28

42 2 0
                                    

Masih ada harapan. Jika Illia masih hidup, Gracia masih bisa melacaknya. Tapi bagaimana dia bisa mengecek dengan terputusnya semua akses ke satelit dan cybernet?

Revan yang masih berdiri di ruang tamu menatap ke arah jendela yang sedikit terbuka. Jelas sekali apa yang Gracia ucapkan barusan. Frustrasi membeludak dari dalam tubuhnya, dan melihat Gracia lebih sibuk dengan tabletnya di ruang kerja Illia membuat Revan tidak tahan lagi.

"Jadi ini rencana jenius lu? Mindahin informan penting kita, dan lebih parah lagi, orang terdekat dari sosok paling diburu di kota ini, dari fasilitas teraman se-Metro Jakarta, dan bukannya ditempatin di tempat yang lebih aman, lu milih balikin dia ke apartemennya, kembali bersama peralatannya." Revan tertawa datar. Semua ini begitu konyol di telinganya. "Setelah lu denger sendiri seberapa belok keyakinannya buat merombak seisi kota ini, lu masih kaget dia kabur?"

Rasa frustrasi Revan tidak tuntas, melainkan mengendap di dadanya. Melihat Gracia yang tidak menanggapinya sama sekali menyulut endapan frustrasi itu menjadi bom yang akan meledak. "Gue tau lu denger, Gre!"

Fokus Gracia masih di tabletnya. "Dia gak kabur."

Revan mengerjapkan mata. "Gak kabur?" dia kembali tertawa datar. "Jadi dia ngilang begitu aja? Makan tai, tau gak!"

Dia menerjang masuk ke ruang kerja Illia. Langkahnya lebar dan pandangannya bak banteng marah. "Gak ada apa pun di tablet itu yang bisa ngejelasin kaburnya Illia! Yang ada cuma lu dan rencana tolol lu!" Tangannya meraih tablet yang menjadi pusat perhatian Gracia. "Gue lagi ngom—"

Gracia merenggut tangan Revan di udara, dan dengan mudah, memiting Revan ke salah satu laci. Semuanya terjadi sangat cepat, Revan tidak sempat memproses rasa sakit karena cengkeraman Gracia di tangannya, atau nyeri di punggungnya yang menabrak laci.

"Kalo lo gak bisa bantu," desis Gracia dengan mata memicing, "cukup tutup mulut lo, dan jangan ganggu gua."

Revan tahu temannya sedang menahan diri. Dia bisa saja meremukkan tubuhnya dengan satu tangan dan Revan tidak bisa melawan. Rasa sakit di punggungnya mulai menjalar, memaksa Revan meringis untuk menahan sakit.

"Emang... Lebih mudah gitu," ucap Revan terbata-bata. Nafasnya tidak beraturan, namun ekspresi garangnya tidak luntur. "Lempar aja semuanya... Selama bukan lu yang ngaku salah..."

"Gak ada hubungannya siapa yang salah."

"Bener. Gak ada hubungannya... Kalo lu yang salah..."

Gracia mengeraskan pitingannya. "Pake mata lo! Liat sekitar kita!"

Entah apa lagi yang harus dia lihat. Ruangan ini masih sama seperti saat mereka menangkap Illia. Tidak ada yang aneh kecuali jendela di ruang tamu yang terbuka. Mungkin yang Gracia maksud adalah kaleng minuman yang kelihatannya lebih banyak dari sebelumnya?

"Lo gak nyadar, gak ada yang berubah sama sekali!" geram Gracia. "Kapan terakhir kali lo ngeliat tempat tinggal orang yang kabur serapi ini?"

"Tapi jendela—"

"Motion sensor," sanggah Gracia. "Satu senti tubuhnya keluar dan semua alarm kita bakal aktif."

Kita? Kalau yang Gracia maksud adalah mereka berdua, dia tidak ingat ada diskusi soal alarm—sial, tidak ada diskusi apa pun bahkan soal memindahkan Illia. Dia semakin yakin kalau semua ini—rencana tolol penuh risiko ini—sudah dia siapkan tanpa melibatkan dirinya.

Gracia melepas pitingannya. Perhatiannya kembali ke tablet, meninggalkan Revan yang mengusap tangan dan perutnya. Dia tahu rekannya mulai bertanya apa maksud ucapannya barusan. Untuk sekarang, dia lebih mengkhawatirkan kesempatannya untuk melacak Illia yang semakin menipis.

Tabula RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang