Selamat Membaca!
◀ ▶
“Ditya, soal yang kemarin, itu cuma dare doang. Gue enggak senarsis itu buat ngajakin lo foto, kok. Apalagi di depan kafe gitu. Gue masih punya malu kali. Kalau bukan karena tantangan dan sifat sportif, gue enggak bakal minta foto sama lo,” ujar Geya panjang lebar, berusaha meluruskan hal yang bisa menjadi kesalahpahaman antara dirinya dan Ditya.
Sebenarnya, itu bukan hal yang besar. Namun, Geya tidak ingin karena hal sepele itu, Ditya malah kegeeran dan menganggap dirinya sebagai salah satu penggemar dari laki-laki itu.
“Fotonya nanti bakal gue hapus, kok. Lo tenang aja. Gue juga enggak berniat buat nyimpen foto itu. Gue—”
“Udah cukup penjelasannya?” potong Ditya yang membuat Geya seketika menjadi kicep.
Sedikit memalingkan wajah dari Ditya yang saat ini fokus menyetir mobil, Geya merutuki kebodohannya. Kenapa Geya menjadi banyak bicara seperti tadi? Ditya tentu akan menganggapnya banyak omong. Itu hal yang lebih memalukan dibanding meminta foto bersama Ditya di kafe kemarin.
Lagi pula, untuk apa Geya harus repot-repot menjelaskan mengenai hal tersebut? Seharusnya, Geya bersikap biasa saja, seolah tidak ada sesuatu hal yang terjadi. Ditya juga tidak terlihat sebagai tipikal laki-laki yang mudah menaikkan intensitas percaya diri.
Cara Geya menjelaskan kepada Ditya tadi terkesan seperti seorang pacar yang keciduk berselingkuh. Mengeluarkan semua kata-kata penjelasan hanya untuk meminimalisir kesalahpahaman.
Benar-benar memalukan.
Geya mengetuk-ngetukkan jarinya ke kepala, berusaha untuk meluruskan kembali aliran saraf di kepala yang sepertinya sedikit konslet.
“Kamu kenapa mengetuk kepala kamu seperti itu?” tanya Ditya.
Secepat mungkin, Geya berusaha membetulkan posisi duduk dan bersikap biasa saja. “Enggak kenapa-napa,” jawabnya.
“Soal kemarin, kamu tenang saja. Saya tidak masalah. Saya juga tidak menganggap kamu narsis mengajak saya berfoto. Jadi, simpan saja semua penjelasan kamu,“ tutur Ditya. “Kamu juga tidak perlu repot-repot menghapus foto tersebut. Anggap saja, itu kenang-kenangan.”
Mendengar itu, Geya berdecih. “Siapa juga yang mau punya kenang-kenangan sama lo?”
Ditya tertawa kecil. “Kenapa kamu secepat itu berubah?”
“Berubah apanya?”
“Tadi kamu bersikap seperti pacar yang terciduk selingkuh, berkata panjang lebar untuk menjelaskan kepada saya. Sekarang kamu bersikap ketus seperti itu.”
Geya memejamkan mata. Ternyata, bukan hanya dirinya. Ditya juga berpendapat serupa bila tingkah Geya tadi khas seperti pacar yang berselingkuh.
“Enggak lucu,” balas Geya singkat. “Ngomong-ngomong kita mau ke mana, sih? Mana bawa mainan banyak banget lagi.”
Geya melirik ke bagian belakang mobil. Terdapat dua kantong besar berisikan beraneka ragam mainan yang entah sejak kapan berada di sana. Yang jelas, saat Geya berniat untuk duduk di belakang, barang-barang tersebut telah menghalangi niatan Geya. Alhasil, Geya duduk berdampingan dengan Ditya saat ini.
Alih-alih menjawab pertanyaan Geya dan membayar rasa penasaran gadis itu, Ditya malah mengeluarkan sebuah pernyataan yang membuat kepala Geya hendak meledak. “Nanti juga kamu bakalan tahu.”
Jadi, apa laki-laki di sampingnya sekarang sedang ingin mengajaknya bermain sebuah teka-teki?
Guna menghilangkan rasa kesal yang siap meledak di kepala, Geya memutuskan untuk melihat ke luar jendela mobil. Sepertinya, pemandangan di luar sana lebih menarik untuk dipandang dibanding melihat wajah Ditya yang mengesalkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Geya, Ditya, dan Rahasia Semesta [ Completed ✔ ]
أدب المراهقينBlurb : Di tengah ancaman klub tari yang akan diberhentikan sementara, Geya Gistara sebagai ketua klub berusaha mempertahankan eksistensi klub tersebut. Meski Geya tahu bahwa seberusaha apa pun dia mempertahankan klub, akan ada dua orang yang selalu...