Selamat Membaca!
◀ ▶
Geya baru menginjakkan kaki di lantai ubin ruang tamu, saat suara Hartawan terdengar menggema di telinga Geya.
“Habis dari mana kamu?”
Geya mendengkus. Kenapa harus pertanyaan retoris itu yang dilontarkan oleh papanya? Apa Hartawan tidak memiliki stok pertanyaan lain untuk ditujukan kepada dirinya?
“Orangtua tanya itu dijawab, bukannya malah diam aja.”
“Sekolah,” jawab Geya singkat, sedikit berbohong.
Dia tidak mungkin memberitahukan yang sebenarnya, bahwa dia baru saja dari rumah seberang, alias rumah Ditya. Hal itu sama saja dengan memancing maut, apalagi jika Hartawan tahu bila Geya habis memarahi Ditya. Pria paruh baya itu tentu akan menyerangnya dengan sejuta pertanyaan kembali setelah mengetahui hal tersebut.
“Yakin kamu habis dari sekolah? Ini sudah jam berapa?” tanya Hartawan lagi, tanpa memberikan kesempatan untuk Geya melangkah lebih masuk ke dalam ruang tamu.
“Iya. Ada kerja kelompok.”
“Kerja kelompok atau ada hal lain yang kamu kerjakan, Geya? Mana ada kerja kelompok yang dilaksanakan setiap satu minggu sekali.”
Geya menghela napas. “Kalau Papa enggak percaya, ya, udah. Geya enggak maksa Papa buat percaya.”
“Geya, jawab Papa dengan betul. Kamu habis dari mana? Papa yakin, kamu bukan habis kerja kelompok. Pasti, kamu sedang mengurus klub enggak berguna itu, kan?”
Geya menatap Hartawan tajam, ketika mendengar bagaimana Hartawan menyebut klub tari. Mungkin, itu bukan kali pertama Hartawan memberikan nama tidak menyenangkan terhadap klubnya. Tapi, tetap saja, Geya tidak pernah terima.
“Kenapa Papa selalu menganggap klub tari itu klub enggak berguna, sih, Pa?”
“Ya, karena memang klub tersebut tidak ada gunanya. Hanya bisa membuat kamu menjadi anak yang pembangkang kepada orangtua,” tukas Hartawan.
“Lalu, menurut Papa, aku membangkang karena aku ikut klub itu?”
“Iya. Lihat aja. Kamu bahkan membantah perintah Papa untuk berhenti dari klub itu. Apa bukan membangkang namanya?”
“Geya enggak akan membangkang sama Papa kalau Papa enggak ngekang Geya, Pa!”
“Lihat. Apa Papa bilang? Bergabung dengan klub tersebut bikin kamu semakin berani ngelawan Papa. Lagi pula, Papa enggak pernah mengekang kamu, Geya. Kamu mau ke mana, Papa tidak pernah larang. Papa hanya ingin kamu berhenti dari klub tersebut.”
Geya tersenyum sinis. Tidak mengekang? Tidakkah Hartawan sadar bila perintahnya yang menyuruh Geya untuk keluar dari klub tari adalah salah satu bagian dari kekangan yang pria itu berikan? Mengekang sesuatu yang menjadi suatu ketenangan dan kebahagiaan bagi Geya.
“Pa, kenapa Papa sebenci itu sama klub tari?” tanya Geya. “Apa dulu Papa punya pengalaman buruk sama klub tari sehingga Papa sebegitu melarang aku untuk bergabung ke klub tersebut?”
Hartawan hanya bergeming saat Geya menyerangnya dengan pertanyaan tersebut. Membuat Geya curiga.
“Kenapa Papa enggak jawab? Apa jangan-jangan yang aku bilang itu benar? Papa punya pengalaman enggak menyenangkan sama klub tari?” desak Geya kembali, hingga akhirnya Hartawan angkat suara. Sayangnya, apa yang dilontarkan pria itu tidak sesuai dengan apa yang Geya harapkan.
“Kamu enggak perlu tahu. Yang jelas, nanti Papa bakal minta jadwal sekolah kamu sama Ditya, lengkap dengan semua bimbel yang kamu ikuti. Bila perlu juga jadwal kerja kelompok kamu. Jadi, jangan harap, kamu bisa membohongi Papa ketika mengikuti klub tersebut, Geya.”
Perkataan Hartawan membuat Geya marah. Ingin rasanya Geya kembali bersuara, meluapkan semua bentuk emosinya, namun rasanya percuma saja. Hartawan tidak akan pernah mendengar apa yang dia sampaikan. Hari ini, dia juga merasa lelah, setelah berdebat habis-habisan dengan Ditya tadi.
“Terserah Papa,” ujar Geya, lantas melangkah melewati Hartawan. Berjalan lurus menuju kamarnya yang ada di ujung.
