Bagian 1

76 18 19
                                    

Selamat Membaca!

◀ ▶

Cuaca hari ini tidak begitu bagus, mendongkrak setiap energi tidak baik di dalam tubuh untuk ke luar.

Terik matahari sedari tadi masih menguasai bumi. Padahal, ini sudah menunjukkan pukul 3 sore. Bahkan, pendingin ruangan di dalam pun rasanya sudah tidak berguna sama sekali, meski mereka telah bekerja ekstra.

Namun, cuaca yang panas bukanlah penghalang untuk melakukan suatu pekerjaan. Terlebih, apabila pekerjaan tersebut dilaksanakan di dalam ruangan. Seperti apa yang tengah dilakukan oleh anak-anak klub tari saat ini. Di dalam ruangan petak yang tak begitu luas, dan dengan cuaca yang begitu panas di luar, mereka tetap melaksanakan agenda mingguan, yakni latihan tari.

Meski dialiri dengan peluh yang sesekali berjatuhan menimpa lantai, tubuh mereka masih aktif untuk bergerak, mengikuti irama dari iringan lagu yang terputar dari sebuah speaker bluetooth.

Jumlah mereka tidak lebih dari 15 orang-mungkin, lebih sedikit dibanding jumlah anggota klub lainnya-, akan tetapi, kobaran api semangat tak pernah meredam dari setiap mereka.

Latihan tari dilaksanakan setiap satu kali dalam seminggu. Tepatnya, pada hari Jumat, pukul 1 siang, hingga selesai. Memang sengaja, tidak dijadwalkan waktu selesai secara tepat. Karena, mereka akan berlatih sesuka hati mereka, dan berhenti ketika lelah sudah menguasai sekujur tubuh. Bila saja di dunia ini tidak mengenal kata 'lelah', boleh jadi, mereka tidak akan berhenti berlatih.

Dengan tak mengenal gender, setiap insan yang mencantumkan seni tari sebagai opsi ekstrakurikuler yang akan mereka ikuti di awal masuk sekolah tersebut mempunyai kecintaan yang teramat pada ekstrakurikuler yang satu ini. Itu adalah alasan kenapa hari latihan selalu penuh oleh anggota, kecuali mereka yang izin sakit.

Mereka menganggap hari latihan sebagai hari di mana mereka bisa meluapkan berbagai emosi mereka ke dalam bentuk tarian. Termasuk bagi Geya, sang ketua klub sendiri.

Baginya, tari adalah cara lain untuk mengekspresikan diri. Dibanding bernyanyi, melukis, atau hal lainnya, dia lebih jatuh cinta dengan yang namanya menari. Tari dan dirinya adalah 2 hal yang benar-benar tak terpisahkan.

Atas dasar itulah, ketika namanya disarankan untuk menjadi ketua klub dari seni tari, tanpa berpikir panjang, dia menerima. Saat pelantikan ketua klub, dia berjanji kepada dirinya dan juga anggota untuk mendedikasikan waktu demi mengembangkan klub seni tari.

"Oke, Gais. Latihannya dijeda dulu, ya. Kita istirahat," seru Geya, seraya mematikan lagu yang terputar dari ponselnya. Tidak lupa, Geya juga mematikan speaker bluetooth demi menghemat energi.

Seiring dengan berhentinya iringan lagu yang menjadi pedoman mereka ketika berlatih, anggota klub tari berhenti bergerak. Sebagian langsung meluruhkan tubuh ke lantai untuk meregangkan kaki. Sebagiannya lagi, masih setia berdiri.

"Geyaaa, kenapa tiba-tiba dimatiin? Geya enggak lihat eike lagi on power latihannya? Enggak seru, ah!" kesal Dean. Lelaki dengan tubuh sedikit gempal itu melipat kedua tangan di atas dada sebagai bentuk protesnya terhadap sang ketua.

Di antara sekian banyak laki-laki yang lebih tertarik dengan dunia bola, atau game online, maka ada dua laki-laki di klub tari yang menjadi pengecualian untuk itu. Mereka adalah Dean dan Shaga. Dua kaum adam yang sedari awal mengincar menjadi anggota klub tari.

Sama seperti teman-teman yang lain, visi dan misi mereka bergabung ke dalam tari ialah sama. Sebab, mereka menjadikan tari sebagai bentuk pelarian dari lelahnya dunia persekolahan, atau mungkin kejamnya dunia yang sesungguhnya.

Terutama, bagi Dean. Gaya bicaranya yang sedikit kemayu dan postur tubuhnya yang tidak ideal membuat dirinya banyak ditolak di mana-mana. Bahkan, banyak teman-teman sesama jenisnya yang kerap menghindar untuk berteman bersama Dean. Tak heran, bila Dean akan menjadi seorang yang begitu pendiam ketika di dalam kelas. Berbeda cerita, ketika dia berada di ruang latihan tari.

Iya, hanya orang-orang di klub tari yang menerimanya apa adanya dan senantiasa mendukungnya untuk tetap menjadi dirinya sendiri. Dean rasa, tidak ada kata yang bisa mendeskripsikan klub ini, selain TERBAIK.

"Istirahat bentar, Dean. Nanti juga kita lanjut lagi, kok," sela Flora, menepuk bahu Dean.

Dean melemaskan otot-otot bahunya, menghela napas, kemudian menganggukkan kepalanya. "Oke, deh. Tapi, istirahatnya jangan lama-lama, ya. Kalau lama, nanti eike mengamuk."

Geya yang tadinya berada di depan, berjalan menghampiri Dean dengan sedikit kekehan. Dia tahu, di antara semua anak tari, Dean adalah orang yang paling bersemangat untuk latihan. Ketika ditanya, alasannya pun sederhana.

"Eike ingin membakar kalori. Biar eike cepat kurusan dan sixpack, seperti Oppa-oppa yang suka diteriakin sama anak-anak di kelas. Hei, mereka pikir, cuma Oppa yang bisa ideal. Eike juga bisa kalik."

"Iya, Dean. Istirahatnya enggak lama. 15 menit aja, kayak biasa. Sekarang, kamu istirahat dulu. Nanti kecapekan, terus pingsan, aku sama Flora enggak mampu ngangkut kamu, ya," seloroh Geya yang membuat Dean berkacak pinggang.

"Angkut, angkut. Memangnya, Geya kira eike barang apaan pakai diangkut?" omelnya. "Eike mengamuk kepada Geya. Don't talk to me again!"

Setelah itu, Dean beranjak pergi dari posisinya. Langkah lelaki itu sedikit dihentakkan ke lantai, membuat Geya dan Flora geleng-geleng kepala.

"Hayoloh, Ge. Dean ngamuk, tuh. Enggak dibujuk?" ledek Flora. Padahal, Flora sudah tahu bahwa acara mengamuk Dean hanyalah sebuah bagian dari akting yang sering lelaki itu lakukan. Dia hanya ingin mengacau Geya, sang ketua klub.

"Enggak perlu dibujuk, tinggal diputarin lagu lagi, udah kembali nanti dia," balas Geya bisik-bisik keras kepada Flora. Sengaja untuk memancing keributan kepada Dean.

"GEYA! EIKE DENGAR, YA. AWAS AJA. EIKE ENGGAK MAU LATIHAN LAGI MINGGU DEPAN. POKOKNYA, INI LATIHAN TERAKHIR. BAI!"

"Eh, Dean. Jangan teriak-teriak. Ini bukan hutan," ujar Flora meletakkan jemarinya di atas bibir, memberikan kode kepada Dean agar tidak mengeluarkan suara keras. Seketika, Dean menjadi kicep. Takut-takut bila suara merdunya terdengar oleh guru atau staf Tata Usaha yang belum pulang. Bisa-bisa, dia akan diinterogasi karena telah mengeluarkan suara keras seperti itu.

Puas mengacau Dean, Geya dan Flora berjalan menuju kursi tempat mereka menaruh tas tadi. Flora mengeluarkan botol minum dari dalam tasnya, kemudian meneguk air yang tersisa setengah botol itu hingga habis. Sementara itu, Geya sibuk dengan ponsel yang ada di tangan.

"Ge, rencananya latihan hari ini sampai jam berapa?" tanya Flora.

Geya memalingkan wajahnya dari ponsel, kemudian melihat kepada Flora, sebelum melirik jam yang melingkar di tangan. "Jam setengah tiga aja kali, ya. Soalnya, tadi ada yang bilang mau pulang awal, ngejar deadline tugas. Aku juga capek banget rasanya hari ini. Jadi, sekalian aja diawalin pulangnya."

"Oke, deh, Ge."

Setelahnya, mereka kembali dengan aktivitas masing-masing. Hingga 15 menit berlalu, Geya meletakkan ponselnya kembali ke dalam tas. Bersiap mengarahkan anggota untuk kembali latihan. Namun, pintu ruangan yang didorong dari luar membuat Geya menunda suaranya keluar dari pita suara.

"Permisi," ujar orang yang baru saja masuk ke ruang latihan tari. Itu Rika, anggota bidang kerohanian.

"Halo, Rika. Ada yang bisa dibantu?" tanya Geya menyambut kedatangan Rika.

"Ini, Geya. Rika mau sampaikan pesan dari Kak Diego. Katanya, kamu diminta untuk ke ruang OSIS. Ada yang mau dibicarakan."

Kalimat Rika membuat Geya mengernyit heran. Tidak biasanya, Diego akan langsung mencarinya. Biasanya, dia akan menemui Sekretaris Bidang Minat dan Bakat, Ditya terlebih dahulu jika berkaitan dengan ekstrakurikuler.

Jadi, ada hal penting apa yang membuat Diego mencarinya?

◀▶

26 Desember 2022
1.139 kata

Geya, Ditya, dan Rahasia Semesta [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang