Bagian 16

15 5 0
                                    

Selamat Membaca!

◀ ▶

Setelah Flora pulang, Geya kemudian membereskan beberapa peralatan belajar yang tadi mereka gunakan—seperti laptop dan buku—dan berjalan masuk ke dalam kamar, merapikannya ke atas meja belajar. Selepas itu, barulah Geya bergegas berganti seragam sekolahnya, mengingat kehadiran Flora tadi membuatnya tidak sempat berganti pakaian.

Saat tengah berganti pakaian, perasaan Geya mendadak tidak karuan. Ada sesuatu hal yang begitu mengganjal di hatinya. Apakah benar seperti apa yang dikatakan oleh Flora, bila ada kemungkinan bahwa Geya bukan anak kandung dari Hartawan? Secara, dari segi fisik, mereka sangat berbeda jauh.

Geya buru-buru mengganti pakaiannya, saat timbul sebuah rencana di benaknya. Sepertinya, mencari tahu sesuatu di kamar Hartawan bukanlah masalah yang besar. Boleh jadi, ada hal-hal yang tidak Geya ketahui yang tersembunyi di kamar tersebut.

Sebelum menyelinap masuk ke kamar Hartawan, Geya terlebih dahulu mengecek jam, memastikan bila ini masih belum sampai pada jam-jam kepulangan Hartawan—kecuali, jika Hartawan pulang lebih awal—dan juga memastikan mobil milik pria itu belum ada di pekarangan rumahnya maupun rumah Ditya lewat jendela di ruang tamu.

Setelah dirasa aman, Geya lantas bergegas menuju kamar Hartawan, memutar knop pintu dengan berhati-hati dan masuk ke dalam. Tak lupa, pintu tersebut dia tutup kembali seperti semula.

Satu kata yang mendeskripsikan ruangan ini ialah luas. Jelas, ini lebih luas dari kamar milik Geya. Dan, rasa-rasanya, sedikit aneh jika digunakan untuk tidur sendiri. Walau begitu, Geya tidak peduli. Sebab, Hartawan juga jarang tidur di kamar ini. Pria itu akan berselang-seling tidur di rumah ini dengan rumah Ditya yang notabenenya juga merupakan rumahnya.

Geya sudah lama sekali tidak masuk ke kamar ini. Terakhir, mungkin saat mamanya masih hidup. Setelahnya, Geya tidak pernah berniat untuk masuk ke kamar ini lagi. Tidak banyak desain yang berubah di kamar ini, meskipun sudah hampir sepuluh tahun berlalu semenjak itu. Bahkan, warna dinding kamar ini juga tidak berubah. Tetap pada warna cream, warna favorit Risa. Hanya ada satu perubahan yang cukup menonjol, bingkai foto Risa yang menghilang dari gantungan di dinding.

Geya menjelajahi seisi kamar. Mulai membuka satu per satu lemari yang ada di sana juga rak-rak kecil pada meja rias yang sedikit meninggalkan debu, sebab mungkin sudah lama tidak tersentuh.

Sudah 15 menit berlalu, namun Geya masih belum mendapatkan apa-apa di sini. Yang ada hanyalah peluh yang mulai menetes akibat suasana pengap yang ada di dalam kamar. Geya mengelap peluh tersebut dengan tangannya.

Gadis itu menutup kembali pintu lemari dan menguncinya seperti semula. Seiring dengan itu, terdengar suara deru mobil yang berasal dari luar rumah. Begitu dekat. Itu pasti mobil milik Hartawan.

Oleh sebab itu, Geya bergegas untuk meninggalkan kamar itu dan kembali masuk ke kamarnya. Dengan bersandar pada pintu kamar yang telah terkunci, Geya berusaha menetralkan napasnya yang memburu.

Gadis itu memang tidak menemukan apa-apa dari dalam kamar Hartawan, tetapi entah kenapa, seperti ada sesuatu hal yang mengganjal di hatinya.

•••

Pagi ini, Geya menyeret kakinya dengan sedkit bermalas-malasan. Malamnya kemarin dia habiskan dengan overthinking, membuat gadis itu kekurangan tidur. Sepertinya, beberapa pekan terakhir, jadwal tidurnya berubah menjadi kacau. Padahal sebelum-sebelumnya, Geya telah berhasil menerapkan jam tidur yang normal.

Ini semua karena masalah klub, juga mengenai Hartawan yang menambah beban pikirannya. Jika begini caranya, lama-lama mata Geya akan berubah menjadi mata panda. Lengkap dengan bulatan hitam di sekelilingnya.

Kondisi kelas saat ini masih sepi. Entahlah, tapi teman sekelas Geya memang jarang datang lebih awal. Mereka adalah tim mepet. Baik itu dari segi jam kedatangan maupun jam pengumpulan tugas.

“Geya, astaga. Kenapa kantong mata kamu menebal gitu?” tanya Flora saat melihat permukaan di bawah mata Geya.

“Enggak pa-pa. Aku cuma kurang tidur aja,” jawab Geya.

“Kamu lagi banyak pikiran? Atau, jangan bilang, kamu kepikiran soal omongan aku kemarin? Iya?” tanya Flora lagi. “Kalau gitu, aku minta maaf, Ge. Aku enggak bermaksud apa-apa. Aku cuma bergurau aja, kok. Serius, deh.”

Geya hanya menanggapi kalimat Flora dengan senyuman tipis. Seharusnya, Flora tidak perlu meminta maaf. Lagi pula, semua yang dikatakan oleh gadis itu kemarin itu benar adanya. Geya saja yang baru me-notice hal tersebut dan malah overthinking karenanya.

“Ih, Gee. Kenapa diam aja? Kamu marah sama aku, ya?” Flora menggoyang-goyangkan tangan Geya.

Geya refleks menggeleng. “Enggak, Flo.”

“Lalu, kenapa diam aja?”

Geya menatap Flora cukup lama, sebelum menghela napas.

“Aku cuma sedikit kepikiran aja,” ujarnya. “Apa aku memang bukan anak kandung Papa, ya?”

Flora mendengkus kesal. “Tuh, kan. Kepikiran sama kata-kata aku. Geya, dengerin aku, ya. Kalau muka kamu sama Papa kamu itu beda, enggak masalah, kok. Juga enggak berarti kamu itu bukan anak kandung Papa kamu. Ya, siapa tahu aja, gen dari Mama kamu lebih dominan, sehingga muka kamu lebih mirip sama Mama. Iya, kan?”

Geya terdiam, berusaha mencerna kalimat demi kalimat yang dilontarkan oleh Flora.

Mungkin, memang benar. Gen yang melekat di tubuh Geya sebagian besar diturunkan dari sang mama. Geya bahkan masih ingat. Saat dia kecil dulu, banyak orang yang mengatakan bahwa dirinya adalah duplikat dari Risa, melihat dari banyaknya kemiripan antara mereka berdua.

“Udah, enggak usah dipikirin, Ge. Makin kamu mikirin, makin banyak uban kamu nanti,” seloroh Flora. “Lagian, nih, ya. Kalau emang kamu bukan anak kandung Papa kamu, ngapain Papa kamu mau nampung kamu di rumah. Pake biayain sekolah kamu mahal-mahal lagi. Iya, enggak?”

“Iya juga, Flo,” ujar Geya.

“Udah, ya, Ge. Jangan dipikirkan, oke? Maaf, kalau aku malah nambah-nambah beban kamu dengan kalimat aku kemarin. Padahal, kamu lagi banyak pikiran karena klub tari.”

Entah sudah yang ke sekian kalinya, Flora mengucapkan kata "maaf" membuat Geya semakin tidak enak hati.

“Flo, jangan terus-menerus minta maaf. Kamu enggak salah, kok. Udah, ya?” tutur Geya tersenyum.

“Iya, Geya,” balas Flora dengan senyuman yang sama. “Kalau gitu, aku mau kembali ke bangku aku dulu, ya. Nanti aku samperin kamu lagi pas istirahat, oke?”

“Siap, Flo.”

Sepeninggal Flora dari mejanya, rasa kantuk menyerang Geya, membuat gadis itu menutup mulutnya yang sedang menguap. Geya melihat kedua tangan, menjadikannya alas untuk menidurkan kepala.

Niat hati hanya ingin berbaring sebentar—setidaknya sampai guru yang mengajar datang—, Geya malah diberikan suatu kesempatan untuk bisa tidur lebih lama. Sebab, Ardi, ketua kelas 10 Ipa 2 yang baru saja datang dari kantor guru, mengabarkan perihal adanya rapat guru mendadak. Itu artinya untuk dua jam ke depan, kelas akan kosong dan Geya bisa memanfaatkannya untuk tidur. Mengisi energi untuk menuju ke kelas-kelas berikutnya yang membutuhkan fokus lebih banyak.

◀ ▶

8 Januari 2023
1.053 kata

Geya, Ditya, dan Rahasia Semesta [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang