City Light

15 0 0
                                    

"Assalamualaikum." Ucap Alya saat memasuki rumah. 

"Yak. Udah ma-"

"Alya langsung ke kamar ya.." Ujarnya memotong ucapan Albar. 

"Kenapa?" Tanya Dera kebingungan.

Albar dan Angkasa hanya menggeleng. Sementara Dera lalu segera menghabiskan makanannya dan menyusul Alya ke kamar. 

Tok Tok Tok

"Kak, Alya masuk ya?"

"Masuk aja." Jawabnya datar.

Terlihat Alya telah berganti baju dan sedang merebahkan dirinya di kasur.

"Udah makannya? Cepet banget."

"Udah. Kaka kenapa?" Tanya nya khawatir.

"Gapapa."

Drrrtt.. Drrrtt..

"Eh kak, ada telpon." Ucapnya melihat hp Alya menyala.

"Biarin."

"Kak Rafinzha yang telpon."

"Iya biarin aja. Yauda kaka tidur duluan ya.. Kamu lanjutin makan nya."

"Yakin? Kaka gak mau cerita?"

"Enggak, makasi ya.." Ujarnya sebelum berbalik arah membelakangi Dera yang duduk disebelahnya. 

"Yaudah, Dera keluar dulu ya.."

Alya tak menjawab melainkan memejamkan matanya. 

****

"Der, mau kemana?" Tanya Albar yang sedang makan.

"Keluar."

"Ya tau, mau kemana?"

"Ntar Alya shareloc."

"Pake hoodie atau sweater sana. Ntar masuk angin kek pas itu."

"Iya."

"Yauda Alya pergi ya.." Pamitnya.

"Naik apa?"

"Mobil." Albar hanya mengangguk sebagai persetujuan. 

Sesampainya di tempat yang ia tuju, ia membuka hp. Jam menunjukkan pukul 19.00 malam. Sebenarnya ia ingat akan janji kepada kakaknya. Hanya saja ia malas melakukannya, jadi ia menyimpan hp di dalam saku hoodie miliknya. 

Tempat yang ia datangi sangat sepi dan orang yang ia harap datang, masih belum terlihat batang hidung nya. Ia memutuskan untuk duduk saja dan menggelanjungkan kakinya seperti biasa sambil melihat indahnya kota di malam hari. 

Tak berapa lama ia mendengar ada suara langkah kaki yang terdengar seperti seorang yang sedang terburu-buru. 

"Yak, sori sori gue rada telat." Ucapnya dengan terengah-engah.

Yang diajak berbicara hanya menoleh lalu tersenyum tanpa mengucap satu patah kata sekalipun. 

"Yak, lo kenapa? Beneran elo kan? Bukan hantu kan?" Tanya nya mendekat.

"Bukan."

"Syukur deh, gue kira hantu. Orang noleh terus senyum, gaada suara. Btw tadi malem gue telpon kok gak di jawab."

"Gue udah tidur."

"Tumben."

Alya tak menjawab melainkan menepuk sebelahnya agar Rafinzha duduk di sana. 

"Kenapa?" Tanya nya lembut.

"Gapapa, besok-besok belum tentu bisa kesini lagi sama lo. Yaudah gue ajak kesini."

"Tentang Surabaya lagi?" Tebak Rafinzha.

"Iya lah, apalagi."

Keheningan melanda mereka beberapa saat sampai akhirnya Alya berbicara.

"Gue tuh mikir, kita ini sebenernya apa ya? Dibilang temen ya emang temen. Dibilang sahabat tapi kaya lebih. Dibilang pacaran tapi bukan. Terus apa ya?" Ujarnya sambil tertawa kecil yang mengundang sahabat nya menoleh.

"Lo mau nya gimana?"

Alya terdiam.

"Kalo gue bilang, gue pingin jadi lebih dari temen, lebih dari sahabat. Lo mau?"

Lagi lagi Alya hanya diam.

Alya menghembuskan napas kemudian mengeluarkan sesuatu dari tas miliknya. 

"Nih buat lo, kenang-kenangan dari gue. Moga lo suka dan dipake terus."

"Apa nih?" Ujarnya menanggapi karena paham Alya tidak ingin membahas hal tadi. 

"Weh bagus bagus. Thanks ya..."

"Iya sama sama." Jawabnya tanpa melihat orang disebelahnya. 

Bukannya tidak ingin melihat, namun Alya bingung harus berbuat apa. Padahal sendirinya yang mengajak Rafinzha untuk datang ke tempat ini. 

"Hmm lo haus? Mau gue beliin minum?"

"Boleh." Jawabnya menoleh.

Rafinzha lalu berdiri dan meninggalkan Alya seorang diri. 

"Ngomong gak ya? Apa gausa? Ngomong keknya.. Eh tapi, gausa deh." Batinnya. 

Tak lama Rafinzha kembali dengan dua minuman di tangannya dan memberikan salah satunya pada Alya. 

Alya menarik napas panjang.

"Oke gue mau ngomong, terserah mau jawab apa. Gue juga gak nuntut jawaban apa apa dari lo."

Ia terdiam sebentar lalu mulai untuk berbicara. 

"Gue makasi banget buat 2 sampe 3 tahun ini, karena lo udah mau jadi sahabat deket gue. Sampe gue kenal ama keluarga dan sahabat lo. Gue juga makasi karena lo selalu ada disaat gue lagi down atau mood gue jelek. Gue gak tau harus bales ke lo kaya gimana. Gue juga minta maaf kalo selama ini gue kurang dewasa, gue jarang mau denger alesan dan lebih milih untuk pergi dan ngejauh. Kadang gue ngerasa, gue ini siapa?" Ucapnya mulai dengan nada suara yang bergetar menahan tangis. 

"Gue ini siapa buat lo. Gue cuman sahabat. Itu pun baru 2 sampe 3 tahun ini. Kok pas denger lo mau ke Surabaya kaya nya gue yang paling heboh. Sahabat-sahabat lo yang udah deket sama lo dari SD aja kaya nya gak seheboh gue. Tapi apalah daya, gue cuman sahabat biasa yang berharap bisa bareng sama lo seterusnya sampe lulus." Tuturnya hingga air matanya menetes satu persatu yang membuat Rafinzha mendekat dan merangkulnya sehingga Alya masih tetap bisa mengeluarkan uneg-uneg nya. 

"Gue sebagai sahabat lo sejujurnya bangga dan ikut seneng kalo di Surabaya nanti bisa buat lo lebih berkembang. Disana lo bakal ketemu orang baru bahkan orang hebat sekalipun. Gue gak ngeraguin lo untuk sukses, gue yakin lo bisa sukses. Cuman gue bakalan kangen banget sama lo. Sukses terus ya disana, jangan lupain gue." Ujarnya panjang lebar diakhiri dengan telapak tangan yang menutup wajahnya karena ia sudah tak kuat menahan tangis. 

"Cup cup cup cup...." Kata Rafinzha yang membawa Alya dalam pelukannya dan mengelus lembut punggung nya, menenangkan. 

"Makasih banyak ya... gue juga seneng banget bisa sahabatan sama lo. Kalo boleh, gue pengen lebih dari sahabat. Karena itu, beberapa hari lalu gue pernah nanya lo tentang LDR. Tapi lo nya gak suka kan.. Jadi gue gak berani nembak lo." Balasnya membuat Alya melepas pelukan dan menatap sahabatnya heran masih dengan mata yang mengeluarkan air mata. 

"Kalo lo gak mau LDR, tunggu gue tahun depan ya.." Jawabnya sambil kembali memeluk Alya yang masih tetap dengan wajah herannya. 


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 15 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SURE ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang