Selamat Membaca!
◀ ▶
“Jadi, sejak kapan lo tahu ini semua?” serang Geya, tepat di saat Ditya membalikkan sendok dan garpunya. Itu tandanya Ditya telah menyelesaikan acara makannya, bukan?
Ditya menatap dalam kedua bola mata Geya, sebelum Geya memutus kontak mata tersebut terlebih dahulu. Bertatapan lebih lama dengan Ditya membuat perasaan Geya bercampur aduk.
Geya marah, karena Ditya juga turut menyembunyikan hal ini darinya. Geya kecewa, karena Ditya membiarkannya menjadi orang bodoh satu-satunya di sana. Geya merasa menyesal, karena telah menuduh Calista sebagai perusak hubungan orangtuanya. Meski kenyataannya seperti itu, tapi situasinya berbeda. Ditya pasti membenci Geya untuk hal tersebut.
“Sejak 3 tahun yang lalu.”
“3 tahun yang lalu dan lo sembunyiin itu semua dari gue selama itu? Lo tega banget, ya?” Geya membeo tidak percaya.
“Saya enggak punya pilihan, Geya. Di posisi itu, saya serba salah. Mama saya juga mengingatkan sama saya, untuk tidak membiarkan kamu mengetahui cerita ini dari mulut orang lain. Kamu tentu akan merasa kecewa. Maka, sebisa mungkin, saya berusaha untuk tidak menceritakannya kepada kamu.”
“Terus, lo pikir, dengan lo sembunyiin ini semua dari gue, gue enggak kecewa?” hardik Geya. “Lo pikir, Ditya. Lo pikir.”
Gadis itu mengusap wajahnya kasar. Geya benar-benar frustrasi dengan semua keadaan ini.
“Kalau saya bisa memilih, saya lebih memilih untuk enggak tahu mengenai masalah ini juga. Setidaknya, agar saya enggak dihantui dengan perasaan serba salah, Geya,” sambung Ditya, tatkala Geya mulai diam, tak bersuara.
Geya mengangkat kepalanya, mendongak ke atas, berusaha untuk menahan agar air matanya tak turun menetes begitu saja. “Setelah lo tahu ceritanya, kenapa lo enggak pernah marah pas gue jelekin nyokap lo?”
“Siapa bilang saya enggak marah, Geya? Selama ini, saya marah, Geya. Saya enggak masalah kalau kamu mau menghujat saya, tapi saya enggak suka saat kamu sudah bawa-bawa nama Mama saya.”
Kalimat Ditya membuat Geya kembali bergeming. Ini pertama kalinya Geya merasa nada bicara Ditya begitu serius. Atau, mungkin untuk kedua kalinya? Sebab, kali pertama Ditya berbincang dengan intonasi menusuk seperti ini ialah saat lelaki itu mengusir Geya dari rumahnya.
“Kalau kamu seorang kaum adam seperti saya, saya bisa pastikan kalau saya akan menghajar kamu habis-habisan untuk setiap perkataan yang enggak bisa kamu pertanggungjawabkan. Sayangnya, kamu berbeda dengan saya, Geya. Mama saya selalu mengingatkan saya untuk tidak bertindak kasar kepada seorang perempuan … apalagi jika itu kamu, Geya.”
“Kenapa begitu? Kenapa lo harus ngelindungin gue? Gue udah jahat sama nyokap lo, bahkan sama lo, Ditya.”
“Awalnya, saya bingung, kenapa Mama saya begitu melindungi kamu, kenapa Mama saya bukannya marah, justru malah meminta saya untuk berlaku sebaliknya. Melindungi kamu. Tapi, setelah Mama saya menceritakan semuanya kepada saya, saya baru paham apa yang Mama saya katakan itu benar.
Bahwa seharusnya, tugas saya adalah melindungi kamu, bukannya balik menyerang kamu atas perkataan kamu. Kamu enggak tahu apa-apa, Geya. Jadi, bagaimana caranya saya marah terhadap kamu? Sementara kondisinya, saya yang lebih tahu,” jelas Ditya panjang lebar.
“Enggak tahu apa-apa.” Geya tertawa hambar. “Sumpah, gue berasa jadi orang paling bodoh sedunia. Dikibulin selama belasan tahun akan garis kehidupan yang gue jalani. Kira-kira, kalau orang lain tahu, pasti mereka bakalan hujat gue juga.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Geya, Ditya, dan Rahasia Semesta [ Completed ✔ ]
Teen FictionBlurb : Di tengah ancaman klub tari yang akan diberhentikan sementara, Geya Gistara sebagai ketua klub berusaha mempertahankan eksistensi klub tersebut. Meski Geya tahu bahwa seberusaha apa pun dia mempertahankan klub, akan ada dua orang yang selalu...