"Sedang apa kau di sana?"
Suara tegas dan dingin itu membuyarkan lamunan Alden semuanya. Sang Pangeran itu terlihat dua kali lipat gugupnya karena ketahuan menyaksikannya dari jauh. Pahatan garis tulang Arryn membuatnya melemah dan memilih untuk berhenti di sana.
Ketika merasa Arryn tidak akan kabur darinya, dia menuruni daratan itu dengan hati-hati hingga berada di bibir sungai dengan Arryn di sampingnya.
Sosok orang asing itu melirik ke belakang dan mendapati bahwa hanya kekosongan yang dia dapatkan.
"Mereka semua berada di Vie de Vereilles,” jawab Pangeran Alden dengan yakin seolah mengetahui apa yang dipikirkan oleh pemuda manis ini. Alih-alih dia mendapatkan sebuah pujian karena keinisiatifannya, Alden mendapatkan sebuah dengusan dari Arryn menandakan bahwa dia tidak peduli sama sekali tentang hal tersebut.
Putra Mahkota yang dihormati itu memilih duduk beralaskan hamparan bebatuan, menepis jubahnya yang terlalu panjang ke belakang, "Anda bilang, Anda tinggal di sini seumur hidup, bukan?"
Arryn enggan untuk bersuara sama sekali, membuat Alden hanya tersenyum maklum.
"Boleh saya tahu bagaimana Forbidden Royale selama Anda hidup di sini?" tanyanya lagi dengan nada yang sopan dan bersahabat. Hati dan pikirannya saling bekerja sama untuk bersikap hati-hati supaya tidak membangkitkan amarah pria manis di sampingnya.
Dia pernah mencoba bertanya kepada penduduk sekitar yang hidup di garis perbatasan wilayah mengenai sosok Arryn; dia menelan bulat-bulat jawaban yang sama bahwa tidak pernah sekalipun melihat seseorang dari sana.
Namun, setelah dia menunggu selama lima menit, hanya suara tabrakan air dengan batu karang yang terdengar serta gesekan daun dengan angin menjadi hiasan mereka. Pantulan cahaya mentari di sungai menciptakan sinarnya sendiri mengarah pada Arryn yang menatap lurus ke depan.
Alden tidak bisa menebak apa yang dipikirkan oleh pria di sampingnya ini. "Vie de Vereilles, Anda mendengarnya, bukan? Wilayah itu menjadi ibukota Elysium sekarang, menjadi tempat perdagangan darat yang sangat baik, sekaligus di sanalah saya tinggal bersama anggota yang lainnya. Namun, Pelabuhan Eleydiff tetap menjadi pusat perdagangan antarnegara," katanya secara tiba-tiba, manik hazelnut itu melirik ke arah Arryn yang berada di atasnya. Lalu, kembali menatap riak air karena lemparan batu oleh Arryn.
"Elysium tidak mengalami banyak perubahan selain perpindahan ibukota dan pemecahan wilayah, Dornwich dipecah menjadi tiga wilayah. Yang pertama, tetap Dornwich, kemudian Lunaris dan Woodpine. Raja mengambil keputusan tersebut sebagai Woodpine untuk pemfokusan kepada kelestarian alam. Saya rasa perpecahan itu terjadi setelah lima tahun kejadian kelam Elysium berakhir," sambung Alden yang berbicara dengan lancar seolah dia sedang menceritakan pengalaman liburannya. Namun, dirinya menangkap sesuatu yang janggal pada diri Arryn.
Pria manis yang tertutup dengan pandangan tajam itu tampak berhenti melempar batu saat dia mengatakan kejadian kelam Elysium.
"Saya rasa seisi Astrov sudah mengetahui sejarah menyakitkan ini. Elysium pernah diserang oleh pemberontak, mengakibatkan negara ini nyaris lumpuh total, karena ibukotanya hancur," ucap Alden kembali yang tersenyum hambar. Sejarah itu tidak dilaluinya sama sekali. Namun, ketika dia belajar tentang negaranya, dia ikut membayangkan betapa mengenaskannya Elysium. Kemudian, sulung Raja Edmund melihat sekitar pepohonan yang menjulang tinggi seakan melindungi wilayah ini, kembali melanjutkan.
"Inilah dia, ibukota terdahulu, Forbidden Royale, sebelumnya adalah Flemwood."
Pria 26 tahun itu kembali membungkam bibirnya setelah menyelesaikan kegiatan mendongeng. Perlahan Arryn terlihat memelankan tempo kegiatan melempar batunya, Alden melihat semuanya.
Arryn, yang sangat kurus dan bermata bulat seperti kacang almond, retinanya yang secantik biru malam itu masih memaku pandangan tepat di pepohonan di depannya. Bibirnya yang tipis terlihat pucat itu terbuka, mengucapkan dua kata dengan tegas.
"Untuk apa?"
"Ya? Anda berbicara sesuatu, Arryn?" tanya Alden yang cepat merespon, terlihat sekali kalau pria itu hanya memfokuskan dirinya pada pria di sampingnya.
