ke cafe tanpa pulang ke kostan lebih dulu.

Razel memperbaiki posisi tidurnya begitu sadar terlalu meminggir. Bertepatan dengan itu terdengar pintu masuk kostannya berbunyi. Sambil tertatih, Razel turun dari satu-satunya tempat tidur di kostan. Razel melihat suasana luar kamar melalui lubang pintu. Razel melihat remaja sesusianya mengendap-endap ke arah dapur.

Bukan orang asing. Razel mengenalnya anak yang tinggal di kostan sebelah.

"Kalau Indra ngambil makanan biarin aja. Nanti kita beli makanan lagi."

Pesan singkat Levo membuat Razel menegakkan punggung. Razel sudah tahu kedatangan remaja itu ke kostan untuk apa. Ya, apalagi jika bukan mengambil makanan di dapur?

Razel membiarkan remaja itu membawa dua bungkus nasi goreng di dapur sesuai pesan sahabatnya. Sebaik itu memang Levo. Kata sahabatnya itu, "Enggak pa-pa. Cuma makanan aja kok."

Awalnya Razel merasa sedikit ada yang mengganjal, sampai akhirnya Razel tahu Indra mencuri makanan untuk diberikan pada empat adiknya yang masih kecil-kecil. Dan itu yang menjadi alasan Levo tidak mempermasalahkan Indra selalu mengambil makanan di dapur. Bahkan dengan pedulinya, Levo sering membelikan Indra dan adik-adiknya secara langsung.

Razel mengambil duduk di tepi tempat tidur. Ia menatap foto Levo sisa keperluan rapor sekolah dengan senyum haru. Razel bangga memiliki sahabat sekeren Levo.

Razel bangga dan beruntung.

***

Razel terjaga dari lelapnya begitu merasa hidungnya dipencet seorang. Ternyata tersangkanya adalah Levo yang baru pulang. Remaja itu tersenyum tanpa dosa lalu menuang air putih ke gelas. Gelas bekas minum obat Razel. Tidak ada gelas lain. Gelas itu jadi satu-satunya gelas yang ada. Gelas yang sudah dianggap Levo seperti saudaranya sendiri karena sudah menemaninya selama sepuluh tahun. Kendati Razel sering memakainya saat sakit, tetapi Levo tidak sampai tertular berat. Paling-paling Levo hanya flu sebentar.

Razel terbatuk sambil terbangun dari posisinya. Sementara Levo memperhatikannya dengan sorot serius. "Obatnya lo minum, kan?"

Razel menunduk. Entah mengapa malam ini kepalanya berdenyut-denyut lagi. "Minum kok."

Setelah itu Razel tak mendengar balasan lagi. Levo mengusap kepala sahabatnya lalu menarik sebuah meja persegi. Levo mengeluarkan dua bungkus mie rebus, sekotak martabak, dan selusin roti dari tas hitamnya.

Levo mencomot martabak sebelum menyantap mie rebusnya. Saat Razel baru berdiri hendak mengambil mangkuk, Levo mendahuluinya. "Gue aja."

Levo berlalu dari hadapan Razel, kembali satu menit kemudian dengan dua mangkuk. Remaja itu mengajak Razel makan malam bersama dengan anteng. Levo yang lebih dulu menghabiskan mienya akhirnya membuka obrolan. "Lo liat nggak sebelah kost kita ada yang nempatin?"

Sebelah kiri ada Indra dan adik-adiknya, sedangkan sebelah kanan sudah kosong selama satu tahun. Razel menghentikan gerak sendoknya lantas menjawab seadanya, "Enggak, Le. Kenapa?"

Levo terdiam, dan cukup lama. Razel juga terdiam.

Lalu Levo akhirnya bersuara, tepat saat terdengar tawa keras beberapa orang pemuda. "Lo jangan datang ke arus pertemanan mereka dulu. Gue belum tahu mereka calon temen yang bener atau calon temen yang nggak bener."

Walau Razel belum melihat wajah dan bentuk tetangga barunya, tetapi Razel merespons ucapan Levo dengan anggukan.

***

FOREVER RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang