Bagian 38

11 4 0
                                    

Selamat Membaca!

◀ ▶

"Kalau benar kamu ingin balas dendam, saya enggak nyangka kamu seperti itu, Geya."

Geya tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Ditya. Kenapa lelaki itu malah menganggapnya ingin membalaskan dendam?

"Lo gila? Ngapain gue balas dendam sama lo? Lo pikir, gue orang kayak gimana?" seru Geya tidak terima. "Kalaupun gue mau balas dendam, udah dari dulu kali, Ditya," lanjutnya.

"Lo tahu? Gue terima ini semua karena nyokap lo. Nyokap lo sakit dan dia enggak mau makan kalau lo enggak pulang, Ditya. Lo pikir, gue tega untuk enggak ngebantu dia untuk bawa anaknya balik?"

Ditya menatap tajam Geya. "Dia bukan Mama saya, Geya."

Geya menghela napas kasar. "Iya, dia emang bukan nyokap kandung lo. Tapi, setidaknya lo bisa hargai dia yang udah ngerawat lo dari kecil dengan penuh kasih sayang. Lo enggak mikir, seberapa kacaunya dia pas lo tiba-tiba pergi dari rumah dan enggak balik-balik?"

Napas Geya memburu setelah menyelesaikan beberapa baris kalimat dengan penuh emosi.

"Kacau? Lalu, kamu anggap saya gimana? Saya enggak kacau? Setelah saya tahu orang yang selama ini saya banggakan sebagai wanita yang telah melahirkan saya ternyata hanya orang asing yang mengadopsi saya dari panti asuhan? Parahnya lagi, saya anak yang dengan sengaja dibuang ke panti asuhan. Kamu lupa dengan kata-kata Bu Laksmi kemarin? Bahkan, untuk mencari keberadaan saya saja, mereka enggak, Geya!"

Geya memejamkan matanya. Baru kali ini, sepanjang sejarah hidupnya, Ditya berbicara panjang lebar dengan intonasi yang sedikit tinggi. Bahkan, mata lelaki itu penuh dengan kilatan emosi.

Ternyata, selama ini Geya salah menganggap Ditya kurang bisa mengekspresikan amarahnya. Sebab, pada kenyataannya, caranya meluapkan emosi terkesan lebih menyeramkan jika dibandingkan dengan orang biasa.

"Gue tahu, lo juga kacau, Ditya. Tapi, setidaknya, lo bisa turunin ego lo untuk nemuin dia dan mastiin dia baik-baik aja."

"Kalau kamu ada di posisi saya, apa kamu juga akan melakukan hal yang sama, Geya?" tanya Ditya yang membuat Geya tertohok. "Apa kamu juga akan menurunkan ego kamu?"

Gadis itu bergeming, tidak menjawab sepatah kata pun untuk pertanyaan Ditya. Sebab, itu pertanyaan yang cukup berat.

Jika dirinya ada di posisi Ditya, Geya sendiri ragu bila dia bisa menurunkan sedikit egonya untuk memperhatikan keadaan orang lain. Tapi, mungkin, akan ada pengecualian pada beberapa kondisi yang Geya sendiri tidak bisa memastikan hal tersebut.

"Ditya, lo mau ke mana?" Geya bersuara ketika melihat Ditya meraih hoodie hitamnya yang tergeletak di tangan kursi dan kunci motor.

Ditya melirik kepada Geya sejenak, sebelum mengembuskan napas. "Saya mau pergi. Kamu enggak perlu khawatirin saya. Saya bakal baik-baik saja."

Lidah gadis itu mendadak terasa kelu, hingga untuk mengeluarkan sebaris kalimat guna menahan kepergian Ditya saja dia tidak bisa. Kakinya tertahan di tempat, seperti ada yang menahan dari bawah.

Yang bisa Geya lakukan hanyalah menatap punggung Ditya yang perlahan menjauh lantas hilang dari pandangannya.

•••

Geya benar-benar cemas. Langit sudah berubah menjadi gelap, namun Ditya masih belum menunjukkan tanda-tanda hendak balik ke sini. Padahal, sedari tadi, Geya sudah duduk di teras, merelakan waktunya untuk menunggu kepulangan Ditya. Belum lagi, Geya harus rela digigit oleh puluhan nyamuk yang mengincar darahnya di luar.

Pasti Ditya marah besar dengan Geya, karena telah lancang mencampuri urusannya. Geya tidak menyalahkan Ditya yang bersikap seperti itu. Sebab, gadis itu tahu, ini semua adalah salahnya. Jika saja Geya tidak mudah luluh dan mengiyakan permintaan Hartawan, maka mungkin ini semua tidak akan terjadi. Ditya tidak akan pergi-entah ke mana-lalu tidak kunjung pulang seperti ini.

Di satu sisi, Geya mengkhawatirkan laki-laki itu. Namun, di sisi lain, Geya bertanya kepada dirinya sendiri. Kenapa dia jadi sebegitu mengkhawatirkan Ditya? Padahal, hubungannya dengan Ditya sejak dulu tidak pernah sedekat ini.

Apa karena dia merasa bila kehidupannya dengan Ditya tidak berbeda jauh, lantas timbul perasaan empati di hati Geya?

Perut Geya mendadak mengeluarkan suara. Sepertinya, cacing di perutnya mulai protes karena Geya tidak memberinya nutrisi. Soto yang dibeli Ditya tadi siang tidak dia habiskan. Alhasil, soto yang masih tersisa setengah tersebut harus terbuang secara sia-sia. Tangannya terulur untuk menyentuh perut. Rasa lapar benar-benar menguasai tubuhnya sekarang.

Geya mengembuskan napasnya perlahan. Dibanding menunggu Ditya-yang entah kapan akan pulang-di sini, Geya memilih untuk masuk ke dalam dan memasak sesuatu untuk dia makan malam ini. Barangkali, juga untuk Ditya, jika lelaki itu masih berniat pulang ke sini.

Geya mengambil beberapa bahan masakan, seperti wortel, dan kentang dari dalam kulkas. Membuat sup kentang wortel adalah hal termudah yang bisa Geya buat malam ini.

Saat menemukan kosan ini, Geya sedikit beruntung, mengingat kosan sudah dilengkapi dengan sebuah kulkas satu pintu yang mempermudah pekerjaan.

Setelah mencuci kentang dan wortel dengan air mengalir, Geya mengambil sebilah pisau dari tempatnya, lalu mulai mengarahkannya pada kentang untuk mengupas permukaan kulit kentang tersebut. Begitu pun dengan wortel.

"Awh," ringis Geya ketika pisau tersebut mengenai jarinya saat hendak memotong wortel. Rasa sakit seketika menjalar dari jari gadis itu.

Geya membeku seraya melihat darah yang terus menetes dari jarinya. Ini kali pertama gadis itu terluka hingga berdarah, hingga Geya tidak tahu harus berbuat apa, selain menangis.

"Geya!"

Mendengar suara tersebut, Geya berbalik badan, mendapati Ditya yang kini berada tak jauh darinya.

"Ditya, lo pulang?"

Tidak ada jawaban yang terlontar dari mulut Ditya. Lelaki itu mendekati Geya, lantas melihat jari Geya yang terluka. Buru-buru Ditya mengambil tisu dan menekan permukaan jari yang terluka agar semua darah menetes keluar.

"Ahh, sakit, Ditya. Jangan ditekan," lirih Geya. Namun, Ditya tidak memedulikan lirihan gadis itu.

Setelah beberapa saat, Ditya menarik lengan Geya menuju bak cuci piring, membuka kran air, lantas memosisikan tangan Geya di bawah air mengalir tersebut. Dengan telaten, Ditya membersihkan bagian jari Geya yang terluka.

Sementara itu, sesekali Geya mengeluarkan ringisan. Selebihnya, gadis itu fokus menatap wajah Ditya yang terhitung dekat dengannya sekarang. Wajah Ditya terlihat begitu serius. Kerutan di keningnya tercipta dengan jelas.

Ditya kembali mematikan kran air, kemudian melihat Geya yang kini tengah menatapnya. Seperti orang yang ketahuan mencuri, buru-buru Geya memalingkan wajah.

"Kamu ada plester?" tanya Ditya yang dibalas dengan gelengan kepala oleh Geya.

"Kalau gitu, kamu tunggu sebentar. Saya pergi beli."

Belum sempat Ditya beranjak pergi, tangan Geya telah terlebih dahulu menahannya. "Enggak perlu. Gue baik-baik aja," ujarnya dengan intonasi yang rendah.

"Tapi, luka-"

"Gue kira, lo enggak bakal pulang ke sini lagi. Gue cemas daritadi mikirin lo. Gue takut lo enggak tahu mau tidur di mana malam ini," lanjut Geya memberanikan diri menatap Ditya.

"Gue pikir lo benar-benar marah sama gue sampai lo pergi dari sini dan enggak mau liat gue lagi."

"Gue takut, Ditya ...."

◀ ▶

26 Januari 2023
1.073 kata

Geya, Ditya, dan Rahasia Semesta [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang