Bagian 44

10 4 0
                                    

Selamat Membaca!

◀ ▶

“Sini, biar saya bantu,” ucap Ditya seraya mengambil alih koper dari genggaman Geya, membantu gadis itu meletakkan koper ke bagian bagasi mobil.

Sebelum itu, keduanya telah menemui Ibu pemilik kos-kosan, membayar biaya kosan untuk bulan tersebut, sekaligus berpamitan.

Setelah memasukkan koper Geya, Ditya menutup kembali pintu bagasi. Lelaki itu menatap heran Geya yang kini tengah terpaku di tempat dengan tatapan lurus ke depan.

Ditya melambaikan tangan ke hadapan Geya dan menjentikkan jari, namun tidak mendapat respons. Mau tak mau, Ditya menyentuh bahu Geya hingga gadis itu sedikit tersentak.

“Kamu mikirin apa, Geya?” tanya Ditya yang dibalas dengan gelengan kepala oleh Geya.

“Enggak mikirin apa-apa,” jawabnya berbohong. Sebab, jauh di dalam pikirannya, Geya sedang bimbang.

Apakah keputusannya untuk kembali ke kediaman Hartawan adalah keputusan yang tepat? Bagaimana jika nantinya Hartawan akan menyesal menerimanya kembali ke rumah dan justru mengusirnya lagi? Geya rasa, dia tidak akan cukup kuat untuk menerima kalimat berkonotasi pengusiran untuk yang kedua kalinya.

“Geya ....”

“Gue enggak pa-pa. Ayo, masuk ke mobil,” ujar Geya, kemudian membuka pintu dan masuk ke dalam.

Tak lama setelahnya, Ditya juga ikut masuk. Lelaki itu menatap Geya cukup lama seolah mempertanyakan keanehan di diri Geya.

“Ada yang kamu sembunyiin?“ tanya Ditya.

“Enggak. Udah buruan jalan,” jawab Geya, kemudian memalingkan wajahnya keluar jendela. Sementara itu, Ditya mulai menyalakan mesin mobil dan menjalankannya.

•••

“Rumah lagi direnovasi, ya?” gumam Geya saat keluar dari mobil, melihat ke rumahnya yang ada di seberang. Ada beberapa orang yang tengah mengecat tembok bagian luar menggunakan tangga yang terbuat dari kayu. Sementara, beberapa orang lainnya tengah berlalu-lalang dari pintu utama.

“Ngelihatin apa?” tanya Ditya menurunkan koper dari dalam bagasi. Lelaki itu mengikuti arah pandang Geya dan tersenyum kecil. “Sepertinya, Papa sedang perubahan warna.“

Geya melirik Ditya dari sudut matanya. “Bukannya perubahan warna, tapi emang catnya udah pada luntur. Wajar kalau dicat lagi,” ujar Geya. Tangannya terulur untuk meraih pegangan koper, namun dengan cepat Ditya meraihnya.

“Biar saya yang bawakan, Geya. Kamu masuk aja,” kata lelaki itu, lalu mengambil alih koper Geya.

Geya mengedikkan bahu, lantas memilih untuk berjalan masuk tanpa membawa apa-apa di tangannya, selain ransel yang bergelantung di bahu.

“Eh, Ditya, Geya, udah sampai, Sayang?”

Suara lembut Calista menyapa Geya dan Ditya ketika masuk ke dalam. Ditya meletakkan koper di tepi sofa, kemudian menyalami tangan Calista, bergiliran dengan Geya.

“Kalian duduk dulu, ya. Kamarnya lagi disiapin bentar,” ujar Calista turut duduk di sofa yang berukuran lebih panjang.

“Jadi, aku juga tinggal di sini, Tan?“ tanya Geya yang dibalas dengan senyuman oleh Calista.

“Iya, Geya. Soalnya, rumah kamu sedang direnovasi sedikit. Jadi, untuk beberapa saat, kita semua tinggal di sini dulu. Setelah itu, kita baru pindah ke sana,” jawab Calista.

“Kita? Berarti setelah rumah direnovasi selesai, Om, Tante, dan Ditya juga ikut tinggal di sana?” Geya bertanya lagi.

“Eits, mulai sekarang, jangan panggil Om sama Tante lagi, ya. Karena sekarang kamu udah setuju untuk tinggal di sini, panggilnya Papa dan Mama aja, ya,” ungkap Calista yang membuat Geya mengernyit.

Geya, Ditya, dan Rahasia Semesta [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang