Bagian 33

10 4 0
                                    

Selamat Membaca!

◀ ▶

“Di … Ditya, gue enggak salah denger, kan?”

“Iya, Ge. Apa yang kamu dengar itu tidak salah.  Semuanya benar. Saya enggak memiliki hubungan darah sama sekali dengan kedua orangtua saya.”

Jawaban Ditya membuat Geya kehilangan akal untuk berbicara lagi. Setelah rahasia mengenai kehidupannya yang baru saja terbongkar, mengapa sekarang Ditya ikut terseret ke dalam permainan semesta?

Untuk saat ini, kenapa Geya merasa semesta mempunyai sejuta permainan yang dia sendiri tidak mengerti alurnya? Apa memang semesta sejahat itu membolak-balikkan kehidupan seseorang?

“Lalu, gimana respons nyokap lo?” tanya Geya.

Ditya terdiam sejenak, sebelum menggeleng kecil.

No response?”

Lagi, Ditya menggeleng. “Saya enggak berikan kesempatan untuk Mama menjelaskan.”

“Kenapa gitu? Kalau lo enggak kasi nyokap lo kesempatan untuk ngejelasin, gimana lo bisa tahu semuanya?”

“Semuanya percuma, Geya. Tanpa penjelasan, saya sudah bisa tahu semuanya. Lagi pula, ada atau tidaknya penjelasan itu, semuanya sama aja. Enggak akan mengubah fakta bahwa saya hanya seorang anak adopsi,” tutur Ditya yang membuat Geya menghela napas.

Gadis itu pasrah. Di saat seperti ini, tidak ada gunanya berdebat dengan Ditya. Suasana hati lelaki itu sedang tidak baik dan berdebat dengannya hanya akan memperburuk suasana hati Ditya.

“Sekarang, lebih baik lo pulang, Ditya. Lo tenangin diri lo terlebih dahulu. Besok masih harus sekolah,” ujar Geya.

Ditya mengacak rambutnya. “Kamu pikir, dengan saya pulang ke rumah, saya bisa tenang? Yang ada, pikiran saya semakin penuh, Geya.”

“Jadi, lo maunya gimana sekarang? Tidur di emperan toko?” tanya Geya ketus.

Sesaat kemudian, tatapannya dengan Ditya menyatu. Geya memiringkan sedikit kepala, merasa ada sesuatu yang aneh yang akan dilontarkan oleh Ditya.

“Untuk sementara waktu, saya menginap di sini dulu, boleh?”

Geya membelalakkan matanya terkejut. “APA?! Lo gila, ya?”

“Saya mohon, Geya. Hanya beberapa hari sampai saya bisa menenangkan diri.”

“Enggak, enggak. Enggak boleh. Nanti kalau pemilik kos atau orang lain tahu lo tinggal di sini, bisa-bisa dikira kumpul kebo. Gue enggak mau!” tukas Geya dengan tegas.

“Saya mohon, Geya. Saya benar-benar enggak punya opsi lain lagi. Lagi pula, kalau ada yang memergoki kita tinggal berdua, kita tinggal bilang kalau kita saudara. Gampang, kan?”

“Gampang-gampang mulut lo! Ngomong mah gampang,” ujar Geya kesal. Kenapa lelaki itu dengan santai menganggap semua ini hal yang mudah?

“Ya sudah. Kalau kamu enggak mengizinkan saya tinggal di sini, saya pamit pergi.” Ditya lalu beranjak dari kursi. Meraih ponsel yang tergeletak di atas meja.

“Eh, Ditya. Lo mau ke mana?” cegat Geya.

“Pergi, Geya.”

“Lo mau tidur di mana nanti?”

“Kamu peduli dengan saya?”

Geya memejamkan mata seraya merutuki kebodohan dirinya. Untuk apa lagi dia menanyakan hal tersebut? Jika memang Ditya hendak pergi, seharusnya Geya senang. Itu artinya dia tidak perlu pusing-pusing memikirkan masalah lelaki itu.

Geya, Ditya, dan Rahasia Semesta [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang