Bagian 45

12 4 0
                                    

Selamat Membaca!

◀ ▶

Mungkin, ini akan menjadi hari bersejarah bagi Geya, ketika untuk pertama kalinya dia tidak datang sendiri saat mengunjungi makam Risa. Ada Hartawan yang kini berada di sampingnya, menggenggam sebuket bunga yang baru saja mereka beli di tepi jalan tadi.

Untuk kali ini, Geya memberikan sedikit ruang untuk Hartawan berbicara dengan Risa. Sementara, Geya menggeser sedikit tubuhnya untuk menjauh. Walau begitu, Geya tetap bisa mendengar jelas apa yang dibicarakan oleh Hartawan.

“Risa, maaf, setelah belasan tahun kamu meninggalkan dunia, aku baru sempat mengunjungi kamu. Selama ini, aku terlalu buta oleh rasa benci.”

Hartawan meletakkan buket bunga tadi di sebelah nisan bertuliskan nama Risa, lalu kembali berbicara. “Tadi sebelum ke sini, aku dan Geya belikan kamu bunga. Semoga kamu suka dengan bunganya, ya. Anggap saja, itu permohonan maaf aku atas semua yang udah aku perbuat sama kamu.”

Terdengar helaan napas yang cukup berat dari Hartawan. “Seharusnya, saat itu, aku enggak membenci kamu. Posisinya kamu adalah korban, Risa. Tapi, entah kenapa, aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih saat itu dan justru membenci serta menyalahkan kamu atas semua kejadian itu. Bahkan, aku sampai berselingkuh dengan Calista secara terang-terangan di depan kamu. Barangkali, itu adalah kesalahan paling fatal yang pernah aku perbuat sampai kamu enggak tahan dan memilih untuk mengakhiri hidup kamu … meninggalkan Geya yang saat itu masih kecil.”

Hartawan lantas melirik ke arah Geya, sejenak sebelum kembali menatap makam Risa. “Bodohnya aku lagi, setelah kepergian kamu, aku malah melampiaskan kebencianku kepada Geya. Apalagi setelah aku tahu, Geya masuk ke klub tari. Aku benar-benar marah, Risa. Bagaimana jika hal yang sama terjadi kepada Geya? Sejak saat itu, aku menganggap bahwa Geya adalah kamu. Kalian sama-sama enggak mengerti tentang kekhawatiran aku ini. Tanpa aku sadari, perilaku aku yang seperti itu membuat Geya tersiksa sepanjang hidupnya. Semua impiannya terkekang dan itu semua karena aku, Risa.”

Ada jeda yang cukup lama di dalam dialog Hartawan. Namun, buru-buru pria itu kembali melanjutkannya.

“Tapi, akhirnya aku sadar, Risa. Aku sadar bahwa semua tindakan aku itu salah. Oleh karena itu, aku, Calista, Ditya, dan juga Geya … kami semua memilih untuk memulai kembali semuanya dari awal. Aku harap, kamu bahagia dengan keputusan aku. Meskipun aku enggak pernah mencintai kamu, sekalipun aku pernah menikahi kamu, tapi kamu perlu tahu satu hal, Risa … kamu adalah sahabat terbaik yang pernah aku punya. Dan, aku berjanji, aku akan menjaga Geya sebagaimana dulu aku pernah berjanji untuk terus menjaga kamu saat kita masih kecil dulu.”

Hartawan mengakhiri kalimatnya, lantas menoleh kepada Geya, memberikan kode kepada Geya untuk giliran bicara. Pria itu bangkit dan beringsut mundur, membiarkan Geya untuk mendekat ke nisan Risa.

Geya menyentuh permukaan nisan Risa, mengelusnya lembut, seraya menyunggingkan senyum. “Hai, Ma. Kali ini, enggak banyak yang pengen Geya ceritain. Geya cuma pengen bilang, Geya sekarang bahagia banget. Papa mulai berubah, Ma. Mama denger, kan, apa yang tadi disampaikan sama Papa? Papa bilang akan memulai semuanya dari awal, Ma. Makanya, Geya bahagia. Geya merasa punya keluarga yang kembali utuh. Ada Papa, ada Mama Calista, dan ada Ditya. Ya, meski enggak sesempurna kalau ada Mama. Tapi, Geya tetap bahagia. Geya akan berusaha untuk menjadi anak yang berbakti, seperti apa yang selalu Mama pesankan sama Geya. Geya harap, Mama juga bisa ngerasain bahagia di atas sana, ya.”

Tubuh Geya sedikit membungkuk, lantas memeluk nisan tersebut. Menghalau semua rasa dingin yang tercipta karena keramik yang membentuk nisan. Setelah puas melepaskan rindu, Geya kembali pada posisinya, lalu berpamitan untuk pulang. “Ma, Geya sama Papa pulang dulu, ya. Nanti kalau Geya ada waktu, Geya pasti bakal datang ke sini lagi. Geya sayang sama Mama.”

Setelahnya, Geya menghampiri Hartawan yang kini memakai kacamata hitamnya, mengajak pria itu untuk pulang. Sebelum melangkah, Geya menyempatkan diri untuk memandang ke belakang, lalu tersenyum menatap makam Risa dan buket bunga yang terletak di sebelahnya.

•••

Hari ini, akan menjadi hari kedua ketika Geya berangkat bersama Ditya. Padahal, rencananya Geya hendak berangkat sendiri pagi ini. Akan tetapi, kalimat yang terlontar dari mulut Calista berhasil meluluhkan hati Geya.

“Geya, berangkatnya sama Ditya aja, ya. Lagian, kalian, kan, udah resmi jadi saudara. Jadi, enggak ada salahnya berangkat bareng setiap hari. Iya, kan, Mas?”

Dan, lagi, persetujuan dari Hartawan membuat Geya semakin tidak bisa menolak.

“Cie, yang berangkat bareng Kak Ditya sekarang,” ujar Flora meledek Geya saat gadis itu baru saja memasuki kelas. Sepertinya, sedari tadi, Flora mengintipnya dari lantai atas gedung.

“Biasa aja kali, Flo. Lagian, kemarin juga udah pernah berangkat bareng.”

“Kemarin? Kok aku enggak tahu, ya?” tanya gadis itu yang membuat Geya mengedikkan bahu tidak tahu.

Setelah Geya duduk di kursinya, Flora dengan cepat menarik kursi sebelah dan ikut duduk di sebelah. “Jadi, kamu beneran udah berdamai sama semua? Lalu, Papa kamu gimana, Ge?”

“Ya, gitu. Sebelum ini, Papa memang udah beberapa kali minta maaf sama aku. Tapi, yang kemarin, rasanya beda. Jauh lebih tulus,” ujar Geya. “Papa juga bilang, untuk memulai semuanya dari awal.”

Mendengar itu, Flora tersenyum. “Aku ikut senang dengarnya.”

Geya hanya menanggapi hal tersebut dengan sebuah senyuman juga.

“Oh iya, Ge. Ada yang mau aku bicarain sama kamu,” ujar Flora seketika.

Geya menoleh, kemudian mengernyitkan kening. “Apa, Flo?”

“Jadi, dalam rangka memeriahkan ulang tahun kota kita tercinta tiga bulan lagi, aku dengar bakal diadain beberapa festival lomba. Salah satu lombanya itu ada lomba modern dance. Nah, rencananya, aku mau ikutin klub ke lomba itu. Ya, lumayan untuk menambah pengalaman, kan? Bonusnya kalau menang, bisa bawa nama baik untuk sekolah kita. Iya, enggak?“

Mendengar tawaran dari Flora terkait lomba tari tersebut, Geya menopang dagu guna berpikir. “Ide yang bagus. Ini bisa jadi kesempatan yang bagus untuk klub.  Soal ini, kamu udah coba bicarain sama anak-anak?”

“Belum, Ge. Aku coba tanyain dulu ke kamu soal ini. Setelah kamu setuju, baru aku bawa ke anak-anak. Jadi, dari kamu setuju?”

Geya mengangguk tanpa ragu. “Setuju.”

Secercah senyum cerah terbit di wajah Flora. “Ya udah, kalau gitu, mungkin lusa pas latihan, aku bakal coba bawain hal ini ke anak-anak,” ungkap Flora sebagai final.

Melihat antusias dari wajah Flora terkait lomba ini, mendadak Geya bergeming. Terbesit suatu hal di pikirannya, yang kemudian membuat gadis itu menyunggingkan senyum.

Sepertinya, Geya harus menciptakan suatu perubahan untuk klub tari. Meski sedikit berat dan berisiko ditolak mentah-mentah rencananya, namun Geya tidak akan mundur sebelum mencoba. Ini semua demi kemajuan klub tercintanya.

◀ ▶

30 Januari 2023
1.036 kata

Geya, Ditya, dan Rahasia Semesta [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang