Selamat Membaca!
◀ ▶
“Gimana mi ayamnya? Enak, kan?” tanya Ditya, kala melihat bagaimana Geya menikmati semangkuk mi ayam di hadapannya.
Mulut Geya yang dipenuhi oleh mi membuat gadis itu kesulitan bicara. Geya melepas genggaman pada sendok, kemudian mengacungkan jempol kepada Ditya.
Sesuai dengan janji saat jam istirahat tadi, sepulang sekolah Ditya menghampiri kelas Geya lantas mengajak gadis itu untuk mampir di salah satu warung mi ayam yang terhitung lumayan jauh apabila ditempuh dengan sekadar berjalan kaki. Beruntungnya, Ditya membawa motor sehingga keduanya tidak perlu merasa lelah akibat berjalan kaki.
Warung mi ayam tersebut berada di dekat perempatan di ujung jalan besar. Meski tergolong kecil, namun warung yang dilengkapi dengan beberapa meja dan kursi panjang tersebut mampu menampung pembeli hingga belasan orang di dalamnya.
Awalnya, Geya pikir, citra rasa mi ayam tersebut akan sama dengan mi ayam lain yang pernah dia coba. Tapi, di luar dugaan, ternyata mi ayam yang mereka pesan benar-benar berbeda. Terasa begitu nyaman di lidah.
Buru-buru, Geya menyelesaikan kunyahannya, menarik ujung sedotan, menyeruput sedikit teh es, lantas berujar, “Sumpah. Ini enak banget. Kayaknya, ini mi ayam terenak yang pernah gue makan. Lo tahu tempat ini dari mana?”
Ditya tersenyum kecil mendengar antusiasme Geya barusan. “Dari Mama,” jawab Ditya. “Dulu saat saya masih kecil, Mama saya suka ajak saya makan mi ayam di sini. Alhasil, sampai sekarang, mi ayam di sini jadi langganan saya dan Mama.”
Ditya berujar dengan penuh binar di mata. Sementara, Geya hanya merespons dengan tiga patah kata, “Oh, pantesan kenal.”
“Maksudnya? Siapa yang kenal?” Ditya membeo.
“Lo dan Mamang Mi ayam.”
Ditya mengangguk-anggukkan kepala. “Bahkan, Mamangnya sudah hafal di luar kepala pesanan Mama saya. Enggak pakai daging, sayurnya dibanyakin. Kadang, saya suka bingung sama Mama saya. Namanya mi ayam, tapi Mama malah enggak suka dagingnya.”
Geya hanya manggut-manggut mendengar cerita Ditya. Entah kenapa, mendengar bagaimana Ditya mendeskripsikan tentang mamanya menimbulkan gelenyar aneh di hati Geya, yang Geya sendiri bahkan tidak paham apa artinya.
Di satu sisi, anggap saja gadis itu merasa iri. Karena, dirinya dan sang mama tidak memiliki kenangan yang berkesan. Satu yang paling Geya ingat, Risa hanya sering membacakan dongeng sebelum dirinya tidur. Tidak ada menjelajahi kota untuk mencari mi ayam atau makanan lainnya.
Geya menundukkan kepala, mengaduk-aduk mi ayam yang ada di hadapannya, tanpa memasukkan ke dalam mulut.
Rasa sesak seketika menyeruak ke dadanya. Membuat nafsu makannya seketika menghilang.
“Geya? Kamu kenapa?”
Geya mendongakkan kepala, lantas menggeleng kecil. “Gue enggak pa-pa.”
“Serius? Atau, kamu merasa terganggu dengan cerita saya tentang Mama saya? Kalau gitu, saya eng—”
“Enggak, kok. Gue beneran enggak pa-pa,” potong Geya cepat.
Gadis itu menghela napas, menyunggingkan senyum tipis. “Gue cuma iri aja sama lo.”
“Iri untuk hal?”
Geya menatap Ditya dalam, sebelum kembali bersuara. “Kebersamaan lo sama nyokap,” jawab Geya.
Merasa pembahasan ini akan memakan waktu yang cukup lama dan serius, Ditya segera memotong.
“Geya, habiskan dulu mi ayam kamu. Baru kita bicara di sana,” ucap Ditya menunjuk ke arah bangku panjang di dekat jalan.
“Oke.”
Geya kembali menyantap mi ayam miliknya. Sayang, rasa mi ayam tersebut sudah tidak menggugah selera seperti sebelumnya. Mungkin, karena suasana hati yang mendadak gundah, makanan yang dimakan gadis itu pun terasa berubah rasa.
Setelah menghabiskan semangkuk mi ayam—kecuali kuah yang masih tersisa—Geya mengambil selembar tisu. Menyeruput teh es sebagai penutup, lantas bangkit berdiri menyusul Ditya yang terlebih dahulu selesai dan tengah membayar makanan mereka.
“Udah?” tanya Ditya seraya menerima uang kembaliannya.
Geya hanya mengangguk kecil.
“Makasih, ya, Mang. Saya duluan.”
“Iya, Dik Ditya.”
Ditya lantas menoleh kepada Geya, mengajak gadis itu untuk ikut dengannya. Duduk di bangku panjang yang tadi dia tunjuk. Hari ini, cuaca tidak begitu panas, sehingga opsi untuk duduk di bangku tepi jalan tersebut bukanlah opsi yang buruk. Sekalian menikmati kendaraan yang lalu-lalang di jalan kecil tersebut.
Ditya membersihkan bangku tersebut dari dedaunan kering yang turun, lantas mempersilakan Geya untuk duduk di sana. Sementara, lelaki itu duduk di sampingnya.
Beberapa saat pertama, keduanya hanya terdiam. Sengaja, Ditya tidak membuka percakapan, membiarkan Geya untuk menyusun kalimatnya terlebih dahulu.
“Gue iri sama lo, Ditya,” ucap Geya angkat suara. “Lo punya banyak kenangan yang berkesan sama nyokap. Salah satunya, mi ayam ini. Sementara gue? Enggak ada kenangan yang berharga. Bahkan, sebelum gue sempat menciptakan kenangan sama nyokap, nyokap udah keburu pergi ninggalin gue.”
Geya menengadahkan kepala saat merasa air matanya hendak jatuh. “Kadang, gue suka mikir. Gue salah apa, ya? Kenapa kayaknya hidup gue enggak beruntung? Nyokap gue udah enggak ada. Sekarang, bokap gue aja gue enggak tahu siapa pastinya. Saudara kandung? Juga enggak ada. Gue merasa sendirian banget di dunia ini.”
“Kamu keluarin aja dulu semua yang pengen kamu keluarkan, biar kamu lega,” sela Ditya.
Geya menoleh kepada Ditya, lantas tersenyum getir. “Lo tahu? Awalnya, gue sama sekali enggak kepikiran kalau ternyata gue bukan anak kandung bokap. Sampai Flora datang ke rumah, dan dia bilang, kenapa wajah gue enggak mirip sama bokap. Setelah gue lihat kembali, ternyata emang benar. Gue sama sekali enggak mirip bokap. Gue mulai berprasangka, kalau gue sebenarnya bukan anak kandung bokap.
“Ditambah lagi, bokap yang sayang banget sama lo. Semakin buat gue yakin, ada yang salah dengan semua ini. Dan, akhirnya? Hal itu memang terbukti. Gue bukan anak bokap.”
“Geya,” Ditya menyela saat gadis itu berhenti berbicara. “Kamu mau tahu? Setelah mendengar kamu berbicara seperti itu, saya juga teringat. Wajah saya dan Mama waktu kecil juga enggak mirip sama sekali.”
“Oh, ya?”
Ditya mengangguk tanpa ragu. “Nanti saya carikan fotonya biar kamu percaya.”
Geya hanya mengiyakan saja.
“Geya, boleh saya minta satu hal sama kamu?”
Geya mengernyitkan kening. “Apa?”
“Jangan pernah merasa bahwa kamu sendiri di dunia ini. Kamu orang yang baik. Ada banyak orang yang ada di sekitar kamu.”
Geya mengerjapkan mata ketika mendengar permintaan dari Ditya. Tidak percaya dengan apa yang baru saja lelaki itu katakan.
Orang baik? Bahkan, Geya tidak sanggup megatakan bahwa dirinya sendiri adalah orang baik.
“Gue bukan orang baik, Ditya,” ujar Geya lirih.
“Geya, baik buruknya seseorang ditentukan dari orang lain. Menurut saya, kamu orang yang baik. Terlepas dari apa yang telah kamu lakukan.”
Jawaban Ditya benar-benar terdengar menenangkan. Hingga tanpa disadari, perlahan, bibir Geya membentuk kurva melengkung ke atas. “Makasih, Ditya.”
◀ ▶
19 Januari 2023
1.020 kata
KAMU SEDANG MEMBACA
Geya, Ditya, dan Rahasia Semesta [ Completed ✔ ]
JugendliteraturBlurb : Di tengah ancaman klub tari yang akan diberhentikan sementara, Geya Gistara sebagai ketua klub berusaha mempertahankan eksistensi klub tersebut. Meski Geya tahu bahwa seberusaha apa pun dia mempertahankan klub, akan ada dua orang yang selalu...