Bagian 41

16 4 0
                                    

Selamat Membaca!

◀ ▶

“Ma.”

Suara Ditya terdengar lirih bercampur getar ketika pintu kamar Calista terbuka. Calista tengah duduk di tepian ranjang. Wajah wanita itu terlihat pucat, lengkap dengan mata sembabnya kala menoleh ke sumber suara; Ditya.

Setelahnya, senyum lebar mengembang di wajah Calista ketika menyadari siapa yang baru saja memanggilnya. “Ditya?”

Ditya melangkah mendekat dan langsung memeluk Calista yang mulai menangis.

“Ditya, Mama pikir, kamu enggak mau ketemu sama Mama lagi. Mama pikir, kamu enggak akan pulang lagi ke sini,“ ujar Calista di tengah-tengah isak tangisnya. Tangannya bergetar, mengusap punggung putranya dengan lembut. Meluapkan semua rasa rindu yang menggebu di hati.

Ditya mengurai pelukannya sejenak, lantas menatap kedua bola mata Calista. “Kata siapa Ditya enggak akan pulang lagi? Kata siapa Ditya enggak mau ketemu sama Mama lagi?”

“Kamu marah sama Mama, Sayang. Mama cuma takut—”

“Mama enggak perlu takut. Ditya sekarang di sini. Ya?” ungkap lelaki itu kemudian kembali memeluk Calista dengan tangis yang semakin pecah.

Dan, semua itu tidak luput dari pandangan Geya yang saat ini berdiri di ambang pintu kamar.

Di sebelahnya, ada Hartawan yang juga tertahan di depan kamar. Barangkali, merasa tidak enak jika harus mengganggu waktu keduanya, Ditya dan Calista.

Geya mengangkat kaki, lantas beranjak pergi dari sana. Memilih memberikan waktu juga ruang khusus bagi Ditya untuk berbincang dengan mamanya.

Geya melangkah keluar, tepatnya ke ruang tamu dan duduk di sofa empuk yang ada di sana. Menenggelamkan diri di dalam kebisingan isi pikiran.

Melihat interaksi antara Calista dan Ditya benar-benar membuatnya rindu dengan mendiang mamanya.

Helaan napas terdengar dari Geya. Benar-benar kondisi yang tidak mudah.

Geya memilih untuk keluar dari pikiran yang menjenuhkan itu, mengeluarkan ponsel dan menggulir media sosial. Cukup lama Geya tenggelam di dalam postingan demi postingan tersebut, hingga Geya merasa terusik dengan bayangan seseorang yang duduk di seberangnya.

Itu Hartawan. Entah ada tujuan apa pria itu duduk di sana. Tapi, Geya mengabaikannya. Lagi pula, ini rumah Hartawan. Tidak ada salahnya jika Hartawan hendak duduk di mana pun.

Geya kembali fokus pada layar ponsel, sebelum suara bariton khas milik Hartawan terdengar memanggil namanya.

“Geya.”

Geya mendongakkan kepala, melihat ke arah Hartawan. Sedikit mengernyitkan kening. “Iya?”

Cukup lama Hartawan hening, sebelum suaranya kembali terdengar. “Saya minta maaf.“

Menanggapi permintaan maaf tersebut, Geya hanya tersenyum kecil. “Om sudah meminta maaf kemarin saat kita bertemu, jadi saya rasa, enggak perlu lagi,” ujar Geya berusaha untuk netral.

“Saya tahu, tapi permintaan maaf waktu itu terkesan terburu-buru. Maka dari itu, saya ingin mengulang permintaan maaf tersebut,” timpal Hartawan.

“Oke. Saya maafin,“ balas Geya singkat. Berharap agar Hartawan tidak melanjutkan permintaan maafnya yang akan berujung pada topik yang semakin melebar. Dan, Geya masih tidak terbiasa untuk pembahasan panjang tersebut.

Akan tetapi, sepertinya Hartawan masih mempunyai banyak hal untuk disampaikan. Terbukti dari pria itu yang kembali melanjutkan kalimatnya, meski Geya terlihat tidak tertarik dengan topik tersebut.

Geya, Ditya, dan Rahasia Semesta [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang