Bagian 14

14 5 0
                                    

Selamat Membaca!

◀ ▶

Alasan Geya seharian ini tidak fokus saat pelajaran ialah karena mengingat perdebatannya dengan Hartawan kemarin malam. Dari perdebatan itu, dugaan Geya terkait Hartawan yang mempunyai masalah pribadi dengan klub tari atau mungkin oknum di dalam klub tersebut semakin kuat.

“Kamu enggak ada bedanya sama mama kamu, Geya! Sama-sama keras kepala mempertahankan klub sialan itu."

Kalimat itu terus mengiang di pikiran Geya. Geya tidak tahu, apakah dia salah menangkap kalimat atau tidak. Akan tetapi, Geya sangat yakin bahwa indra pendengarannya masih berfungsi dengan baik dan tidak bermasalah. Sehingga, kecil kemungkinan bila gadis itu salah mendengar.

Namun, jika benar begitu, apa itu berarti dulu mamanya ialah seorang anggota klub tari? Tapi, kenapa dia tidak pernah tahu? Seingatnya, mama bahkan papanya tidak pernah menyinggung hal tersebut. 

“Ge, nanti jadi kerja kelompoknya di rumah kamu, kan?” tanya flora pada Geya yang tengah membereskan buku serta peralatan tulisnya.

Kelas sudah berakhir beberapa menit yang lalu. Teman-temannya juga telah beranjak pulang. Di dalam kelas, hanya tersisa dirinya, Geya, dan beberapa teman yang juga sama seperti Geya, tengah membereskan buku.

“Jadi, kok, Flo,” jawab Geya.

“Oke, Geya. Eh, tapi, kata si Arfina, nanti dia enggak bisa ikutan kerja kelompok di rumah kamu, soalnya dia mau jagain mamanya yang lagi sakit. Palingan nanti kita bagi tugas aja, Arfina dapat bagian kesimpulan dan buat template powerpoint. Gimana menurut kamu, Ge?” saran Flora.

Geya baru tahu bila mama Arfina sedang sakit. Pantas saja, beberapa hari ini, saat pulang sekolah, Arfina terlihat terburu-buru keluar kelas. Mungkin, dia ingin menjaga mamanya yang tengah sakit.

Geya menganggukkan kepalanya mendengar saran flora. Saran yang tidak begitu buruk. “Aku boleh-boleh aja, Flo. Yang penting, Arfina dapat bagian dan dia paham sama materinya.”

“Siap, Ge. Nanti bakal aku sampaikan ke Arfina. Kalau gitu, aku pulang duluan, ya. Mau mandi, terus makan siang dulu. Baru habis itu aku ke rumah kamu, ya,”  ujar Flora, lalu berpamitan kepada Geya dan beberapa temannya yang tersisa di kelas.

“Hati-hati, Flo!” seru Geya. 

Tak lama setelah Flora pulang, Geya pun bergegas untuk pulang.

Memakan waktu sekitar 30 menit untuk Geya tiba di rumah. Gadis itu mendudukkan tubuhnya di kursi teras guna melepas sepatu dan kaus kaki, kemudian mengambil kunci rumah dari saku rok lipitnya untuk membuka pintu.

Setelah menutup pintu kembali, Geya melempar ransel ke atas sofa, lantas turut merebahkan tubuh di samping ranselnya. Geya memejamkan matanya, guna menghilangkan rasa lelah setelah bersekolah.

Baru saja Geya berniat untuk mengistirahatkan diri, namun seketika terdengar suara yang mengacaukan niatnya. Suara ketukan pada pintu utama rumahnya membuat Geya mau tak mau kembali membuka mata. Dengan bermalas-malasan, Geya bangkit dari sofa, berjalan untuk menggapai pintu.

Gadis itu mendengkus ketika melihat wajah Ditya terpampang kala pintu terbuka. Untuk apalagi Ditya kemari? Sungguh. Untuk saat ini, Geya sedang tidak memiliki hasrat untuk berdebat ataupun bercekcok dengan lelaki itu.

“Geya, ini ada titipan makanan dari Papa kamu,” ujar Ditya seraya menyerahkan sebuah kantong plastik berwarna merah kepada Geya.

Tanpa membuka kantong tersebut, Geya sudah dapat mencium aroma wangi dari makanan itu, membuat cacing-cacing di perutnya seketika berlomba meminta untuk diisi.

Geya menerima kantong plastik itu dengan tangannya, menatap ke dalam kantong dengan malas. Bukannya mengucapkan terima kasih, gadis itu malah melemparkan beberapa pertanyaan sarkas kepada Ditya. Lebih tepatnya, ditujukan untuk Hartawan yang menitipkan makanan.

“Kenapa bukan dia yang antarin langsung? Kenapa harus pakai acara nitip segala?” omel gadis itu.

Ditya tersenyum kecil, lantas menjawab, “Sepertinya, Papa lagi—ehh, maksud saya, Papa kamu sedang sibuk. Tadi dia juga buru-buru saat pulang ke rumah. Jadi, dia menitipkan makanan itu kepada saya. Meskipun tidak diantar langsung oleh Papa kamu, makanannya jangan lupa dimakan, ya.”

Geya sedikit aneh ketika Ditya menyebut Hartawan dengan sebutan “Papa kamu” yang merujuk kepada Geya. Padahal, Hartawan juga papanya, bukan? Lantas, kenapa Ditya begitu kaku ketika memanggil sebutan tersebut terutama di depan Geya?

“Iya, makasih,” jawab Geya tak berselera.

“Kalau begitu, saya pamit dulu,” ujar Ditya beranjak pergi. Namun, sebelum lelaki itu berjalan jauh, Geya terlebih dahulu mencegatnya.

“Eh, tunggu dulu,” cegat Geya, “Ada yang mau gue tanyain.”

Ditya berbalik badan, kembali berdiri di dekat Geya, memperhatikan gadis itu lama dan bertanya. “Kenapa, Geya?”

Sementara itu, Geya mendadak ragu dengan apa yang hendak dia pertanyakan. Geya dihantui dengan kebimbangan, apakah keputusannya bertanya kepada Ditya adalah keputusan yang tepat. Apakah lelaki itu mengetahui jawabannya.

Akan tetapi, Geya rasa, tidak ada salahnya mencoba untuk mencaritahu perihal masalah tersebut lewat Ditya. Semoga saja, Ditya mengetahui jawaban atas pertanyaannya.

“Geya?” Ditya mengernyit. Mengapa gadis itu mendadak diam saja? Ditya melambai-lambaikan tangannya di hadapan Geya, membuat Geya segera tersadar dari lamunan yang berisi peperangan batinnya.

“Eh, sorry,” ujar Geya refleks.

“Jadi, apa yang kamu tanyakan, Geya?”

“Ditya, apa lo tahu alasan kenapa bokap gue sebenci itu gue gabung ke klub tari?” tanya Geya dengan perlahan.

Ditya tampak terkejut dengan pertanyaan Geya. Beruntungnya, dia dengan segera menetralkan kembali ekspresi wajahnya. “Saya enggak tahu, Geya. Mungkin, Papa kamu hanya tidak ingin fokus sekolah kamu terganggu karena kamu mengikuti klub tersebut,” jawabnya.

“Kalau gitu, kenapa bokap enggak ngelarang lo ikut klub basket? Kenapa bokap enggak benci sama klub basket? Bukannya itu sama aja bisa ngeganggu fokus sekolah lo?” tanya Geya lagi. “Gue yakin, itu cuma alasan ke sekian, kenapa bokap sebegitu bencinya gue masuk klub tari. Dan, gue mohon, kalau lo emang tahu alasannya, kasi tahu gue. Jangan biarin gue kayak orang bodoh yang enggak tahu apa-apa, Ditya.”

Setelah penjelasan panjang lebar itu, Ditya tetap pada jawabannya. “Kalau itu, saya enggak tahu, Geya. Saya pamit dulu. Ada urusan yang harus saya kerjakan.”

Geya hanya terdiam menatap punggung Ditya yang semakin menjauh darinya.

Geya menghela napas, kemudian undur diri dari pintu. Gadis itu berjalan masuk ke dapur, meletakkan makanan yang diantarkan oleh Ditya tadi.

Geya mencengkeram erat ujung-ujung meja. Merasa bingung dengan semua hal mengenai hidupnya.

Seketika, gadis itu teringat dengan gelagat Ditya saat dirinya melontarkan pertanyaan terkait klub tari. Kenapa Ditya terkesan terkejut atas pertanyaan itu? Padahal harusnya, lelaki itu bersikap biasa saja.

Dari cara Ditya menyampaikan jawaban juga, lelaki itu terkesan ragu. Dalam artian, seperti memperhatikan betul setiap kalimat yang dia lontarkan.

Apa jangan-jangan ada yang disembunyikan oleh Ditya darinya? Atau, mungkin, Ditya mengetahui sesuatu mengenai pertanyaannya dan memilih untuk menyembunyikan perihal masalah tersebut?

Jikalau memang benar begitu, lantas alasan apa yang mendasari semua tindakan Ditya tersebut?

◀ ▶

7 Januari 2023
1.045 kata

Geya, Ditya, dan Rahasia Semesta [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang