Bagian 39

13 4 0
                                    

Selamat Membaca!

◀ ▶

“Gue tahu, lo juga kacau, Ditya. Tapi, setidaknya, lo bisa turunin ego lo untuk nemuin dia dan mastiin dia baik-baik aja.”

Ditya menatap Geya cukup lama. Tidak habis pikir, kenapa gadis itu bisa dengan mudah meminta dirinya untuk menurunkan egonya.

“Kalau kamu ada di posisi saya, apa kamu juga akan melakukan hal yang sama, Geya? Apa kamu juga akan menurunkan ego kamu?”

Tidak ada respons dari Geya. Barangkali, karena pertanyaan tersebut juga sulit untuk dijawab oleh seorang Geya.

Cukup lama melihat Geya terdiam di posisi, Ditya mengusap wajahnya kasar. Lelaki itu lantas bergegas mengambil hoodie miliknya, tak lupa dengan kunci motor yang ada di atas meja ruang tamu.

“Ditya, lo mau ke mana?” tanya Ditya.

Pergerakan Ditya terhenti. Ditya memutar kepala, melirik kepada Geya. Sejenak, sebelum lelaki itu bersuara. “Saya mau pergi. Kamu enggak perlu khawatirin saya. Saya bakal baik-baik saja.”

Setelahnya, Ditya melangkah keluar. Ditya sengaja melangkah sedikit lambat, berharap Geya akan memanggil namanya dan menahan dirinya untuk tidak pergi. Sayang, tidak ada sedikit pun kata yang terlontar dari Geya untuk menahannya.

Maka, langkah Ditya semakin yakin untuk pergi. Lelaki itu—bersama motor yang dikendarai—pergi tanpa tujuan. Sejauh-jauhnya.

Ditya berbohong ketika mengatakan dirinya akan baik-baik saja. Dia hanya tidak ingin Geya menunggunya dengan perasaan khawatir. Meskipun Ditya pergi dengan rasa marah. Akan tetapi, Ditya juga tidak tega bila harus membuat Geya menanggung cemas hanya karena dirinya.

Motor Ditya berhenti tepat di depan sebuah gedung. Sekilas dilihat, itu adalah gedung tua yang sudah lama terbengkalai. Bagian luar gedung tersebut mulai menampakkan retak, dengan beberapa tumbuhan yang menjalari sisi-sisi gedung.

Ditya melangkahkan kaki melewati jalan setapak yang ada di samping gedung. Pemandangan sungai dengan air yang jernih menyambut Ditya tatkala tiba di belakang gedung tua tersebut.

Ditya berjalan menuju kayu-kayu kecil yang membentuk seperti jembatan pendek di atas sungai, kemudian mendaratkan tubuhnya di sana.

Ditya menyugar rambutnya. Kepalanya mendongak mengarah ke permukaan langit yang begitu indah sore ini. Perpaduan antara warna biru juga jingga milik senja membuatnya tampak sempurna. Meski terkesan menenangkan, namun Ditya memilih untuk memejamkan mata. Menikmati belaian angin sepoi-sepoi yang terembus menimpa wajahnya.

Kepala Ditya sedikit berdenyut. Kilatan memori perbincangannya dengan Geya tadi masih terekam jelas di otaknya, bahkan kini terus berputar bagaikan kaset lama yang telah rusak.

“Tadi gue ketemu sama bokap lo di sekolah.”

“Tapi, dia minta tolong sama gue.”

“Minta tolong untuk apa?”

“Untuk bawa lo pulang ke rumah.”

Ditya rasa, Hartawan benar-benar hilang akal. Setelah pria itu mengusir Geya beberapa pekan lalu, lantas kenapa Hartawan masih berani meminta tolong gadis itu untuk membawa dirinya pulang ke rumah? Apa Hartawan tahu bila hubungannya dengan Geya perlahan mulai membaik?

“Kalau kamu ada di posisi saya, apa kamu juga akan melakukan hal yang sama, Geya? Apa kamu juga akan menurunkan ego kamu?”

Ditya menghela napas. Kenapa Geya mendesaknya untuk menurunkan ego? Tidakkah cukup selama ini Ditya sering mengalah?

Geya, Ditya, dan Rahasia Semesta [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang