Bagian 37

12 4 0
                                    

Selamat Membaca!

◀ ▶

“Geya.”

Suara itu ... mau tak mau, Geya memutar tubuhnya. Kembali bertatapan dengan seorang pria yang pernah dia panggil dengan sebutan yang begitu akrab. Papa.

“Om ngapain di sini?” Lidah Geya terasa sedikit kelu, ketika mengubah panggilan tersebut. Akan tetapi, Geya harus mengubah panggilannya, bukan? Sebab, pria di hadapannya sekarang ini sudah jelas bukan tidak memiliki hubungan darah dengan Geya yang membuat gadis itu harus tetap mempertahankan panggilan lamanya.

Sepertinya, tidak hanya Geya yang aneh dengan panggilan tersebut. Hartawan pun juga demikian. Semua keanehan tersebut terlihat dari raut wajah pria berusia 40an tahun itu.

“Saya ke sini untuk mencari Ditya. Tapi, kata wali kelasnya, Ditya sudah tidak masuk selama dua hari terakhir. Dan, Ditya menitipkan perizinannya kepada kamu? Itu artinya kamu tahu di mana keberadaan Ditya sekarang?”

Geya merasa sedikit muak. Hartawan langsung menanyakan mengenai Ditya, tanpa sedikit pun berbasa-basi kepada Geya. Bahkan, menanyakan kabar Geya saja pria itu tidak melakukannya. Atau, mungkin, enggan untuk melakukan hal tersebut. Tapi, memangnya ada yang salah dengan berbasa-basi seperti itu?

“Sebelumnya, saya minta maaf. Tapi, saya rasa, saya enggak ada kewajiban untuk menjawab semua itu. Saya permisi,” jawab Geya, lantas berniat untuk pergi. Akan tetapi, kalimat Hartawan berikutnya membuat kedua kaki gadis itu tertahan di tempat.

“Saya minta maaf, Geya. Saya minta maaf kalau kata-kata saya waktu itu melukai hati kamu. Tapi, saya mohon, tolong beri tahu saya, di mana posisi Ditya sekarang,” ujar Hartawan terdengar sedikit memelas. Jelas, ini bukanlah intonasi yang sering Geya dengar dulunya.

Sebelum Geya menyela, Hartawan kembali menyuarakan kalimatnya. “Calista sedang sakit di rumah. Dia tidak mau makan, kalau Ditya tidak pulang ke rumah. Awalnya, saya pikir, semarah-marahnya Ditya, dia tidak akan pergi dari rumah. Tapi, rupanya saya salah. Saya sudah mencoba menghubungi Ditya, tapi ponselnya benar-benar tidak bisa dihubungi.”

Geya protes di dalam hati. Pantas saja, Hartawan mendadak berbicara begitu lembut padanya. Ternyata, pria itu membutuhkan bantuannya.

“Saya mohon, kalau kamu tahu keberadaan Ditya, kasi tahu saya. Atau, jika kamu masih marah dengan saya, ajak Ditya pulang, setidaknya demi Calista. Saya mohon, Geya.”

Dan, dari semua mengenai dirinya, Geya paling benci dengan dia yang mudah luluh. Geya benci dirinya yang penuh dengan empati sehingga tidak bisa mendengarkan permohonan dari seseorang. Geya benci dirinya yang sekarang, ketika kepalanya bergerak naik-turun, mengiyakan semua perkataan Hartawan.

“Iya, saya tahu di mana keberadaan Ditya. Tapi, saya enggak bisa kasi tahu itu sekarang. Ditya pasti marah. Saya juga enggak bisa janji bisa ajak Ditya pulang. Saya perlu bicarakan hal ini ke Ditya terlebih dahulu—”

Belum sempat Geya menyelesaikan kalimatnya, gadis itu dibuat terkejut dengan kedua tangan Hartawan yang menyentuh bahunya. “Saya percaya, kamu bisa menolong saya, Geya. Saya benar-benar berhutang terima kasih kepada kamu. Setelah Ditya pulang, saya akan mengabulkan semua permintaan kamu, Geya.“

Semua permintaan? Geya tersenyum kecil. “Kalau saya minta Anda mengembalikan Mama saya ke sini, apa Anda bisa?”

•••

Setelah bertemu dengan Hartawan dan mengiyakan permintaan pria itu, Geya menjadi gusar. Gadis itu beberapa kali berdiri, kemudian terduduk lagi di kursi panjang yang ada di dalam ruangan tari. Hatinya gundah gulana sekarang.

Geya, Ditya, dan Rahasia Semesta [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang