Matahari tak sanggup menembus tebalnya awan pagi ini. Sampai hari ini bumi belum puas menyuci Metro Jakarta. Andai dia tahu, tidak ada air yang sanggup membersihkan kota ini.
Gracia tahu apa yang diperlukan kota ini. Tak lama lagi, nasib lembaga yang ia banggakan akan ditentukan. Membayangkan segala kemungkinan membuatnya merinding.
Iya, Gracia tidak lupa dengan keberadaan Pak Alex di sampingnya. Bukan hawa dingin hari ini yang membuatnya berusaha keras menahan gemetar tubuhnya. Adrenalinnya mengalir lebih deras dari hujan di luar, jantungnya menderu bak mesin jet. Sosok yang mendampinginya menuntut kesempurnaan.
"Kamu tahu semua yang ada di ruangan nanti."
Gracia meneguk ludahnya. Tangannya terasa lembap untuk pertama kali sejak dia memasang implan enam tahun lalu. Siapa sangka tangannya masih memiliki kelenjar keringat.
"Aku optimis kamu tidak mengubah pikiranmu," ucap Pak Alex tanpa menengok ke Gracia. "Hanya saja, sejauh mana kamu mau melangkah?"
Tidak ada musik yang biasanya mengiringi perjalanan lift ini. Hanya suara nafasnya yang berat, semacam pengingat soal gejolak emosinya saat ini.
"Saya akan lakukan sesuai yang diperlukan."
Gracia tidak tahu apakah dia ke atas atau ke bawah. Ketika liftnya terbuka, dia disambut ke lorong tanpa jendela, diterangi oleh lampu di langit-langit. Lantai paling atas atau yang paling bawah—bawah tanah mungkin? Gracia benar-benar buta arah.
Di ujung lorong terdapat pintu yang dijaga dua android yang mirip seperti robot latihan. Bedanya tidak ada sela di kerangkanya, dan keduanya dilengkapi dengan varian light machinegun yang umum dipakai di kendaraan tempur.
"Cuman sekali ini kesempatan kita," ucap Pak Alex. "Perhatikan baik-baik. Kamu tahu kapan harus membuka mulut. Sisanya tinggal bagaimana memaksimalkan kesempatan yang ada."
Ruangan ini mirip meeting room di mana Gracia dan Revan pertama kali "disidang" oleh petinggi kepolisian. Bedanya tidak ada layar hologram yang menunjukkan lima pengambil keputusan tertinggi di kesatuan. Kali ini, kelima orang itu hadir di ruangan yang sama dengan mereka.
"Siapa yang membolehkanmu mengajak orang tak berkepentingan ke sini?"
Pak Daud. Jelas dia tidak suka keberadaannya. Selain dirinya, ada satu pria lagi yang baru ia lihat. Sosok tegapnya mengingatkan Gracia ke Pak Alex. Tidak seperti petinggi lain, dia mengenakan rompi kevlar yang menutupi seragam komando berwarna hitam. Wajahnya dihiasi luka yang menyilang dari pelipis kanan ke dagu kiri. Dari luka itu, Gracia bisa melihat kilau cahaya yang mirip seperti tato di sisi kepala yang ia miliki.
"Sampai kapan kita membiarkan orang-orang ini berlaku seenak jidat?" Pak Daud menunjuk ke Pak Alex dan dirinya, sebelum berpindah ke sosok berseragam hitam. "Kamu boleh menutup mulutmu, Samuel, tapi aku tahu kamu dan Satuan Taktismu ikut terlibat!"
"Simpan omong kosongmu! Kamu bisa nyalahin orang lain, tapi saya yang jungkir balik mikirin gimana ngerahin anggota saya yang tersebar di seluruh kota." Pak Samuel ikut mengacungkan telunjuknya ke Pak Daud. "Wajar saya seenak jidat, karena saya yang bersihin bobroknya divisimu!"
"Bukan saya yang disidang di sini! Dari dulu, kamu dan persekongkolan busukmu dengan Alex yang membawa—"
Pak Johan yang duduk di paling ujung membanting tangannya ke meja. Jantung Gracia berhenti sejenak, begitu juga obrolan sengit yang terjadi di hadapannya.
"Kalian kira siapa yang ditodong Pak Bertrand?" ucap Pak Johan. "Siapa yang diminta penjelasannya? Kalian? Ada dari kalian yang diteror untuk kasih klarifikasi?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Tabula Rasa
Science-Fiction[R rated: Mengandung kekerasan grafis/eksplisit, bahasa kasar, kilas balik mengganggu, penggunaan narkoba/zat terlarang, dan adegan seksual grafis/eksplisit] Metro Jakarta, tahun 2099. Kota yang sudah lama menanggalkan statusnya sebagai pusat pemeri...