Tiga jam sudah berlalu sejak protokol diaktifkan. Sekarang listrik kembali menyala dan tiap orang bisa mengakses PC mereka. Sebagian sudah mulai proses mengecek kerusakan apa yang terjadi ke data-data saat komputernya dimatikan secara paksa. Bukan proses yang mudah—bayangkan ada berapa banyak kasus yang selama ini masing-masing petugas tangani. Mungkin ada ribuan folder berisi berkas-berkas yang harus dicek satu-persatu. Bisa jadi proses mengecek dan memindahkan kembali data mereka akan memakan waktu berhari-hari. Sebagian masih terguncang dengan yang terjadi barusan. Siapa yang menyangka, pagi hari yang dikira akan berjalan seperti biasa, tiba-tiba diisi kepanikan akibat peringatan darurat. Dengan meredanya suasana tegang, tak bisa dielakkan pertanyaan yang muncul di benak semua orang: apa yang menyebabkan ini semua?
Hawa penuh curiga ikut menjalar ke ruangan Divisi Investigasi Khusus. Tidak ada yang pernah menduga alarm itu akan berbunyi. Salah satu polisi paling senior bercerita selama 20 tahun dia bertugas, baru kali ini blackout protocol diaktifkan. Dia juga yakin saat puncak Corpo War pun, tidak pernah markas ini merasa begitu terancam hingga harus memutus listrik sebagai perlindungan. Menggunakan logika itu, ada ancaman yang lebih signifikan yang barusan menyerang markas mereka. Petugas-petugas yang duduk mengitari meja polisi senior itu kini saling melempar ide-ide konspiratif untuk melegakan rasa penasaran mereka.
Perbincangan di meja itu tidak luput dari pendengaran Gracia dan Revan. Keduanya duduk di meja masing-masing, tidak bersuara sejak dua jam terakhir. Pikiran Revan terasa masih berkunang-kunang, bahkan ketika mengedipkan mata, bayangan monitor seakan tercetak di balik kelopak matanya. Sekadar bangun dari kursi saja Revan tidak punya tenaga. Gracia juga tidak jauh berbeda. Pembuluh di pelipisnya masih berdenyut yang membuat kepalanya seperti ditusuk berkali-kali. Yang bisa ia lakukan hanya menutup mata sambil memijat pelipisnya.
"Lu tadi abis dari mana?"
Gracia membuka satu matanya. Rekannya itu sedang bersandar di kursi sambil melipat tangannya di atas dada. Sorot matanya tidak menampilkan apapun kecuali tanda lelah. Gracia jadi menimang-nimang apa saja yang bisa ia bagikan ke rekannya.
"Tadi gak sengaja nabrak orang," ucap Gracia. "Gua bantuin dia buat bangun, abis itu lanjut ke sini."
Revan mengangguk. Respons itu memberi rasa lega ke diri Gracia. Biar dia simpan dulu pertanyaan yang ia miliki. Gracia ingin memiliki hipotesis yang solid sebelum menceritakannya ke Revan. Kalau dipikir lagi, sampai sekarang dia belum melihat keberadaan komandannya sejak terakhir ia lihat. Mungkinkah Pak Alex sedang bertemu dengan para petinggi kepolisian? Rasanya sangat mungkin mengingat dia pergi menggunakan lift eksekutif.
"Lo ngapain ke komputernya Anto?"
Hembusan nafas panjang lepas begitu saja dari mulut Revan. "Dua orang itu kan gak keliatan batang idungnya. Ya gue berusaha buat bantu backup sebisa gue."
Gracia bisa melihat panel di belakang monitor PC milik seniornya dibiarkan terbuka oleh Revan. Bukan pilihan yang disengaja, karena Gracia bisa melihat kalau ada bagian yang patah di panel itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tabula Rasa
Science Fiction[R rated: Mengandung kekerasan grafis/eksplisit, bahasa kasar, kilas balik mengganggu, penggunaan narkoba/zat terlarang, dan adegan seksual grafis/eksplisit] Metro Jakarta, tahun 2099. Kota yang sudah lama menanggalkan statusnya sebagai pusat pemeri...