Selamat Membaca!
◀ ▶
Langkah kecil Geya membawa gadis itu pada tempat peristirahatan terakhir Risa. Rasanya, sudah lama Geya tidak menginjakkan kakinya kemari. Wajar bila gadis itu sempat kebingungan mencari arah jalan menuju makam milik mamanya.
Geya membungkukkan sedikit tubuh agar dapat menggapai lebih dekat makam wanita yang telah melahirkannya itu. Jika biasa-biasanya Geya membawa sebuket bunga untuk memperindah makam Risa, maka sekarang Geya hanya datang dengan tangan kosong.
Gadis itu baru ingat, bila uang yang tersisa di dompetnya setelah membayar uang kosan di muka kemarin adalah selembar uang lima puluh biru saja. Mengenai kartu ATM-nya, Geya telah mengembalikannya kepada Hartawan malam itu, sebelum benar-benar meninggalkan rumah. Sekarang, Geya merutuki dirinya sendiri.
Hartawan pasti akan menertawainya habis-habisan. Pergi dari rumah dengan uang terbatas dan dengan angkuhnya mengembalikan barang berharga kepada pria itu. Mau jadi apa Geya nantinya? Untuk makan saja, tadi gadis itu pikir-pikir kembali. Jika dirinya makan enak untuk sarapan tadi, maka nanti malam dia harus menahan lapar. Oleh karena itu, Geya hanya membeli sebungkus roti harga seribuan dan sekotak susu untuk mengganjal perut, setidaknya hingga nanti siang.
Dengan tangannya, Geya mencabut rerumputan liar yang mulai tumbuh di sekitar makam Risa. Sesekali, mengajak Risa untuk berbicara. Menceritakan semua yang bisa diceritakan, termasuk perihal apa yang baru dia ketahui kemarin.
“Ma, Geya udah tahu semuanya. Tentang masa lalu Papa, Mama, juga Mamanya Ditya. Geya merasa nyesal, Ma. Geya udah hina Ditya sebagai anak dari wanita perusak hubungan Papa dan Mama. Geya juga udah hina mamanya Ditya. Padahal, selama ini, Ditya dan mamanya baik. Bahkan, Ditya berusaha menjaga emosinya di depan Geya, karena mencoba melindungi Geya. Geya merasa malu banget.”
Geya menarik napasnya panjang, mendongakkan kepala ke atas, menatap langit yang kini berwarna biru. Begitu cerah. Tidak seperti perasaan Geya yang tengah terhalang kabut abu.
“Ma … kalau sekarang Mama masih hidup, apa Mama bakal menceritakan semuanya sama Geya? Atau, Mama juga akan sama seperti yang lainnya? Menyembunyikan semua cerita itu, membiarkan Geya yang harus mencaritahu sendiri mengenai kehidupan Geya yang sesungguhnya?
“Geya kecewa, Ma. Geya benci. Kenapa Geya harus terlahir dengan keadaan serumit ini? Geya benci situasi ini, Ma. Geya enggak bisa marah sama siapa-siapa. Bahkan, termasuk ke Mama sendiri.”
Dada gadis itu semakin lama semakin terasa sesak. Oleh karenanya, Geya memutuskan untuk mengakhiri pertemuannya dengan Risa yang terhalang oleh gundukan tanah itu. Kembali ke kosan dengan perasaan yang campur aduk.
Dari kejauhan, kedua bola mata Geya menyipit, melihat keberadaan seorang laki-laki yang tengah berjalan mondar-mandir di depan kosannya.
“Ditya?” gumam Geya ketika menyadari siapa lelaki itu. Untuk apa lelaki itu kemari?
Geya melangkah mendekat menuju kosannya, menangkap basah Ditya yang kini mengintip ke dalam kosan lewat jendela.
Geya berdeham sejenak, membuat lelaki itu refleks membalikkan tubuhnya. “Lo mau ngapain ngintip-ngintip kosan gue kayak gitu? Mau maling?”
Ditya menggeleng cepat. “Saya enggak berniat mau maling, Geya,” jawabnya, persis seperti orang yang terciduk hendak mencuri.
Setelahnya, Ditya memandangi Geya. Pandangannya bergerak dari atas menuju bawah, membuat gadis itu sedikit tidak nyaman.
“Kamu habis dari mana? Kenapa pakaian kamu serba hitam seperti itu? Kamu habis melayat?” tanya Ditya.
Mendengar itu, Geya menyunggingkan senyumnya kecil, lantas menjawab secara asal. “Habis melayat diri sendiri.”
Ditya baru saja hendak melayangkan protes, namun Geya terlebih dahulu menyahut.
“Gue habis dari makam nyokap,” lanjut Geya. “Lo ngapain ke sini? Ada urusan apa?”
“Saya mau anterin ini.”
Sebuah kotak bekal tersodor ke hadapan Geya, membuat Geya menatap Ditya dengan penuh kebingungan.
“Tadi pagi, Mama saya nitipin bekal untuk kamu untuk makan siang. Rencananya, saya akan memberikannya saat jam istirahat. Tapi, kata teman kamu, kamu enggak masuk sekolah. Jadi, saya ke sini.
“Kalau kamu enggak mau makan karena ini bekal dari Mama saya, setidaknya kamu makan ini untuk menghargai saya yang sudah rela menghampiri kamu ke sini. Bisa?”
•••
Geya tidak tahu kenapa Calista masih begitu baik kepada dirinya, setelah apa yang diperbuat oleh Geya kepada wanita itu. Geya sendiri sedikit sangsi memakan makanan itu. Bukan karena dia membenci pembuat makanan itu, melainkan karena Geya merasa tidak pantas menerima makanan itu.
Sayangnya, kalimat yang dilontarkan Ditya tadi membuat Geya terpaksa menerima makanan itu. Tidak tanggung-tanggung, Ditya bahkan menemani Geya makan hingga selesai.
Ketika ditanya, Ditya membalasnya dengan jawaban, “Kotak bekalnya mau saya bawa pulang sebagai tanda bahwa kamu benar-benar menerima bekal itu dan menghabiskannya.”
“Ini kotak bekalnya, udah gue cuci. Sampaikan ucapan makasih gue ke nyokap. Lain kali, enggak perlu repot-repot, kok. Gue enggak enak,“ kata Geya menghampiri Ditya di teras kosannya seraya menyerahkan kotak bekal yang telah dipastikan tercuci bersih, meski hanya mengandalkan sabun mandi dan air mengalir.
Geya memang meminta Ditya untuk menunggu di luar saja, takut bila akan timbul perbincangan yang tidak-tidak mengenai mereka. Apalagi ini adalah daerah baru bagi Geya dan Ditya.
“Seharusnya, kamu tidak perlu repot mencucinya, Geya,” kata Ditya yang membuat Geya mendengkus.
“Gue malah semakin enggak enak kalau gitu. Udahlah dibawain makan, kotak bekalnya enggak dicuci,” balas Geya yang kini telah mendaratkan tubuhnya di kursi sebelah Ditya.
“Ya udah, nanti ucapan terima kasih kamu akan saya sampaikan ke Mama saya. Ngomong-ngomong, kamu kenapa enggak masuk sekolah tadi?”
Geya menundukkan kepalanya ke bawah. Sementara, kaki-kakinya saling beradu guna menghilangkan keraguan. “Gue malu, Ditya,” cicitnya.
“Malu?“ Ditya membeo.
Geya memejamkan kedua mata, berusaha menahan bendungan air mata yang sebentar lagi siap meledak. “Gue malu karena gue terlahir di dalam kenyataan yang seperti ini.”
Berikutnya, terdengar helaan napas dari Ditya. Setelah itu, suara bariton laki-laki itu terdengar. “Untuk apa kamu malu, Geya?”
Geya membuka mata, menoleh ke arah Ditya. “Ya, kalau lo jadi gue, emangnya lo enggak malu dengan kenyataan bahwa lo itu anak dari hasil pemerkosaan? Yang di mana, lo sendiri enggak tahu bokap asli lo yang mana.”
“Bukannya itu semua bukan keinginan kamu? Lalu, kenapa kamu harus malu?”
Geya tidak menjawab, berusaha mencerna maksud kalimat Ditya.
“Geya, ada satu hal yang perlu kamu tahu, kita tidak bisa mengubah masa lalu. Jadi, yang perlu kamu lakukan sekarang ialah tetap menjadi diri kamu sendiri dan berupaya yang terbaik.”
“Iya, lo benar. Makasih, ya. Tapi, gue rasa, gue masih butuh waktu untuk nenangin diri gue.“
“Saya paham. Enggak ada salahnya jika kamu membutuhkan waktu untuk menenangkan diri, tapi saran saya, kamu jangan terlalu lama berlarut di masalah ini.
“Dengan atau tanpa masa lalu itu, hidup kamu harus terus berlanjut, Geya. Mama kamu tentu tidak akan senang jika kamu terus bersedih.”
◀ ▶
14 Januari 2023
1.054 kata
KAMU SEDANG MEMBACA
Geya, Ditya, dan Rahasia Semesta [ Completed ✔ ]
Teen FictionBlurb : Di tengah ancaman klub tari yang akan diberhentikan sementara, Geya Gistara sebagai ketua klub berusaha mempertahankan eksistensi klub tersebut. Meski Geya tahu bahwa seberusaha apa pun dia mempertahankan klub, akan ada dua orang yang selalu...