Pahatan Dewa yang menurutnya paling sempurna dengan seluruh kekurangannya.
"Untuk apa kamu mengatakannya, Darius?" ulang Louis yang memalingkan wajah tirusnya ke arah Alden yang mendongak. Seperti memiliki daya magnet, dua pasang mata berbeda warna itu saling melekat, Arryn bisa melihatnya dengan jelas ... sebuah senyuman tampan di wajah sosok yang dikenalnya sebagai Darius.
"Saya percaya Anda," jawab Alden yang membuatnya mendadak tuli, tidak terdengar apapun lagi termasuk deburan air berhadapan dengan batu karang berkali-kali.
"Karena saya percaya Anda, Arryn." Alden mengulangnya dengan suara lembut.
Arryn sontak mendengus dan memalingkan wajahnya; berdiri dari tempatnya untuk meninggalkan bibir sungai serta Darius. Pikirannya mendumel tentang lancangnya Alden mengatakan hal tersebut tanpa beban berkali-kali sampai mengutuk pria yang lebih tinggi darinya.
Mengabaikan perasaannya yang bergemuruh kencang karena tatapan dan suara menenangkan pria tampan dan berkarisma.
Alden yang melihat sosok tersebut semakin menjauh, segera berdiri; membersihkan pakaiannya secepat mungkin dan mengekori Arryn dengan jalan cepat.
"Kenapa Anda suka sekali tiba-tiba pergi?" celetuknya dari belakang sejauh satu meter. Louis yang berhenti secara mendadak membuat Alden juga berhenti dan gugup ketika melihat mata sejernih langit malam itu mendelik tepat kearahnya.
Louis merasa bahwa Alden tidak lagi bersuara, kembali melanjutkan perjalanannya; sadar sepenuhnya kalau Darius tidak menyerah untuk membuntutinya seperti anak ayam.
Anak pertama dari tiga bersaudara Ravenswood itu memilih untuk diam melihat sekitar sekaligus menghapal jalan pulang. Sebuah jalan cukup lebar yang telah ditata rangkaian batu bata, terlihat samar karena akar yang menjalar diatasnya ataupun dedaunan yang jatuh dari tangkainya.
Samping kedua sisi mereka adalah pepohonan yang lebat menghalangi sinar mentari, Alden sekilas melihat beberapa tiang yang juga perlahan dimakan oleh tumbuhan menjalar, sama sekali tidak terawat. Perjalanan yang cukup panjang dan hanya ada satu jalan saja sampai ke ujung.
Pria kelahiran November itu mematung di penghujung jalan, sementara Louis dengan santainya menaiki dua puluh anak tangga kecil di depan mereka. "Arryn, ini adalah ...," kata Alden yang memelan di ujung kalimatnya.
"Kerajaan Rose Fortress. Kamu pernah mendengarnya?" Louis berhenti di anak tangga ke-15, berbalik ke belakang dengan picingan tajam. Lalu, tersenyum tipis ketika melihat si Darius memaku di anak tangga paling bawah.
Tanpa dia tahu bahwa sebenarnya, fakta yang ada pada Alden.
Putra Mahkota Elysium itu terpaku di sana karena silau mentari yang menerpa Arryn di atas sana. Tampak bersinar dan ethereal, sesuai dengan namanya itu.
"Sebaiknya, kamu pulang atau mereka akan mengerubungi tempat ini." Arryn kembali melanjutkan perjalanannya dengan angkuh, memasuki kastil tersebut dan pintu gerbang itu ditutup menelan sosok yang memasuki kehidupannya baru-baru ini.
Alden melihat kerajaan tersebut, siang hari seperti sekarang terlihat banyaknya tumbuhan menjalar di bangunan agung itu hingga tampak tidak terawat. Tatapan hazelnut-nya menyendu memikirkan kondisi Arryn selama ini, pastilah sendirian. Sesudahnya, dia kembali berjalan menjauh dari tempat tersebut, menuruti kemauan Arryn untuk kembali ke Vie de Vereilles.To Be Continue
Haiii, akhirnya Rain update lagi.
Bagaimana?
Kalau boleh jujur, Rain menulis chapter ini sekitar tiga hari karena merasa ada yang kurang. Walaupun masih tidak benar-benar puas dengan hasilnya, tapi bisa membuat Rain merasa lebih baik.
Alden di sini sepertinya akan berbicara sangat formal. Benar-benar formal sampai waktu yang tidak ditentukan.
Sampai jumpa besok!
KAMU SEDANG MEMBACA
[1.0] ✔️ Last Soulmate | JoongHwa
Fanfic« LAST SOULMATE #1 STORY » Sang Makhota Pangeran mengalami jatuh cinta. Ini pertama kalinya dan itu dengan sosok yang arogan dan bertingkah kasar. "Alden, waktumu akan habis, bukan? Kamu tidak akan lahir kembali ke dunia ini lagi bukan? Apa tidak...