Bagian 2

40 15 16
                                    

Selamat Membaca!

◀ ▶

Sebuah tarikan napas panjang dilakukan Geya, sebelum gadis itu mengangkat tangan dan mengetuk pintu yang ada di hadapan. Tak lama setelah ketukan diberikan, pintu dengan papan nama 'Ruang OSIS' itu terbuka, menampilkan sosok lelaki berkacamata di sana.

Itu Diego. Diego Shailendra, ketua OSIS SMA Pertiwi. Orang yang memanggil Geya hingga berada di depan ruangan ini.

“Halo, Geya. Silakan masuk,” sapa Diego, lantas mempersilakan Geya untuk masuk ke dalam ruangan. Geya menganggukkan kepalanya sekali, mengikuti arahan Diego untuk duduk di sofa yang ada di dalam.

Ruang OSIS kali ini terlihat sepi. Padahal biasanya, akan dengan mudah menemukan anak OSIS di ruang ini ketika pulang sekolah. Biasanya, mereka akan membahas laporan terkait program kerja mingguan dari OSIS atau sekadar menunda waktu untuk pulang ke rumah.

“Kata Rika,  Kak Diego manggil saya?” tanya Geya sekadar berbasa-basi. Sebab, 1 menit berlalu terhitung sejak dia duduk di sofa, Diego masih belum mengeluarkan sepatah kata pun.

“Bahasanya enggak usah terlalu formal, Geya. Santai aja,” ujar Diego tersenyum.

“Eh, iya, Kak. Maksudku, tadi Kak Diego manggil aku?” Geya mengulangi pertanyaannya.

“Iya, Geya. Tadi Kakak minta tolong Rika untuk manggil kamu ke ruangan.”

“Kalau boleh tahu, ada apa, ya, Kak? Kakak manggil aku ke sini?“

“Memangnya, enggak boleh?”

Geya refleks menggeleng. “Eh, boleh, kok, Kak. Aku cuma heran aja, Kakak tiba-tiba manggil aku ke ruangan,” balas Geya, meninggalkan senyuman di ujung kalimat. “Jadi, ada hal penting apa, Kak? Bukan bermaksud mendesak, aku cuma kepo aja.”

“Enggak pa-pa. Kakak mau tanya aja, gimana sama perkembangan klub tari?”

Geya membetulkan posisi duduknya dan mencari posisi nyaman agar tidak terkesan tegang, ketika Diego mulai masuk ke pembahasan. Karena, jika boleh jujur, Geya sedikit canggung bercampur tegang ketika berhadapan langsung dengan Diego yang notabenenya adalah ketua OSIS. Biasanya, jika menyangkut masalah klub, dia lebih sering berkoordinasi dengan Ditya selaku Sekbid MinBa.

“Untuk perkembangan tari, aman-aman aja, Kak,“ jawab Geya sekenanya.

Sebetulnya, Geya sendiri bingung. Kata 'aman' yang dimaksudkan dalam konteks pembicaraan ini yang seperti apa.

“Latihannya bagaimana? Masih rutin seminggu sekali?”

“Latihannya juga aman, kok, Kak. Masih rutin latihan seminggu sekali. Anak-anak pada semangat latihan, bahkan ada yang request untuk latihannya diperbanyak, jadi 2 kali dalam seminggu. Cuma, masih aku pertimbangkan. Soalnya, kasihan ke mereka. Udah sekolah sampai siang, lalu ada beberapa yang ikut bimbel tambahan di sekolah. Takutnya mereka kecapekan,” jelas Geya.

Diego mengangguk-anggukkan kepalanya, tanda dia memahami penjelasan dari Geya dengan baik. “Jadi, untuk keseluruhan aman, ya.”

“Iya, Kak.”

Diego kembali terdiam. Diego manggut-manggut seraya membaca laporan yang ada di tangannya.

Hal ini tentu membuat suasana menjadi tidak enak bagi Geya. Kenapa Diego terdiam setelah menanyakan perihal progres klub tari? Lalu, laporan apa yang tengah dibaca oleh ketua OSIS itu? Apa ini berkaitan dengan pertanyaan Diego terkait klub tari?

Demi membayar rasa penasarannya, Geya memutuskan untuk melayangkan tanya kepada lelaki itu. “Maaf, Kak, sebelumnya. Kenapa Kakak tiba-tiba nanya soal progres klub tari? Apa ada hal yang fatal menyangkut klub tari?”

Geya, Ditya, dan Rahasia Semesta [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang