22. Apokrifa

56 6 0
                                    

Gracia sudah mencoba segala cara. Dia mengulur, memelintir, membengkok, hingga melipat logikanya. Semua itu tidak membuahkan hasil—dia masih tidak mengerti bagaimana dugaannya meleset.

Semua seperti tersaji di hadapannya. Gracia tahu Vox terlibat di kasus yang menyeret CEO Zeno-Lan. Terlepas dari Gracia yang belum bisa membuktikan kebenaran kasus itu, potongan artikel dari jurnal Hasan cukup menguatkan teorinya. Gracia tidak lupa juga kalimat terakhir yang Mickey Mouse ucapkan sebelum kematiannya. Sekarang, semuanya menjadi buyar ketika Illia mematahkan teorinya. Anggap benar, Hasan bukanlah Vox yang waktu itu bertanding melawan Zeno-Lan, bahwa ada sosok Vox lain. Lalu siapa pihak yang Illia maksud? Siapa yang menginginkan kematian Hasan?

"Lu tau kan fungsi gue di sini bukan jadi kernet?"

Revan tidak tahan dengan sosok di sampingnya. Sehari sejak pertemuan mereka dengan petinggi kepolisian dan Revan masih buta. Mulut Gracia masih terkunci rapat. Revan bisa mentoleransi jika didiamkan selama seharian di kantor, tapi sampai di perjalanan pulang? Seharusnya Revan pilih pulang sendiri saja.

"Apa lagi yang lu pikirin?"

Gracia memutar setirnya, membawa mobil yang mereka tumpangi keluar dari tol dalam kota. Gedung perkantoran lambat-laun berganti dengan kompleks apartemen, menjadi penanda bahwa sebentar lagi mereka memasuki Distrik Jakarta Selatan.

"Biar gue tebak. Lu masih mikirin ucapannya Illia?" Revan menghembus asap rokok ke jendela di sampingnya yang terbuka. Ketika menoleh ke dalam, dia melihat Gracia menghela nafasnya.

"Kenapa lu stres? Bagus kita dapet info baru dari orang terdekatnya Hasan. Ternyata kita nyari orang yang salah selama ini, tinggal cari siapa yang dimaksud. Kita juga udah ngamanin data yang Illia pegang. Apa lagi yang kurang?"

Mobil mereka mulai memelan. Antrean kendaraan di depan mereka membuat Gracia kehilangan alasan untuk fokus ke jalan. Meski begitu, Gracia tetap melekatkan pandangannya, sebisa mungkin menghiraukan rekannya.

"Jangan bilang..."

Ketika Revan tidak menyelesaikan kalimatnya, Gracia terpaksa menengok. Rekannya mengernyitkan mata, seakan dirinya spesimen asing yang baru pertama kali dia lihat.

"Lu stres karena dugaan lu salah."

Dengan satu ucapan itu, Gracia menyesal sudah memerhatikan rekannya. Dia mencoba fokus ke jalanan. Di kepalanya, Gracia menganggap kursi di sampingnya kosong tak berpenghuni.

"Ya ampun Gre. Gegara gitu doang?"

"Gak sesimpel itu," sanggah Gracia.

"Gimana gak simpel? Empat tahun kita kerja bareng, Gre. Empat tahun itu kita udah ngumpulin banyak kesalahan. Gue bisa nyebutin yang jauh lebih parah yang pernah kita lakuin selain ini."

"Lo gak ngerti Van."

"Di antara kita, harusnya gue yang paling ngerti soal kesalahan." Revan menjentikkan jarinya untuk membuang abu yang terkumpul di ujung rokoknya. "Ain't my first rodeo, Gre. Gue masih di sini buktinya."

"Justru itu. Gak semua orang punya keleluasaan buat bikin kesalahan."

Setelah puluhan menit terjebak macet, akhirnya mereka bisa pindah jalur menuju jalanan yang lebih sepi. Sejak meninggalkan kemacetan itu, Revan terdiam. Dia memikirkan pendapat temannya.

"Pasti Pak Alex yang ngomong itu."

Lagi-lagi Gracia menghela nafasnya. Tanpa bersuara saja Revan tahu dia mendapatkan jawabannya.

"Mungkin itu sumber masalah lu. Lu keseringan dengerin omongannya."

Telinga Gracia memanas. Jika saja dia kehilangan kendali pikirannya, dia sudah melempar Revan keluar dari mobil ini. "Lo salah. Asal lo tau, dia ngebantu kita selama ini."

Tabula RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang