Revan meringis saat membaca chat-nya dengan Feni. '132' adalah angka yang terpampang di notifikasi. Lebih dahsyat lagi tiap chat itu berisi permintaan maaf dan kalimat penenang dari kekasihnya. Harusnya itu tugas Revan!
Dia membayangkan Feni, belum selesai mengumpulkan nyawa, dipaksa membalas pertanyaan bodohnya. Jelas Feni masih tidur—seperti yang Gracia ingatkan semalam. Bukannya membantu, Revan malah menambah beban pikiran Feni, seakan mengurus kafe, membantu klinik sepupunya, plus waspada akan penjarahan belum cukup menguras tenaganya.
Stop. Feni sudah minta maaf, dan dia senang Revan baik-baik saja. Lebih baik mengurus perkara lain yang sama mengganggunya.
Nossa Senhora.
Nihil. Tidak ada di database. Bandeirantes pun hanya muncul belakangan ini—dua tahun terakhir persisnya. Kalau dicari lebih jauh ke belakang, nama geng itu baru muncul untuk kasus-kasus remeh, macam konflik antar geng, penyelundupan, atau transaksi narkoba level eceran.
"Gimana ceritanya geng kecil punya hubungan ke kematian Vox?" gumam Revan. Dia mengusap wajahnya. Tiap usapan memancing ingatannya ke permukaan. Sekarang dia menyesal menawarkan sudut ini saat Gracia hanya fokus mengejar dugaan keterlibatan korporasi.
Ngomong-ngomong, di mana polisi cebol sialan itu? PC-nya sudah menyala bahkan saat Revan baru sampai ke kantor. Apa dia sedang di bilik Pak Alex?
Kuduknya meremang. Dia merencanakan sesuatu. Apa dan bagaimana dampaknya yang Revan khawatirkan.
Ponselnya berdering. Eli menelepon?
"Ada apa?"
"Kak Dirga! Aku liat Kak Dirga!"
***
"Lo nemu kasusnya?"
Gracia baru saja tiba di ruang server. Lulu sudah menunggu di meja yang sama seperti saat mereka bertemu di sini, di sudut yang tertutup oleh barisan CPU.
"Enggak, tapi gua nemu yang lain." Lulu menyodorkan keping plastik seukuran kartu SIM ponsel.
"Gak lo kirim ke tablet?"
Lulu menggeleng. Matanya melirik sekilas ke pintu ruangan. "Coba lu baca dulu isinya, baru kita tentuin sebaiknya drive itu dihancurin ato enggak."
Perlahan Gracia memasukkan drive ke slot di pelipisnya. Isinya adalah spreadsheet dan beberapa nota transaksi kepolisian dari 2070 hingga 2080.
"Ini arus uang para sponsor kasus kita?"
Lulu menghela nafasnya. "Mending lu turunin ekspektasi lu, karena mustahil buat gua dapetin tanpa ngrecokin dapurnya anak finance." Dia mengambil dua kursi untuk dirinya dan Gracia. "Tapi coba lu baca yang gua kasih, gua yakin isinya gak kalah menarik."
Sepanjang satu dekade itu, tiga perusahaan berbeda memenangkan tender pengadaan teknologi keamanan dan surveillance. Spreadsheet yang terlampir menjelaskan lebih detail tiap item yang dibeli kepolisian.
"Ini semua teknologi yang sekarang kita pake di markas."
"Well... Gak semua. Sebagian besar, terutama buat wing cybercrime sama Satuan Taktis."
"Tiga perusahaan terlalu banyak buat supply kebutuhan kita."
Lulu mau membuka mulutnya, sampai suara langkah kaki lewat di depan ruangan. Suaranya kian mendekat, samar namun menembus dengungan CPU. Sedikit yang mau datang ke sini—masih pagi, di sini berisik dan dingin, plus keberadaan AI otomatis menghilangkan keharusan mengakses langsung ruangan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tabula Rasa
Ficção Científica[R rated: Mengandung kekerasan grafis/eksplisit, bahasa kasar, kilas balik mengganggu, penggunaan narkoba/zat terlarang, dan adegan seksual grafis/eksplisit] Metro Jakarta, tahun 2099. Kota yang sudah lama menanggalkan statusnya sebagai pusat pemeri...