Bagian 19

12 5 0
                                    

Selamat Membaca!

◀ ▶

Ditya tidak tahu kenapa perasaannya mendadak tak karuan seperti ini. Seolah-olah ada hal buruk yang sedang terjadi, entah pada siapa. Akibatnya, laki-laki itu hanya bisa berjalan mondar-mandir di balkon kamarnya yang berada di lantai dua.

Meski suasana hatinya sedang tidak karuan, namun pandangan Ditya terkunci pada rumah yang ada di seberang. Rumah Geya. Ada mobil Hartawan yang terparkir di sana. Sepertinya, untuk malam ini, Hartawan akan beristirahat di rumah itu bersama Geya atau karena ada pekerjaan yang harus dia selesaikan.

Ditya sudah hafal jadwal kepulangan Hartawan. Hartawan akan pulang ke sini jika pekerjaannya di kantor telah selesai. Sebaliknya, Hartawan memilih tinggal di rumah yang satunya apabila dia harus menyelesaikan pekerjaan yang belum kelar.

Ditya tidak tahu apa alasan Hartawan seperti itu. Lelaki itu tidak pernah mempunyai niatan untuk menanyakan perihal masalah tersebut kepada Hartawan.

Hubungan keduanya tidak begitu dekat, meski juga tidak renggang. Sama seperti hubungan seorang ayah dengan anak laki-laki pada umumnya yang lebih mengedepankan tindakan dibanding pertanyaan-pertanyaan yang menunjukkan kepedulian.

"Geya?" Ditya membeo, tatkala melihat Geya yang membuka pintu utama rumahnya. Namun, yang membuat Ditya semakin terkejut adalah sebuah koper dan ransel kecil yang dipikul oleh Geya, khas seperti orang yang hendak pergi dari rumah.

Melihat itu, Ditya bergegas turun dari kamarnya, guna menghampiri Geya yang saat ini telah berjalan keluar dari gerbang rumahnya.

"Geya." Ditya menahan pergelangan tangan gadis itu, membuat Geya menoleh dan Ditya dapat melihat jelas jejak air mata yang turun dari sudut kanan mata Geya. "Kamu habis nangis?"

Geya segera memalingkan wajahnya dari Ditya. "Bukan urusan lo. Lepasin tangan gue," tukasnya.

Geya berusaha menyingkirkan tangan Ditya yang menghalangi pergerakannya.

Bukannya melepaskan, Ditya malah semakin mengeratkan pegangannya pada tangan Geya. "Saya enggak bakal lepasin, sampai kamu jawab pertanyaan saya. Kamu mau ke mana sampai bawa koper segala, Geya?"

"Udah gue bilang, bukan urusan lo, Ditya Gevariel!" hardik Geya, menatap Ditya tajam. "Sekarang, lebih baik lo lepasin gue. Gue mau pergi."

"Oke, saya lepasin. Tapi, kamu tunggu sebentar di sini. Oke?" pinta Ditya. Sebelum Geya sempat melontarkan sebuah protesan, Ditya terlebih dahulu berlari menjauh. Lebih tepatnya, berlari mengambil kunci mobil yang tersimpan di atas lemari kayu di ruang tamu.

"Ditya, kamu mau ke mana, Sayang?" tanya Calista yang melihat Ditya terburu-buru.

Tanpa menghentikan langkahnya, Ditya menjawab setengah berteriak. "Maaf, Ma, Ditya buru-buru.”

Ditya membuka pintu mobilnya, menghidupkan mesin, lantas menjalankannya. Laki-laki itu berhenti tepat di depan Geya, memberikan kode agar Geya masuk ke dalam mobilnya.

"Mau ngapain lo?"

"Kamu mau pergi, kan? Biar saya anterin," ujar Ditya. "Ayo, cepat masuk. Keburu hujan, Geya."

Dan, sepertinya, Geya tidak punya pilihan, selain turut masuk ke dalam mobil Ditya. Tanpa Geya sadari, Ditya menyunggingkan seutas senyum kecil.

Boleh jadi, ini adalah langkah yang baik untuk memperbaiki hubungannya yang tidak pernah baik dengan Geya.

•••

Canggung benar-benar menguasai seisi mobil. Baik Geya maupun Ditya, tidak ada satu pun yang mengeluarkan suara. Bahkan, sedari tadi, yang bisa Ditya lakukan hanya mengendarai mobilnya mengelilingi kota, tanpa tujuan. Sebab, Geya sendiri tidak memberitahu hendak ke mana gadis itu pergi.

Lampu lalu lintas berganti menjadi warna merah sepersekian detik sebelum mobil Ditya melintas, membuat Ditya memberhentikan mobilnya, menaati rambu-rambu yang ada.

"Lo sebenarnya udah semua, kan?"

Ditya menoleh kepada Geya. Mengernyitkan kening, tidak paham dengan apa yang dimaksud oleh Geya.

"Maksud kamu?"

Bukannya langsung menjawab, Geya malah tertawa sinis. "Enggak usah pura-pura bodoh. Gue tahu, lo sebenarnya udah tahu semua, kan? Tentang gue yang bukan anak kandung bokap gue. Iya, kan?"

"Jadi, kamu sudah tahu?"

Awalnya, mungkin Ditya sedikit terkejut ketika Geya menyuarakan hal tersebut. Namun, pada akhirnya, Ditya paham. Mungkin, semesta tidak bisa menyembunyikan rahasia ini lebih lama lagi dari Geya. Rasanya, sudah cukup, selama belasan tahun Geya hidup dalam rahasia-rahasia yang terbungkam oleh manusia.

"Pertanyaan lo mengindikasikan kalau lo udah tahu semuanya dari awal. Tapi, kenapa lo enggak pernah kasi tahu gue, Ditya? Kenapa lo biarin gue terus terjebak dalam hal ini selama belasan tahun?"

Ditya mendadak bingung harus menjawab apa. Terlebih dirinya tahu, bagaimana kacaunya Geya saat ini.

Ditya sendiri tidak mempunyai pilihan. Sejak laki-laki itu sudah cukup mengerti permasalahan yang terjadi dari cerita Calista, Ditya mempunyai keinginan yang kuat untuk membongkar masalah tersebut kepada Geya. Ditya tidak ingin Geya terus terjebak lebih lama, yang justru dapat membuat gadis itu semakin kecewa.

Namun, kembali lagi. Ditya tidak punya pilihan. Kata-kata Calista terus terngiang di pikirannya, setiap kali Ditya hendak menceritakannya kepada Geya.

"Kalau Geya tahu semua ini, Geya akan hancur, Ditya."

"Tapi, bukannya lama-kelamaan, Geya juga pasti akan tahu? Sehebat apa pun kita menyembunyikan rahasia ini, suatu saat pasti akan terbongkar, Ma."

"Iya, suatu saat mungkin semua ini akan terbongkar dan di detik itu, tidak ada yang menjamin Geya akan baik-baik saja. Tapi, enggak sekarang, Ditya."

"Kapan, Ma? Lagi pula, bukannya Geya berhak tahu, Ma?"

Mendengar itu, Calista tersenyum. "Suatu saat nanti, Geya pasti akan mengetahuinya, Ditya."

Mungkin, "suatu saat" yang dimaksud oleh Calista ialah sekarang. Ketika waktu itu tiba. Waktu di mana semuanya benar-benar terbongkar.

"Lo juga seorang anak, Ditya. Coba lo bayangin, gimana perasaan lo kalau lo jadi gue. Bertahun-tahun, bahkan belasan tahun lo hidup di suatu rumah, bersama dengan orang yang lo panggil dengan sebutan kehormatan bagi seorang ayah. Tapi, setelah belasan tahun, lo baru tahu bahwa selama ini lo hidup di dalam kehidupan yang penuh akan rahasia, yang bahkan, hanya lo yang enggak tahu rahasia itu."

Semakin lama, suara Geya terdengar semakin lirih. Ditya sedikit tidak suka mendengarnya. Ditya tidak suka Geya yang seperti ini. Jika bisa memilih, Ditya lebih memilih Geya dengan intonasi nada tinggi dan kalimat menusuknya. Jika bisa memilih, Ditya lebih suka Geya dengan emosi yang menggebu, dibanding Geya yang berusaha kehilangan emosinya seperti ini.

Di tahap ini, Ditya sadar bahwa untuk sekarang, Geya tidak lagi di fase kecewa. Melainkan, di fase kecewa paling dalam.

Alih-alih menjawab serangan dari Geya, Ditya memilih menjalankan mobilnya saat lampu hijau menyala. Namun, tak berselang lama, mobil tersebut berhenti di depan sebuah restoran dengan gaya klasik.

"Kenapa berhenti?" Geya bertanya.

Ditya melepaskan seatbelt miliknya, lantas menoleh kepada Geya. "Kita makan dulu. Saya tahu, kamu pasti belum makan. Iya, kan?"

"Tapi, gue enggak lapar."

"Mulut kamu bisa berbohong, tapi tidak dengan suara dari perut kamu, Geya," ujar Ditya yang membuat Geya seketika menyentuh permukaan perutnya yang ditutupi baju.

"Satu lagi, dalam aksi kabur dari rumah, setidaknya kamu harus memiliki tenaga, Geya. Jadi, sekarang kita isi dulu tenaga kamu."

◀ ▶

12 Januari 2023
1.073 kata

Geya, Ditya, dan Rahasia Semesta [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang