Bagian 9

17 5 0
                                    

Selamat Membaca!

◀ ▶

“Geya, Geya!”

Dengan pikiran yang masih terbawa emosi, Geya berjalan tergesa berjalan menuju ke kelasnya, membiarkan Ditya yang masih memanggil namanya. Saat ini, Geya harus segera menghindar dari Geya, sebelum emosinya kembali naik. Gadis itu takut bila nanti suaranya akan meninggi dan ada orang yang meihat keberadaannya dengan Ditya. Terlebih, jika ada orang yang tidak sengaja mendengar perbincangan mereka berdua.

“Astaga, Flo, kagetin aja!” ujar Geya nyaris terpekik ketika wajah Flora mendadak muncul dari balik dinding kelas. Geya mengelus dadanya, berusaha menetralkan keterkejutan itu.

“Ya, maap, Ge. Siapa suruh kamu jalannya buru-buru, kayak orang dikejar makhluk halus aja.”

“Siapa coba yang dikejar makhluk halus, Flo,” ujar Geya. Dia memang sedikit terburu-buru saat berjalan, tapi itu semua bukan karena dikejar oleh makhluk tak terlihat, melainkan karena seorang Ditya.

“Ya, mana kutahu, Ge.”

Geya berjalan memasuki kelas, menuju tempat duduknya. Diekori oleh Flora dari belakang yang menyerangnya dengan beberapa pertanyaan sekaligus.

“Kamu emangnya habis dari mana? Tadi kayaknya aku lihat kamu ngomong sama Kak Ditya. Bahas apa? Tentang klub, ya?” tanya Flora bertubi-tubi.

“Enggak ngomongin apa-apa,” jawab Geya malas-malasan.

Ternyata, apa yang ditakuti oleh Geya benar-benar terjadi. Ada orang yang mengetahui keberadaan dirinya dan Ditya. Di antara semua murid di sekolah, kenapa juga harus Flora yang memergokinya tengah berbincang dengan Ditya? Bagaimana jika Flora juga sempat mendengar isi perbincangan mereka berdua? Terlebih, jika Flora tahu bahwa Geya memarahi Ditya. Tentu, ini akan menjadi hal yang rumit untuk dijelaskan.

Meskipun mereka cukup dekat, mengingat sudah berteman sejak SMP, namun untuk urusan yang membentang di antara dirinya dan Ditya, Geya harap Flora tidak mengetahuinya. Dia hanya tidak ingin bila Flora akan memandangnya berbeda setelah mengetahui semua masalah hidupnya. Tatapan penuh rasa belas kasihan, Geya benci itu.

“Masa, sih, Ge? Padahal, tadi aku lihat wajah kalian serius banget, loh. Rencananya tadi aku pengin nguping, cuma mendadak kebelet mau ke toilet. Mau balik lagi habis dari toilet, malas,” ujar Flora panjang lebar.

“Kami cuma bahas soal klub tari. Itu aja.”

“Oh, bahas soal klub. Bahas klub aja wajahnya tegang banget, aku berasa lagi ngelihat suami istri lagi berantem tahu, enggak?” ledek Flora yang membuat Geya memutar bola matanya.

“Berlebihan kamunya.”

“Ih, enggak berlebihan. Tapi, emang kayak gitu, coba aja ada orang lain yang ngelihat kamu dan Kak Ditya ngomong tadi, pasti akan ada banyak orang yang mikirkan hal serupa. Mana tadi ngomongnya sembunyi-sembunyi di dekat tangga, berasa privasi banget,” ujar Flora. “Eh, ngomong-ngomong, Ge, aku dengar katanya rumah kamu sama rumah Kak Ditya deketan, ya? Kenapa kalian enggak pernah berangkat bareng?”

“Memangnya kalau rumahnya deketan, harus berangkat bareng?”

“Ya, enggak juga. Tapi, kan, kalau bisa menghemat ongkos bensin dengan berangkat berdua, kenapa enggak gitu?”

“Aku masih bisa ngisi bensin dengan baik dan benar, Flo. Enggak perlu sampai nebeng ke orang lain,” jawab Geya, kemudian melanjutkan di dalam hati, “Apalagi sama Ditya.”

“Iya, deh, iya. Sensi amat, Neng. Oke, kembali ke topik, gimana tadi hasil diskusi kamu sama Kak Sienna?”

Pertanyaan Flora membuat Geya terdiam. Pasalnya, dia tidak jadi menemui Sienna tadi, karena terlanjur terbawa emosi oleh Ditya. Namun, jika dipikir-pikir, rasanya percuma juga jika dirinya harus menemui Sienna setelah Ditya menghasut dan mencuci pikiran kakak kelasnya itu.

“Kenapa diam aja, Ge? Gimana hasilnya?” desak Flora.

“Enggak ada hasil, Flo.”

Jawaban singkat Geya menimbulkan pertanyaan di benak Flora. “Maksud kamu? Enggak ada hasil, gimana? Apa jangan-jangan kamu enggak jadi nemuin Kak Sienna?”

Geya mengangguk singkat membuat Flora benar-benar bingung. “Kenapa kamu enggak jadi nemuin Kak Sienna, Ge?”

“Aku rasa, percuma, Flo. Kamu tahu sendiri, Kak Sienna benci banget sama klub tari karena pengalaman buruknya sama ketua klub waktu itu. Jadi, kalau sekarang kita coba untuk ajak dia gabung kembali ke klub tari, rasanya mustahil untuk dia mau.”

“Geya, kenapa kamu tiba-tiba berubah kayak gini?” Flora membeo. “Pas kemarin Ayudia kasih saran begitu, kamu orang yang paling menerima saran tersebut. Aku lihat, kamu juga optimis untuk mempersingkat waktu dan lain sebagainya. Tapi sekarang, kenapa kamu tiba-tiba jadi pesimis kayak gini? Maaf sebelumnya, tapi kamu terkesan kayak plin-plan.”

“Aku minta maaf, Flo.”

“Kamu enggak perlu minta maaf, Ge. Aku cuma mau tahu, apa alasan kamu mendadak berubah pikiran kayak gitu. Aku yakin, pasti ada hal yang membuat kamu berubah pikiran, selain masalah Kak Sienna dulu. Iya, kan?”

Geya terdiam, bingung harus menjawab seperti apa. Gadis itu maklum jika sekarang Flora menyerangnya dengan kalimat panjang dan mengatakan bahwa dirinya plin-plan. Sangat maklum. Sebab, Flora tidak mengetahui alasan di balik perubahan rencana itu. Alasan yang juga tidak akan pernah Geya sampaikan. Seberapa mendesak apa pun kondisinya.

“Enggak ada pa-pa, Flo,” jawab Geya seraya menyunggingkan senyumnya kepada Flora.

“Ya, udah, kalau gitu,” pasrah Flora. Walau begitu, di dalam hatinya, Flora tahu bahwa ada yang disembunyikan oleh Geya darinya. Tapi, Flora sendiri tidak tahu apa itu.

“Sekarang, gimana kamu mau bilang ke anak-anak soal ini? Anak-anak terutama Ayudia pasti kecewa karena saran yang kamu terima kemarin malah enggak jadi kamu laksanakan.”

Kalimat Flora kembali membuat Geya dilanda bingung.

“Udah, enggak pa-pa. Nanti aku bakal coba bilang baik-baik ke mereka. Kamu tenang aja. Sekarang, mending kamu tenangin pikiran kamu. Kayaknya, kamu lagi banyak pikiran, Ge.”

Geya menatap dalam kedua bola mata Flora. Flora memang baik. Sekalipun Geya menyembunyikan sesuatu darinya, namun Flora tetap baik terhadapnya.

“Makasih banyak, Flo. Kamu benar-benar baik.”

Di dalam hatinya, Geya benar-benar merasa bersalah. Sebab, telah menyembunyikan banyak rahasia dari gadis itu.

“Udah, ah, jangan mellow gitu. Udah mau pelajarannya Pak Dodi. Bukannya bahas tentang sejarah, malah nangis. Kan, enggak lucu,” seloroh Flora yang membuat Geya tersenyum kecil.

“Masih mending, daripada belajar sejarah malah teringat masa lalu,” sambung Geya. Lantas, keduanya tertawa bersama. Menertawakan perbincangan yang sama sekali tidak memiliki bobot penting.

“Oh, iya, ini air mineral kamu, Ge. Kayaknya udah enggak dingin gara-gara tadi kita sibuk ngobrol.”

Geya mengambil botol air mineral itu dari tangan Flora, kemudian mengucapkan terima kasih. “Harganya berapa? Tadi belum aku titipin uang, kan?”

Flora menggeleng perlahan. “Enggak perlu. Ambil aja. Hitung-hitung, hari ini aku lagi baik dan beliin kamu air mineral gratis.”

“Baik banget. Jangan-jangan ada maunya, ya?” tuduh Geya.

Flora tertawa. “Tahu-tahu aja kamu, Ge. Ada kafe yang baru buka. Hari ini, mereka adain promo dalam rangka grand opening. Kita mampir ke sana, yuk?”

Sebetulnya, Geya malas jika sudah berhubungan dengan promo. Sebab, itu artinya dirinya harus siap mengantre pada barisan yang begitu panjang. Namun, jika yang mengajak adalah Flora, maka Geya tidak mempunyai kesempatan untuk menolak. Menolak pun percuma, karena setelah itu tentu Flora akan membujuknya dengan seribu rayuan manis.

“Boleh aja.”

Dua kata yang dilontarkan oleh Geya berhasil membuat Flora tersenyum lebar. “Yeay, makasih, Geya!” ujarnya kemudian memeluk Geya singkat.

◀ ▶

3 Januari 2023
1.115 kata

Geya, Ditya, dan Rahasia Semesta [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang