Bagian 6

19 6 0
                                    

Selamat Membaca!

◀ ▶

“Muka kamu kenapa kusut banget hari ini, Ge? Ada apa? Kamu kurang tidur?”

Geya baru mendaratkan tubuh di kursi saat Flora datang menghampirinya dan memberikan sebuah pertanyaan.

“Iya, Flo. Semalam aku kurang tidur kayaknya.”

“Kenapa, Ge? Pasti kamu mikirin masalah klub tari, ya?“ tebak Flora yang kini duduk di kursi kosong sebelah Geya.

Sebenarnya, pada awalnya Geya dan Flora duduk bersama. Namun, karena wali kelas mereka mengatur ulang tempat duduk, akhirnya Flora dipindahkan untuk duduk di baris pertama, sedangkan Geya tetap di posisi awal—di barisan tengah—sendirian.

Geya menggeleng kecil. Meski hal tersebut juga termasuk ke dalam hal yang dikhawatirkan olehnya, tetapi bukan itu penyebab utama Geya kekurangan tidur, melainkan karena rindu.

Tadi malam Geya habiskan untuk meluapkan semua rasa rindunya kepada sang mama dengan menangis, hingga gadis itu ketiduran dengan posisi kepala yang tertukar dengan posisi kaki.

Sudah lama rasanya, Geya tidak mengeluarkan air mata. Bahkan, barangkali, matanya sudah akan mengering karena tidak mendapatkan cairan dari air mata. Dan, semalam, akhirnya dia menangis juga.

Rasanya begitu lega, ketika Geya meluruhkan semua bebannya. Meski pada keesokan harinya, dia sedikit merasa menyesal, karena terbangun dengan keadaan yang tidak segar akibat jam tidur yang kurang. Bahkan, Geya nyaris terlambat jika jam beker miliknya tidak menjalankan tugas dengan baik untuk membangunkannya.

“Lalu, kenapa bisa kurang tidur? Pasti kamu lagi banyak pikiran,” ujar Flora lagi.

“Ya, begitulah, Flo,” ujar Geya sekenanya. Gadis itu lalu melipat kedua tangan di atas meja dan menjadikan lipatan tangan itu sebagai alas untuk tidur.

Jika saja Geya adalah tipikal murid pemalas yang hobi membolos sekolah, maka sudah dapat dipastikan dirinya tidak akan berada di sekolah saat ini. Mungkin, dia akan lebih memilih untuk melanjutkan tidurnya hingga siang—atau setidaknya sampai energi gadis itu terisi kembali—dan bergelung di bawah selimut yang menghangatkan.

Sayangnya, Geya tidak seperti itu. Geya adalah kebalikannya. Tipikal murid baik-baik yang tidak rela mencontreng lembar kehadirannya dengan sekali absen saja.

“Ngomong-ngomong, Ge. Kemarin aku udah coba chat anak-anak kelas dan ajak mereka untuk gabung ke klub tari. Tapi, lewat chat pribadi, sih. Soalnya, kalau chat di grup, tahu sendiri mereka hobi cuma nge-read doang,” ujar Flora tiba-tiba yang berhasil membangkitkan gairah Geya untuk berbicara.

Gadis itu bahkan tidak lagi posisi tidurannya, duduk tegak dengan posisi menghadap ke arah Flora.

“Lalu, gimana respons mereka?”

Sejujurnya, Geya sendiri belum ada menghubungi satu pun anak kelas untuk mengajak mereka bergabung ke dalam klub. Pikirannya kemarin terlalu penuh untuk memikirkan hal lain.

“Ya, gitu, deh. Mereka enggak ada yang berminat buat gabung ke klub tari. Kamu tahu sendiri, anak-anak kelas kita itu rada malas. Jangankan untuk ikut klub, disuruh ikut bimbel tambahan aja malas-malasan. Keseringan bolos dibanding masuk,” keluh Flora.

Untungnya, kelas masih dalam keadaan sepi sekarang, sehingga tidak akan ada banyak orang yang mendengar sekaligus tersindur akan kalimat Flora barusan. Meski pada kenyataannya memang begitu dan Geya mengakuinya.

“Aku pusing sama kelas ini. Berasa kelas mati tahu, enggak?” lanjut Flora yang sepertinya menyesal berada di kelas X IPA 2 ini, kelas yang dia tempati sekarang.

“Enggak gitu juga, Flo. Masih banyak anak-anak yang aktif, kok. Seperti Ben, Chris, Ela, Velia ....”

“Ya, tapi mereka yang rajin itu udah pada gabung ke klub lain, Ge. Ben gabung ke klub basket, Chris futsal, Ela sama Velia kemarin baru masuk ke klub cheers. Sedangkan, kamu tahu peraturan di sekolah, masing-masing murid cuma bisa gabung satu klub,” timpal Flora.

Geya mengangguk paham. Peraturan di sekolahnya memang ketat, terlebih mengenai ekstrakurikuler yang bisa diikuti oleh setiap murid. Sekolah membatasi setiap murid hanya bisa mengikuti satu ekstrakurikuler, dengan alasan supaya mereka bisa fokus pada satu bidang saja. Alasan lain, jika mereka mengikuti lebih dari satu ekstrakurikuler, maka dikhawatirkan pendidikan mereka akan terganggu.

“Tenang aja, Flo. Pasti bisa, kok. Kalau enggak dari kelas kita, mungkin bisa dari kelas lain. Yuk, semangat!” kata Geya menyemangati, seraya menepuk bahu Flora.

Flora tersenyum lantas menganggukkan kepala. “Iya, kita harus semangat. Demi mempertahankan eksistensi klub tari kesayangan kita semua!” serunya.

Geya tertawa kecil melihat semangat itu. “Nah, gitu, dong. Ini baru anak tari. Semangatnya tinggi,” ucap Geya.

Gadis itu lantas memperhatikan teman-teman sekelas yang mulai berdatangan. “Kayaknya udah mau masuk, Flo, bagus kamu kembali ke tempat duduk. Sebelum Bu Galak datang.”

Bu Galak adalah julukan khusus dari anak kelas mereka untuk Bu Nurma, guru matematika peminatan yang terkenal akan galaknya.

“Oke, Geya. Sampai jumpa nanti istirahat!“

“Siap, Flo.”

Flora kembali ke tempat duduknya, bertepatan dengan bunyi bel masuk sekolah serta kedatangan Bu Nurma. Benar-benar guru yang mengedepankan kedisiplinan waktu dalam mengajar.

Setelah ketua kelas memberikan aba-aba, seisi kelas X IPA 2 berdiri dan mengucapkan salam kepada Bu Nurma. Mereka kembali duduk setelah dipersilakan dan selanjutnya memasuki masa tegang mengingat hari ini adalah jadwalnya kuis.

Sementara itu, di kursinya, pikiran Geya tengah dipadatkan oleh sesuatu hal. Ini bukan perihal kuis matematika yang rutin dilaksanakan setiap dua minggu sekali, melainkan mengenai ucapannya kepada Flora tadi.

Bagaimana bisa dia memberikan semangat dan optimisme kepada Flora terkait klub tari? Padahal, dia sendiri tidak yakin dengan hal tersebut. Terlebih, karena gadis itu tahu apa rintangan terbesar yang harus dirinya dan klub hadapi di depan.

Seorang Ditya.

Geya tidak bisa berpikir, bagaimana seandainya Flora dan semua anggota klub tari mengetahui alasan di balik semua hal yang menimpa klub kesayangan mereka itu. Bagaimana jika mereka tahu bahwa ini semua disebabkan oleh kehadiran Geya?

Seandainya saja, Geya tidak bergabung ke dalam klub ini. Seandainya saja, Geya tidak mengiyakan permintaan Kak Raya—mantan ketua klub tari sebelumnya—untuk menjadi ketua klub saat itu. Mungkin, klub tidak akan mendapatkan masalah. Yang terpenting, tidak akan terancam diberhentikan eksistensinya.

“Sebelum kuis dimulai, Ibu beri waktu 10 menit untuk kembali mempelajari materi minggu lalu. Pergunakan waktu dengan baik. Bukan untuk ngomong dengan teman kiri-kanan.”

Mendengar itu, Geya membuka halaman buku paket pada materi minggu lalu, bersikap seolah dirinya tengah memahami materi. Padahal, otaknya sedang bekerja keras untuk hal lain.

Geya memperhatikan gerak-gerik Bu Nurma. Saat Bu Nurma fokus dengan bacaan yang ada di tangannya, Geya memundurkan sedikit tubuh, guna meraih ponsel yang ada di laci meja. Gadis itu membuka aplikasi Whatsapp dan mencari nama Flora di kolom pencarian.

To : Flora
Flo, kabari anak-anak, nanti sepulang sekolah kita ngumpul di kafe dekat sekolah.

Send.

Geya tidak langsung mematikan ponsel, menunggu balasan dari Flora. Tak lama setelah itu, ponselnya—yang sengaja di-silent—bergetar.

From : Flora
Oke, Geya.

Setelahnya, dia meletakkan kembali ponsel dan benar-benar fokus pada materi yang akan diujikan saat kuis.

◀ ▶

31 Desember 2022
1.074 kata

Geya, Ditya, dan Rahasia Semesta [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang