Bagian 15

17 5 0
                                    

Selamat Membaca!

◀ ▶

Geya baru saja mengambil piring dari lemari kaca, saat suara ketukan pada pintu rumahnya kembali terdengar. Tak lama setelah itu, suara teriakan yang memanggil namanya dilantunkan. Itu suara Flora.

"Iya, tunggu sebentar, Flo," balas Geya, kemudian meletakkan piring, bergegas menuju ruang tamu untuk membuka pintu.

"Hua, akhirnya sampai juga aku. Enggak nyasar ternyata," kata Flora sembari berjalan masuk.

Meskipun telah cukup lama berteman, namun nyatanya, ini kali pertama Flora datang berkunjung ke rumah Geya. Biasanya, mereka mengerjakan tugas bersama di kafe atau rumah Flora yang lebih dekat dengan sekolahan dulu.

"Udah aku bilang enggak bakal nyasar kamu, Flo. Rumahku bukan di pedalaman yang susah dijangkau," seloroh Geya.

"Ngomong-ngomong, kamu udah makan belum?" tanya Geya, berjalan ke dapur, guna melanjutkan aktivitasnya yang tertunda tadi.

"Udah, dong. Aku tadi buru-buru makan sama mandi, takut kamu lama nungguin. Eh, ternyata, kamunya belum makan. Ini akunya yang kecepetan atau kamunya yang lambat, ya?" ledek Flora yang membuat Geya geleng-geleng kepala.

"Kamunya yang kecepetan. Lagian, aku juga enggak ngejar kamu untuk cepat-cepat datang, kok."

Flora hanya terkekeh kecil mendengar perkataan Geya. Geya benar, gadis itu memang tidak mendesak Flora untuk datang cepat. Ini semua murni keinginan Flora.

"Ya, kan aku datang cepet, biar selesai ngerjain tugas juga cepet. Lalu, kita bisa gosip setelahnya. Kayaknya, udah lama kita enggak gosip. Apalagi, setelah semingguan ini dipusingkan sama masalah klub," ujar Flora yang membuat Geya dalam hati menyetujui.

Flora benar. Semenjak mereka dipusingkan oleh masalah yang menimpa klub, mereka berdua jadi jarang membahas hal-hal di luar masalah tersebut.

"Emangnya kamu mau ngajakin aku gosip apa?" tanya Geya penasaran.

"Ada, deh. Cie, kepo, yaa. Kamu makan dulu, gih. Yang cepet. Biar waktu gosipnya panjang."

Geya hanya mengiyakan kalimat Flora. Memilih untuk mengisi energinya terlebih dahulu, sebelum diajak berbincang banyak oleh Flora.

Meskipun tampak kalem di luar, namun Flora adalah tipikal teman yang banyak bicara. Alhasil, Geya menjadi sedikit ketularan.

"Oh, iya, Ge. Tadi pas aku datang, kayaknya aku ngelihat Kak Ditya. Dia kayak jalan dari seberang sini. Emangnya tadi Kak Ditya ke sini, ya?"

Pertanyaan Flora sontak membuat Geya tersedak. Buru-buru gadis itu meraih gelas dan mengambil air dari dispenser. Setelah merasa lega, Geya kembali duduk di kursinya. Sementara itu, Flora menatapnya penuh keheranan.

"Kamu kenapa, Ge? Kok pas aku bahas soal Kak Ditya, kamu langsung tersedak kayak gitu? Ada masalah?"

Geya menggelengkan kepala. "Enggak pa-pa. Cuma kaget aja, tiba-tiba kamu bahas soal dia."

"Jadi, tadi Kak Ditya beneran habis dari rumah kamu, ya?" tanya Flora lagi.

"Enggak, Flo."

"Oh, kirain dia ke sini."

"Kalau dia ke sini, emangnya ada apa?" Kini, giliran Geya bertanya.

"Ya, enggak pa-pa, sih. Cuma kalau Kak Ditya habis dari sini artinya hubungan kamu dan Kak Ditya sebagai tetangga itu berlangsung dengan baik."

Geya hanya manggut-manggut mendengar ucapan Flora. Gadis itu dengan segera menghabiskan nasi goreng yang tadi diantar oleh Ditya, lantas meletakkan piring bekas makan ke bak cuci piring. Setelahnya, Geya menghampiri Flora.

"Mau kerjakan tugas di mana, Flo?" tanya Geya.

"Di mana aja, aku ngikut tuan rumah, deh."

"Di ruang tamu aja kali, ya. Kamu duluan aja ke ruang tamu, aku mau ambil laptop sama buku dulu di kamar," perintah Geya yang diangguki oleh Flora.

Seraya menunggu Geya yang mengambil laptop, Flora memilih untuk menjelajahi isi ruang tamu Geya.

Ada empat sofa yang mengelilingi sebuah meja berbentuk segi empat di tengah. Sebuah jam antik tua yang ada di sudut ruang tamu, lengkap dengan lemari berbahan serupa. Yang menarik perhatian Flora adalah sebuah bingkai besar yang digantung di dinding dan beberapa bingkai foto kecil lainnya yang ada di atas lemari.

Sejauh Flora menjelajahi foto-foto itu, ada yang Flora pertanyakan di dalam benaknya.

"Flo, ayo mulai kerja," ujar Geya yang membuat Flora membalikkan tubuh. "Kamu lagi lihat apa?" tanya Geya.

"Ini, lagi lihat-lihat foto keluarga kamu. Kenapa enggak ada foto mendiang Mama kamu di sini? Yang ada, cuma foto kamu sama Papa kamu," ujar Flora melontarkan semua kebingungan itu.

"Oh, itu. Papa emang sengaja enggak taruh foto Mama di situ. Katanya, takut keingat terus dan sedih," jawab Geya yang membuat Flora manggut-manggut.

"Oh, gitu ...."

Geya hanya tersenyum tipis. Sejujurnya, untuk jawaban itu Geya hanya mengarang bebas. Sebab, Geya sendiri tidak tahu pasti alasan kenapa Hartawan melenyapkan semua foto Risa dari ruang tamu. Sejak kepergian Risa, yang tersisa di ruang tamu hanya foto-foto Hartawan dan Geya. Bahkan, Geya pernah mengintip masuk ke dalam kamar Hartawan dan foto itu juga lenyap dari sana.

Dan, sekarang, Geya baru terpikir. Kenapa hal itu terjadi? Kenapa Hartawan melenyapkan semua foto-foto Risa? Apa alasannya memang seperti apa yang dilontarkan oleh Geya tadi atau ... ada hal lain yang membuat Hartawan berbuat demikian?

"By the way, Ge. Muka kamu sama Papa kamu beda banget, ya. Enggak ada mirip-miripnya," celetuk Flora seketika.

Geya mengernyitkan kening. "Masa, sih?"

Flora menganggukkan kepala mantap. "Iya. Lihat aja, tuh," ujarnya kemudian menunjuk ke salah satu bingkai foto yang terletak di atas lemari. "Dari mata aja udah beda. Mata Papa kamu agak bulat, sementara kamu agak sipit. Hidung Papa kamu mancung, sementara kamu agak masuk ke dalam. Bentuk bibir juga. Kalau dilihat-lihat, enggak ada kemiripan sama sekali antara kamu sama Papa kamu."

Geya turut memperhatikan bentuk mata, hidung, dan bibir antara Hartawan dengan dirinya. Seperti apa yang dikatakan oleh Flora, memang tidak ada persamaan di antara bagian-bagian tersebut. Kenapa Geya baru menyadari hal tersebut? Sepertinya, selama ini Geya tidak pernah memperhatikan jelas wajahnya dengan sang papa, sehingga dia tidak mendapati perbedaan-perbedaan itu.

"Apa jangan-jangan kamu bukan anak kandung Papa kamu, Ge? Makanya, muka kamu enggak ada miripnya sama Papa," seloroh Flora.

Sementara itu, Geya hanya terdiam. Menyimak kalimat yang baru saja dilontarkan oleh Flora.

"Udah, ah, Geya. Kenapa jadi bahas soal muka kamu sama Papa kamu, sih. Kalau kayak gini caranya, kapan kita mulai kerjakan tugasnya," ujar Flora, meraih buku yang ada di tangan Geya, kemudian duduk melantai, menempel pada ubin.

"Ayo, Ge. Mulai kerjakan. Waktu kita enggak banyak, nih."

"Iya, Flora," ucap Geya, lantas ikut duduk di sebelah Flora.

"Jadi, materinya dari halaman 110 sampai 115, ya?" tanya Flora menyibak halaman buku paket. Merasa tidak mendapatkan balasan jawaban dari Geya, Flora menoleh, mendapati Geya yang kini tengah melamun.

"Ge? Kenapa ngelamun?" tanya Flora menyadarkan Geya. Namun, Geya masih tetap pada lamunannya.

Pikirannya melayang pada kalimat Flora tadi.

"Apa jangan-jangan kamu bukan anak kandung Papa kamu, Ge?

◀ ▶

8 Januari 2023
1.060 kata

Geya, Ditya, dan Rahasia Semesta [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang