Bagian 40

18 5 0
                                    

Selamat Membaca!

◀ ▶

Setelah melewati masa-masa berbincang dari dalam hati, kini Geya dan Ditya tengah duduk di ruang tamu. Keduanya saling sibuk untuk berdiam diri. Padahal, ada yang hendak disampaikan oleh mereka berdua.

Geya menatap Ditya yang duduk di sebelahnya. Pandangan lelaki itu lurus ke depan. Cukup lama keduanya hening, hingga Geya berniat untuk mengeluarkan suara.

“Ditya.”

“Geya.”

Tanpa Geya duga, Ditya juga mengeluarkan suara di saat yang bersamaan dengannya.

“Lo duluan aja ngomongnya.”

“Kamu duluan.”

Lagi, untuk kedua kalinya, keduanya melontarkan kalimat di waktu yang bersamaan.

Ladies first, Geya,” ujar Ditya yang langsung dibalas dengan gelengan kepala oleh Geya.

“Lo duluan. Laki-laki terlahir untuk jadi pemimpin di depan, jadi lo duluan aja,” tutur gadis itu.

Mau tak mau, Ditya mengalah dari perdebatan itu. Sebab, jika tidak, Ditya tidak yakin perdebatan antara siapa yang hendak berbicara terlebih dahulu tidak akan selesai.

“Saya minta maaf, Geya,” ungkap Ditya sembari mengunci manik mata Geya di dalam tatapannya. “Harusnya, saya enggak marah sama kamu dan pergi ninggalin kamu gitu aja. Saya—"

“Enggak,” sela Geya cepat. “Lo enggak salah. Lo enggak seharusnya minta maaf. Yang harusnya minta maaf itu gue.”

Geya menarik napasnya panjang, sebelum kembali melanjutkan kalimatnya. “Enggak seharusnya gue ikut campur ke dalam urusan lo. Ya, seperti yang lo bilang tadi, kalau gue aja bisa marah pas lo ikut campur masalah gue, lalu kenapa gue malah berbuat seperti itu sama lo? Gue berasa nelan ludah sendiri tahu, nggak?”

“Iya, mungkin bisa dibilang begitu,” ujar Ditya menimpali. “Saya akui, kamu egois, Geya. Tapi, setelah saya pikir-pikir lagi, saya rasa apa yang kamu katakana tadi siang itu benar. Harusnya, saya bisa sedikit menurunkan ego saya, terlebih pada Mama saya. Ya, walaupun dia bukan mama kandung saya yang telah bertaruh nyawa demi melahirkan saya, namun hubungan kami bisa dibilang lebih dekat dibanding dengan mama kandung saya. Bahkan, saya ragu kalau mama saya yang asli masih mengetahui bahwa saya masih bernapas.”

Geya sedikit tertegun dengan paragraf panjang yang baru saja dilontarkan oleh Ditya. Hanya dalam beberapa jam, kenapa Ditya berubah pikiran dan malah menyetujui apa yang telah dirinya sampaikan? Secepat itukah lelaki itu berubah pikiran?

Sebenarnya, apa yang Ditya alami saat dia pergi tadi? Geya menjadi sedikit khawatir terhadap lelaki itu. Apa Ditya baru saja mengalami kecelakaan hingga kepalanya terbentur? Jika iya, namun Geya tidak menemukan sedikit pun lecet di tubuh lelaki itu.

Geya hendak bertanya, apa yang mendorong Ditya untuk berubah pikiran. Sayangnya, Geya terpaksa harus mengurungkan niatnya. Sebab, ini bukan saat yang tepat. Ditya masih memasuki mode seriusnya saat berbicara, sehingga Geya tidak tega untuk menyelanya.

“Mungkin, awalnya saya kecewa dengan Mama saya karena dia udah menyembunyikan hal sebesar ini kepada saya. Tapi, saya percaya, ada alasan di balik pertanyaan ‘kenapa’. Dan, rasanya, enggak seharusnya saya kabur dari rumah untuk menghindar dari semua kekecewaan saya,” sambung Ditya.

Setelah Ditya diam untuk beberapa saat, Geya kemudian menyambung perbincangan lelaki itu. “Ditya, gue boleh tanya?”

“Kenapa, Geya?”

Geya, Ditya, dan Rahasia Semesta [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang