Gelap...
Sulit untuk memastikan kegelapan apa yang menyelimuti kota ini. Apakah karena malam ini bulan memutuskan untuk tidak menampakkan dirinya? Ah... Tapi untuk apa juga? Lampu malam dari gedung yang membelah langit, simbol keangkuhan umat manusia sebagai penguasa tanah ini, sudah lama menyaingi sang penerang malam. Tidak hanya gedung 120 lantai saja yang mau menjadi penguasa malam – rumah bordil dengan bangganya memajang lampu neon bertanda 'kenikmatan 24 jam', etalase mall dengan hologram 3D penuh warna memamerkan lenggak-lenggok model dengan katalog musim dingin terbaru (seakan ada yang sanggup untuk membelinya...), belum lagi ratusan gerobak pinggir jalan yang melayani jiwa-jiwa malang yang harus terjaga untuk mengais sampah untuk dijual kembali. Tidak, bulan pun jijik dengan apa yang dia lihat setiap kali dia berganti tugas dengan matahari di atas sini.
Ada kegelapan lain yang menyelimuti kota ini. Kegelapan yang jauh lebih mencekik – bahkan lebih dari tebalnya asap pabrik dari kota tetangga yang menari-nari di kota ini. Kamu bisa merasakannya menghantui dari ujung gang paling kotor, hingga ke penthouse paling bersih. Beberapa orang mengangkat bahu mereka, bersikap masa bodoh karena untuk bisa hidup hingga esok hari saja bukanlah sebuah kepastian. Sebagian menarik selimut menutupi tubuh mereka yang menggigil, merapalkan doa ke Tuhan palsu yang biasa ditemui dalam satu tarikan serbuk putih ke otak. Heh... Antara itu atau melarikan diri ke dunia virtual yang ditawarkan sebagai 'narkoba baru'. Oh ya, sebuah sensasi luar biasa ketika satu colok ke kabel itu, dan kita bukan hanya bisa berdoa, main kartu remi dengan Tuhan saja pun bisa. Gila sekali kan?
Tidak lebih gila dari sebagian besar yang hidup di kota ini. Mereka menikmati kegelapan, memilih untuk bersarang dan beranak-pinak untuk mengisi tiap pojokkan yang masih tersisa. Pojokkan yang masih belum diklaim oleh korporat asing atau lokal, yang bersaing tidak hanya di lantai bursa saja, tapi juga di jalanan ketika nafsu untuk menumpahkan darah sedang tinggi-tingginya. Bertukar pelor di jalan adalah pentas seni malam, dan tak jarang geng-geng ikut menyumbang bakatnya. Para jiwa malang yang barusan kalian dengar? Mereka jadi penontonnya, kalau beruntung bahkan ikut berkontribusi dalam seni ini. Itu juga kalau mereka tak biasa olahraga lari, karena yang kalah cepat biasanya berakhir sebagai lukisan abstrak di trotoar. Warna favorit tiap bulannya? Merah darah... atau dari organ dalam yang berceceran.
Sudah dapat gambaran dari kota ini? Belum? Bagaimana kalau kita buka dulu saja cerita kita. Kita awali dengan seorang pria berjaket jeans dan beanie gelap, celananya penuh sobekkan bekas goresan benda tajam yang menyayat kain tersebut. Sedari tadi dia memegang mata kirinya—yang satunya lagi masih terbuka lebar, berusaha menemukan jalan selagi kakinya sibuk berlari melintasi genangan air, bekas hujan siang tadi. Sesekali dia menengok ke belakang sekilas, minimal untuk mengecek apakah masih ada yang mengejarnya.
Bruk!
Kali ini dia sedang sial. Saat menengok ke belakang, dia tidak sempat menghindari tempat sampah di jalur larinya. Momentum larinya yang berhenti mendadak mampu membuatnya terpental. Suaranya sangat renyah ketika wajahnya mencium aspal, diikuti oleh seluruh tubuhnya yang sekarang tergeletak. Saat dia mengangkat mukanya, ada dua hal yang dia segera sadari. Pertama, dia jadi kesulitan bernafas. Tidak karena dia habis berlari, tapi udara benar-benar sulit memasuki parunya. Tak lama dia merasakan sakit yang dahsyat. Saat tangannya meraba sumber sakitnya, dia baru sadar bahwa hidungnya sudah remuk ke dalam rongga tengkoraknya. Kedua lubang nafasnya sekarang benar-benar tertutup. Dia mencoba untuk bernafas melalui mulut, namun derasnya darah yang mulai mengalir bebas dari hidungnya, membuatnya kesulitan menghirup udara. Dia juga merasakan darah bercampur lendir menggenang di tenggorokannya karena ada sebagian yang tembus dari rongga hidungnya, membuatnya terbatuk. Di situasi lain mungkin dia sudah muntah karena sakit yang tak tertahankan dan karena—jujur saja, rasa darah dan ingus itu sangat menjijikkan—namun hal kedua yang dia sadari tentang kondisinya membuatnya dia ketakutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tabula Rasa
Science Fiction[R rated: Mengandung kekerasan grafis/eksplisit, bahasa kasar, kilas balik mengganggu, penggunaan narkoba/zat terlarang, dan adegan seksual grafis/eksplisit] Metro Jakarta, tahun 2099. Kota yang sudah lama menanggalkan statusnya sebagai pusat pemeri...