Bagian 42

14 4 0
                                    

Selamat Membaca!

◀ ▶

Ditya baru saja selesai mandi saat suara ketukan pintu kosan terdengar. Dengan sebelah tangan yang memegang handuk guna mengeringkan rambut, lelaki itu berjalan menuju ruang tamu. Mendapati Geya yang saat ingin tengah berdiri di dekat jendela dan mengintip keluar lewat celah tirai yang gadis itu buka.

“Geya, kamu ngapain di situ?” tanya Ditya yang sepertinya sedikit mengejutkan Geya. Terbukti dari gestur gadis itu yang tersontak keci karenanya.

Geya meletakkan jari telunjuk di bibir, memberikan kode agar Ditya tidak mengeluarkan suaranya dengan keras. Setelah itu, Geya berjalan menghampiri Ditya.

“Kenapa bokap sama nyokap lo bisa ada di depan kosan? Mereka tahu dari mana kosan ini?” tanya Geya dengan sedikit berbisik.

Ditya menghentikan pergerakan tangannya yang mengusap rambut dengan handuk, kemudian melihat Geya dengan lekat. “Saya yang kasi tahu alamat kosan ke mereka, Geya.”

Mendengar jawaban dari Ditya, Geya membelalakkan mata. Sebelum Geya menyemprotkan kemarahannya, Ditya terlebih dahulu bersuara.

“Kamu tenang saja, mereka datang ke sini pasti hanya untuk melihat kondisi saya. Saya jamin, mereka enggak akan mengusik kamu, Geya,” jelas Ditya.

Sebenarnya, pada awalnya, lelaki itu juga sedikit ragu untuk memberitahukan perihal alamat kos-kosan Geya—tempatnya tinggal sekarang—kepada Calista. Akan tetapi, Ditya terpaksa memberitahu hal tersebut daripada Calista semakin khawatir.

Ditya meletakkan mangkuk yang sudah kosong ke atas meja di sebelah ranjang Calista, kemudian mengambil satu strip obat.

“Ma, sekarang Mama makan obat dulu, ya, biar cepat sembuh,” ujar Ditya lalu menyerahkan satu butir obat kepada Calista.

Wanita itu segera mengambil obat dari tangan Ditya, juga segelas air, lalu memasukkan obat tersebut ke dalam mulut. Dibantu dengan air, dalam sekali tegukan, obat tersebut telah mengalir masuk melalui kerongkongan wanita itu.

Ditya menerima gelas dari Calista, kemudian membantu Calista untuk membetulkan posisinya menjadi setengah berbaring, bersandar menggunakan bantal dan guling yang ditumpuk satu.

“Sekarang, Mama istirahat, ya,” ujar Ditya kemudian bangkit dari kursi yang lelaki itu gunakan tadi.

“Kamu mau ke mana, Sayang?” tanya Calista yang membuat pergerakan Ditya terhenti.

“Ditya mau taruh ini ke belakang, Ma. Sekalian Ditya mau pamit pulang,” ungkap Ditya.

Calista yang mendengar pernyataan Ditya, terkejut. “Pulang? Ini bukannya rumah kamu, Ditya?”

“Maksud Ditya, ke kosannya Geya, Ma.”

Raut wajah Calista kembali berubah menjadi sendu saat putranya akan kembali meninggalkan dirinya. “Kenapa kamu enggak mau di sini? Kamu masih marah sama Mama, Sayang?” tanya Calista lirih.

Ditya dengan cepat menggeleng. “Enggak, ma. Ditya udah enggak marah sama Mama. Kalau Ditya  masih marah sama Mama, mungkin Ditya enggak bakal mau ke sini nemuin Mama.”

“Lalu, kenapa kamu masih mau pergi?”

Ditya menghela napas, lalu tersenyum kecil. “Ditya masih butuh waktu untuk berdamai dengan semua ini, Ma. Mama tahu, kan? Hal ini enggak mudah untuk Ditya,” ujar Ditya secara perlahan, takut bila ada perkataannya yang menyinggung wanita yang sedang sakit itu. “Tapi, Ditya janji. Setelah Ditua udah baikan, Ditya bakal pulang ke sini. Sekalian, Ditya nemenin Geya di kosan. Ditya takut Geya ngerasa kesepian. Bukannya dari dulu, Mama selalu pesan ke Ditya untuk jagain Geya?”

Geya, Ditya, dan Rahasia Semesta [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang