Tinggal satu ini. Dia mencengkeram wajah dari orang yang ia cekik. Orang itu meronta-ronta, adrenalin yang berpacu di tubuhnya memberi tenaga untuk melakukan perlawanan terakhir.
Dia berhasil menyelipkan kukuknya ke dalam plat titanium yang membentuk wajah orang itu. Lambat laun, seluruh jarinya bisa masuk hingga menyentuh tulang pipi sosok itu. Sosok itu melolong kesakitan. Perlawanannya hanya sebatas suara keras dan ayunan kaki. Belum pernah dia merasakan sakit seperti ini.
Dengan satu tarikan, dia mencabut plat itu dari wajahnya. Dia melihat plat di tangannya, kemudian ke wajah sosok yang ia cekik. Kini wajahnya hanya menampilkan tengkorak dan jaringan otot. Tak disangka suara itu justru semakin kencang volumenya. Nafasnya meliar, pendek dan tidak beraturan. Kilau cahaya dari mata cybernetics yang terekspos perlahan meredup. Tubuhnya lalu terkulai lemas.
Hening. Hanya suara dentuman yang terdengar samar dari luar. Tidak seharusnya dia menghabiskan waktu selama ini. Cuma satu orang, namun dia memberikan perlawanan yang hebat. Sayang rekan-rekannya tidak berada di level yang sama. Jika bisa memutar waktu, mungkin dia akan menghabisi sosok tadi terlebih dahulu.
Tunggu. Ada suara. Tidak mungkin mereka masih punya orang untuk menyelesaikan misi mereka. Dia mengecek lagi sekelilingnya. Ruangan gelap ini penuh bekas goresan dan tembakan. Tiap kali kilatan cahaya menembus jendela, matanya disuguhkan dengan potongan tubuh dari pertarungan yang terjadi beberapa menit yang lalu. Namun di antara mayat yang berserakan, dia melihat pergerakan.
Dia mengambil pedang yang, ironisnya, milik sosok yang ia cabut wajahnya. Pedang ini bergaya Eropa, dengan dua sisi tajam dan pelindung tangan yang lebih besar. Cukup untuk menyelesaikan pekerjaannya malam ini.
Dia berjalan mendekat ke sumber suara itu. Rupanya ada satu yang masih hidup. Sosok itu merangkak sebisanya, melalui genangan darah di lantai, untuk meraih sebuah benda seukuran korek api dengan satu tombol. Dia memerhatikan, betapa susah payahnya sosok itu untuk merangkak dengan satu tangan yang tersisa. Sedikit lagi, satu rentang jari lagi dan dia bisa mendapatkan benda itu. Suara di kepalanya berharap sosok itu berhasil. Sedikit lagi dan sosok itu bisa menuntaskan tujuannya.
Harapan. Dia rasa sosok itu juga memilikinya. Tidak ada yang mencegah dia meraih benda itu, menekan tombolnya, dan membunuh semua orang di tempat ini. Tidak ada yang melarang dia untuk berhenti, menyerah ke takdir dengan probabilitas paling tinggi yang menantinya. Harapan yang ia miliki seakan menuntun sosok itu ke salah satu pilihan. Dia dengan sabar menunggu sejauh mana dia mengikuti harapannya.
Dia tidak terkejut. Harapan tidak bisa mengembalikan tangan orang itu. Tidak ada yang harapan bisa lakukan ketika realitas mengunci jalan tersisa yang bisa diambil. Jika tidak ada pilihan lain, kenapa orang itu masih terjebak dengan harapannya? Lebih lucu lagi, dia berharap dirinya dibuktikan salah. Dia ingin melihat bagaimana harapan menyelamatkan orang itu. Ternyata harapan berlaku sama bagi mereka.
Dia menghunjam pedang yang ia bawa ke tulang belakang orang itu. Dia melihat reaksi tubuh yang meliuk bak kadal yang diinjak. Perlahan pedang itu menembus tulang hingga tertancap di lantai. Tidak ada suara yang keluar kali ini. Sinyal reseptor sakit tidak mungkin bisa mencapai otaknya. Mungkin ini harapan terbaik yang orang itu miliki.
Sekarang dia memiliki tombol itu. Sembilan nyawa melayang hanya untuk benda ini. Harga yang sepadan jika dibandingkan dengan potensi nyawa yang bisa diambil jika tombol ini ditekan. Membayangkan potensi itu, dia menimang pilihannya. Siapa yang bisa mencegah dia menekan tombol ini dan meruntuhkan seluruh kompleks beserta ratusan ribu penghuninya? Jika di luar sana mereka tahu, pastinya mereka berharap dia tidak melakukan itu.
Dia kembali mendengar dentuman. Suaranya semakin ramai. Tiap dentuman diikuti dengan cahaya terang penuh warna. Dari jendela, dia melihat ratusan lampion berwarna merah tengah mengudara. Alunan musik diikuti dengan tepuk tangan meriah. Seisi ruangan yang gelap diterangi oleh hologram ikan koi raksasa yang melintas di luar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tabula Rasa
Science Fiction[R rated: Mengandung kekerasan grafis/eksplisit, bahasa kasar, kilas balik mengganggu, penggunaan narkoba/zat terlarang, dan adegan seksual grafis/eksplisit] Metro Jakarta, tahun 2099. Kota yang sudah lama menanggalkan statusnya sebagai pusat pemeri...