Setelah melepaskan tas dari bahu, Geya merebahkan tubuhnya di atas kasur. Memejamkan mata, membiarkan kasur tersebut menariknya hingga ke dasar gravitasi.
Geya benar-benar lelah. Setelah kabar mengenai klub yang akan diberhentikan sementara, wajah kecewa anggota-anggotanya, berdebat dengan Ditya, dan terakhir bersama Hartawan, rasanya Geya ingin menghilang saja dari bumi barang sejenak.
“Lebih baik kamu pulang, Geya.
“Saya bilang, pulang!”
Kalimat yang dilontarkan oleh Ditya kembali terbayang di benak Geya. Kejadian tadi bukanlah kali pertama Geya menghampiri Ditya dan memarahinya. Namun, tidak biasa-biasanya lelaki itu mengusirnya pulang. Apa mungkin, hari ini perkataannya terlalu berlebihan sehingga memancing amarah Ditya?
Tapi, biar saja. Apa yang dikatakan Geya semuanya ialah benar. Tidak dikarang-karang, juga dilebihkan. Ialah fakta bahwa wanita yang dipanggil Ditya dengan sebutan "mama" itu adalah perusak hubungan orangtua Geya yang sekaligus menjadi penyebab tidak langsung dari kematian mama Geya.
Emosi Geya kembali terpancing ketika mengingat hal tersebut. Kenapa dari sekian banyak orang di muka bumi ini, dia harus menjadi orang yang terpilih untuk menjalani konsekuensi yang berat seperti ini?
Risa, sang mama meninggalkan Geya di saat dia masih menduduki bangku Sekolah Dasar, Hartawan yang selalu mengekang apa yang Geya mau, Hartawan yang pilih kasih dan lebih menyayangi Ditya, serta kehadiran Ditya dan Calista yang senantiasa menjadi benalu pada kebahagiaannya.
Jika Geya bisa memilih, dia tidak pernah suka lahir dengan kondisi seperti ini. Tapi, apa boleh buat? Gadis itu tidak bisa mengubah apa pun yang telah digariskan oleh takdir untuknya. Satu-satunya hal yang bisa dia lakukan hanyalah berusaha kuat untuk melawan semua hal-hal yang berusaha menghancurkan kebahagiaannya.
Geya membetulkan posisi duduknya, mengambil ponsel dari dalam ransel, lantas membuka casing yang melindungi bagian belakang benda pipih tersebut. Ada selembar foto yang sedari beberapa tahun lalu terselip di sana. Foto dirinya saat masih bayi bersama dengan Risa.
“Ma ... Mama apa kabar?” gumam gadis itu seraya mengusap-usap wajah Risa yang ada di foto. “Geya kangen, Ma.”
“Geya kangen didongengin sama Mama pas mau tidur. Geya kangen dinyanyiin Mama pas lagi bosan. Geya kangen sama Mama,” ujar Geya yang semakin di ujung semakin terdengar bagai lirihan.
“Setelah Mama pergi, Papa jadi banyak ngelarang Geya, Ma.”
Sekelebat memori masa lalu kembali mengitari benak Geya. Gadis itu masih ingat. Dulu saat dia ditunjuk oleh guru sebagai perwakilan kelas untuk tampil menari bersama teman-teman yang lain, Hartawan melarangnya keras. Bahkan, Hartawan sampai mendatangi guru tersebut agar membatalkan Geya sebagai murid terpilihnya.
Saat itu, Geya diejek oleh temannya habis-habisan. Geya dianggap sebagai anak manja yang apa-apa selalu meminta persetujuan dari orangtua. Sepulang sekolah, Geya marah kepada Hartawan yang kemudian membuatnya dikurung sehari semalam di dalam gudang.
Sejak saat itu, pandangan Geya terhadap Hartawan berubah. Geya tidak lagi hormat terhadap pria itu. Saat naik ke jenjang SMP, Geya mulai mengikuti latihan tari, bodoh amat dengan semua larangan yang diberikan Hartawan. Dia juga tidak jera karena telah beberapa kali dihukum oleh Hartawan. Hingga akhirnya, saat SMA, dia menerima tawaran untuk menjadi ketua klub tari di sekolah.
Geya merebahkan tubuhnya kembali ke atas kasur. Sambil mendekap foto mamanya di dada, gadis itu memejamkan mata, berusaha menikmati rasa rindunya terhadap wanita yang telah melahirkannya tersebut.
◀ ▶
30 Desember 2022
1.069 kata
KAMU SEDANG MEMBACA
Geya, Ditya, dan Rahasia Semesta [ Completed ✔ ]
Teen FictionBlurb : Di tengah ancaman klub tari yang akan diberhentikan sementara, Geya Gistara sebagai ketua klub berusaha mempertahankan eksistensi klub tersebut. Meski Geya tahu bahwa seberusaha apa pun dia mempertahankan klub, akan ada dua orang yang selalu...